TEORI-TEORI
KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Kebijakan dan Kepemimpinan Pendidikan Islam”
Dosen
Pengampu : Dr. Sabarudin, M.Si
Disusun
oleh:
Wahyu
Lenggono ( 17204010149 )
Dini
Fauziyati (
17204010156 )
Musabbihin
( 17204010157 )
Kelas:
I A
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan anugerah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “TEORI-TEORI
KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN ” dengan baik. Makalah ini berisikan
tentang informasi mengenai teori-teori kebijakan publik membahas teori proses
kebijakan dan teori perumusan kebijakan.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat
kepada kita tentang teori-teori kebijakan publik. Penulis menyadari bahwa
makalah atau karya tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi
kesempurnaan karya tulis ini.
Akhir kata,
penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan karya tulis ini.
Wassalaamualaikum
wr.wb
Yogyakarta, 13 Maret 2018
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kebijakan
publik memiliki peran penting, menjadi tombak masa depan dalam pengambilan
keputusan. Tentu perlu proses dan perumusan yang baik dalam penentuan kebijakan
publik. Ada banyak teori mengenai dua hal tersebut, karena perkembangan zaman
sehingga memungkinkan teori-teori baru bermunculan. Perlunya memilah
teori-teori yang berkaitan dengan proses dan perumusan kebijakan publik yang relevan dengan sekarang
era milenial.
Sehingga dalam
makalah ini akan dikemukakan teori-teori baik itu teori proses maupun perumusan
kebijakan publik. Mahasiswa magister ataupun calon dosen pendidikan agama Islam
patut untuk memahami kebijakan publik sebagai penerus bangsa yang memegang
tombak masa depan sehingga suatu hari nanti jika memang diamanahi sebuah
jabatan tinggi yang menentukan kebijakan publik setidaknya pernah mengenyam
mata kuliah Kebijakan dan Kepemimpinan Pendidikan Islam khususnya mengenai
teori-teori kebijakan publik baik proses maupun perumusan. Karena belajar itu
tidak hanya belajar, tentu kemudian dipraktekkan. Praktek tanpa teori kurang
lengkap apalagi diposisi sebagai akademisi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana teori proses kebijakan
publik?
2.
Bagaimana teori perumusan kebijakan
publik?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui dan memahami teori
proses kebijakan publik..
2. Mengetahui dan memahami teori perumusan kebijakan
publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori-Teori Proses Kebijakan
Stella Theooulou (2005) sebagaimana
dikutip Rian Nugroho (2015) mengemukakan “ Linear Approach on Policy Procces
(pendekatan linear pada proses kebijakan)” yang memecahnya menjadi enam tahap
yang berubah-ubah:
1. Pengenalan masalah – masalah yang
berpotensi dikenali
2. Penetapan agenda – masalah yang
dianggap berharga untuk diperhatikan dan ditetapkan dalam agenda
3. Perumusan kebijakan – berbagai
kebijakan yang dibuat untuk menghadapi masalah yang telah ditetapkan dalam
agenda
4. Adopsi kebijakan – kebijakan resmi
disetujui
5. Implementasi kebijakan – kebijakan
public yang secara resmi telah disetujui untuk dilakukan tindakan
6. Analisis dan evaluasi kebijakan –
kebijakan yang diimplementasikan dievaluasi efektivitasnya.[1]
Proses kebijakan publik dapat
dipahami sebagai serangkaian tahap atau fase kegiatan untuk membuat kebijakan
publik. Walaupun rangkaian tahap ini tampak bersifat linear, dalam kenyataanya,
tahap-tahap tersebut umumnya justru sebaliknya, yakni non-linear atau iteratif.
Para ahli kebijakan publik berbeda-beda dalam menamai atau mengelompokan
tahap-tahap tersebut. Namun demikian, umumnya proses pembuatan kebijakan publik
dapat dibedakan kedalam lima tahap berikut: penentuan agenda (agenda setting),
perumusan alternative kebijakan (policy formulation), penetapan
kebijakan (policy legitimation), pelaksanaan atau implementasi kebijakan
(policy implementation), dan penilaian atau evaluasi kebijakan (policy
evaluation)[2].
1. Penentuan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan
diangkat menempatkan masalah pada agenda politik. sebelumnya masalah-masalah
ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan.
Pada akhirnya, beberapa maslah masuk ke agenda kebijakan para perumus
kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali,
sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula
masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.[3]
Istilah agenda dalam kebijakan
publik, antara lain diartikan sebagai daftar perihal atau masalah untuk mana
pejabat pemerintahan, dan orang-orang diluar pemerintahan yang terkait erat
dengan para pejabat tersebut, memberikan perhatian serius pada saat tertentu
(kingdom, 1995). Dengan makna agenda tersebut, penentuan agenda merupakan
proses untuk menjadikan suatu masalah agar mendapat perhatian dari pemerintah
Kraft & Furlong (2007: 71) mendefinisikan penentuan agenda sebagai how problems are perceived and defined,
command attention, and get onto the political agenda (bagaimana
masalah-masalah dipandang dan dirumuskan, mengarahkan perhatian, dan masuk
menjadi agenda politik). Proses tersebut dimulai dari kegiatan mendefinisikan
masalah, yakni kegiatan yang berkaitan dengan pengenalan dan perumusan isu-isu
yang perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah. Isu-isu tersebut senyatanya
merupakan keadaan yang berkembang di dalam masyarakat. Keadaan tersebut
dirasakan oleh masyarakat atau sebagaian besar masyarakat sebagai suatu
ketidaknyamanan, yang kemudian memunculkan kesadaran dan kebutuhan masyarakat
untuk mengubah keadaan tersebut melalui tindakan-tindakan pemerintah.[4]
Dalam praktik, masyarakat adalah
suatu sistem kepentingan yang terbentuk karena keanekaragaman keadaan,
kemampuan, kebutuhan, harapan, dan nilai dari warga masyarakat. Keanekaragaman
tersebut menjadikan keadaan yang dapat dinilai sebagai suatu ketidaknyamanan
juga berbeda-beda antar warga, baik perorangan maupun kelompok. Implikasinya,
perumusan mengenai suatu keadaan yang dapat disebut sebagai masalah kebijakan
merupakan peristiwa penting dalam proses kebijakan. Tarik menarik argumentasi,
persuasi, dan bahkan koreksi antar kelompok masyarakat mengenai definisi
masalah dapat disebut sebagai politik perumusan masalah. Dengan pemahaman
tersebut, Durant (1998: 215) menjelaskan pelbagai definisi masalah menghadirkan
ruang lingkup konflik, hadirin yang menentukan hasil perkelahian (flight),
dan akhirnya, siapa yang memenangkan pertempuran (battle). Penjelasan Durant
tersebut paling tidak dapat menegaskan dua hal. Pertama, politik mendefinisikan
masalah adalah gambaran dari proses penyelenggaraan pemerintahan. Kelompok
kepentingan dan partai politik, untuk menyebut sebagian actor kebijakan,
berjuang untuk memenangkan masalah. Kedua, politik pendefinisian masalah juga
mencerminkan strategi yang digunakan oleh actor kebijakan untuk membangun
argument mereka tentang masalah kebijakan dan menjadikan argument tersebut
sebagai opini publik yang luas.[5]
Para ahli kebijakan publik telah banyak mengemukakan pendapat atau
model tentang bagaimana berlangsungnya proses penentuan agenda. Tujuannya
adalah untuk menjelaskan mekanisme dan dinamika dari transformasi suatu kondisi
dalam masyarakat menjadi suatu masalah kebijakan yang harus dicarikan jalan
keluarnya melalui penggunaan kekuasaan pemerintahan untuk membuat kebijakan.
Berikut ini adalah contoh dari model penetapan agenda.[6]
a. Model Kingdom
Kesadaran dan
kebutuhan masyarakat untuk mengubah kondisi yang mereka alami melalui
tindakan-tindakan pemerintah dapat disebabkan oleh berbagai factor. Kingdom(
1984), menunjukan bahwa masalah kebijakan dapat diidentifikasi melalui
penggunaan suatu indicator, munculnya peristiwa-peristiwa tertentu, atau umpan
balik suatu program. Tahap ini dapat melibatkan sejumlah besar partisipan, baik
individu maupun kelompok dan institusi. Pendefinisian masalah ini, yang
selanjutnya diikuti dengan penentuan agenda, biasanya berkenaan dengan
penentuan masalah-masalah yang diprioritaskan. Pada tahap ini, pertanyaannya
adalah masalah apakah yang akan memperoleh prioritas dari para pembuat
kebijakan.
b. Model Cobb dan Elder
Upaya untuk
menjelaskan mengapa beberapa isu mendapat perhatian pemerintah, sementara
beberapa isu lain diabaikan juga dilakukan oleh Cobb dan Elder (1972). Mereka
mencoba menjawab pertanyaan ini dengan membuat perbedaan antara agenda sistemik
berisi semua masalah yang muncul dan mendapat perhatian masyarakat secara luas.
Namun demikian, hanya beberapa dari masalah tersebut yang akan memperoleh
perhatian dari para pembuat kebijakan. Apabila suatu maslah telah memperoleh
perhatian serius para pembuat kebijakan, makai a berstatus sebagai agenda
institusional.
Proses
perluasan dan control agenda tersebut mencakup lima aspek, yakni kreasi isu,
penekanan oleh media masa, perluasan pada public yang lebih luas, pola akses,
dan agenda pengambil keputusan. Cobb dan Elder (dalam Parsons, 1995: 128) juga
menjelaskan bahwa untuk dapat memperoleh perhatian public yang meluas, suatu
isu perlu memiliki karakteristik tertentu. Berbagai karakteristik isu tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Semakin kabur pendefinisian suatu
isu, semakin besar kecenderungan isu tersebut mencapai ublik yang meluas
(derajat kekhususan).
b. Semakin signifikan perumusan suatu
isu bagi masyarakat, semakin besar kecenderungan isu tersebut dapat diperluas
pada public yang lebih besar (ruang lingkup signifikan masyarakat).
c. Semakin didefinisikan sebagai
memiliki relevansi jangka Panjang, semakin besar peluang suatu isu untuk disampaikan pada masyarakat
yang lebih besar (relevansi waktu)
d. Semakin tidak teknis pendefinisian
suatu isu, semakin besar kecenderungan isu tersebut diperluas pada public yang
lebih besar (derajat kompleksitas)
e. Semakin suatu isu didefinisikan
sebagai memiliki ketiadaan contoh di masa lalu yang jelas, semakin besar
peluang isu tersebut diperluas pada masyarakat yang lebih besar (kategosisasi
presiden).
2. Formulasi Kebijakan
Masalah yangtelah masuk ke agenda
kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi
didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan maslah terbaik. Pemecahan masalah
tersebut berasal dari berbagai alternative atau pilihan kebijakan yang ada.
Sama halnya dengan perjuangan suatu masalh untuk masuk kedalam agenda
kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternative bersaing
untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
Pada tahap ini, masing-masing actor akan bermain untuk mengusulkan pemecahan
masalah terbaik.[7]
Formulasi kebijakan menunjuk pada
proses perumusan pilihan-pilihan atau alternative kebijakan yang dilakukan
dalam pemerintahan. Schattschneider (dalam Rochefort & Cobb, 1993: 57)
sangat menggaris bawahi signifikansi tahap ini dengan menyatakan bahwa definisi
alternative kebijakan adalah instrument kekuasaan yang sangat hebat. Pandangan
Schattschneider tersebut sangat mudah dipahami, terutama karena proses
selanjutnya dalam pembuatan kebijakan akan bertolak dari definisi alternative tersebut.
Kraft & Furlong (2007: 71) menyatakan pengertian formulasi kebijakn sebagai
desain dan penyusunan rancangan tujuan kebijakan serta strategi untuk
pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Dari pengertian itu terlihat bahwa paling
tidak terdapat dua aktifitas utama dari formulasi kebijakan, yakni pertama,
perancangan tujuan kebijakan. Aktivitas tersebut tentu saja sangat berkaitan
dengan rumusan maslah kebijakan, namuna, perancangan tujuan Pendidikan akan
dapat berbeda dari rumusan maslah kebijakan, sejalan dengan dinamika yang
berlangsung didalam dan diluar komunitas kebijakan yang umumnya terdiri atas
pejabat-pejabat pemerintah, kemompok kepentingan, akademisi, professional,
bdan-badan penelitan, kelompok pemikir, dan wirausaha kebijakan. Kedua, formulasi
kebijakan sekaligus juga menyangkut strategi
pencapaian tujuan kebijakan. Dengan aktivitas tersebut, termuat
penegasan bahwa dalam setiap alternative kebijakan, sejak awal perlu dirumuskan
langkah-langkah yang semestinya dilakukan apabila alternative tersebut dipilih
menjadi kebijakan.[8]
3. Penetapan Kebijakan
Penetapan kebijakan pada adasaranya
adalah pengambilan keputusan terhadap alternative kebijakan yang tersedia.
Penetapan kebijakan menurut Kraft & Furlong (2007: 71) merupakan mobilisasi
dari dukungan politik dan penegasan kebijakan secara formal termasuk
justifikasi untuk tindakan kebijakan. Pertama, penetapan kebijakan merupakan
proses yang dilakukan pemerintah untuk melaksanakan suatu pola tindakan
tertentu atau sebaliknya, untuk tidak melakukan tindakan tertentu. Kedua,
penetapan kebijakan berkaitan dengan pencapaian consensus dalam pemilihan
alternative-alternatif yang tersedia. Tahap ini juga berkenaan dengan
legitimasi dari alternative yang dipilih, yakni berupa suatu rancangan dengan
tindakan-tindakan yang ditetapkan menjadi peraturan perundang-undangan.[9]
Berbagai model telah banyak
dirumuskan oleh para sarjana dalam menunjukan ketepatan penetapan kebijakan.
Diantara pelbagai model tersebut adalah model rasional-komprehensif, model
incremental, model campuran, model keranjang sampah, dan model politik birokrasi.[10]
4. Pelaksanaan Kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan
menjadi catatan-catatanelit, jika program tersebut tidak di implementasikan.
Oleh karena itu , keputusan-keputusan program kebijakan yang telah diambil
sebagai alternative pemecahan masalah harus diimlementasikan, yakni
dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di
tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap
implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa
implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang
lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.[11]
Pelaksanaan atau implementasi
kebijakan bersangakut paut dengan ikhtiar-ikhtiar untuk mencapai tujuan dari
ditetapkannya suatu kebijakan tertentu. Tahap ini pada dasarnya berkaitan
dengan bagaimana pemerintah bekerja atau proses yang dilakukan oleh pemerintah
untuk menjadikan kebijakan menghasilkan keadaan yang direncanakan. Matland
(1995: 145) mencatat bahwa literature mengenai implementasi kebijakan secara
umum terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok dengan pendeketan dari atas dan
kelompok dengan pendekekatan dari bawah. Kelompok dengan pendekatan dari atas
(top down) melihat perancang kebijakan sebagai actor sentral dalam implementasi
kebijakan. Selain itu, kelompok top-down juga memusatkan perhatiannya
factor-faktor yang dapat dimanipulasi pada tingkat sentral atau pada variable
yang bersifat makro. Pada sisi lain, kelompok dari bawah (buttom-up) menekankan
pada dua hal, yakni kelompok-kelompok sasaran dan para penyedia layanan.
Pemberian tekanan kepada dua hal tersebut menurut kelompok buttom-up didasarkan
pada pemikiran bahwa kebijakan senyatanya dibuat pada tingkat local. Dengan
pemikiran tersebut, kelompok buttom up berfokus pada variable yang bersifat
mikro. Kemudian muncul kelompok yang ketiga, yang mencoba menyerasikan kedua
kelompok tersebut dengan fokus pada aspek ambiguitas dan konflik dari
implementasi kebijakan.[12]
5. Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah
dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan
yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan public pada dasarnya
dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah
yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteia-kriteia
yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan public telah meraih dampak
yang diinginkan.[13]
Secara umum, Rossi & Freeman
(1985: 13) menyatakan lima alasan mengapa evaluasi dilakukan. Evaluations are undertaken for a variety of
reason: to judge the worth of ongoing programs and to estimate the usefulness
of attempts to improve them; to assess the utility of innovative program and
intiatives; to increase of program management and administration; and to meet
various accountability requirements. Evaluation may also contribute to
substantive and methodological social science knowledge.
Dari kutipan tersebut, Rossi &
Freeman menunjukan bahwa terdapat empat alasan yang bersifat empiric atau
praktis dan satu alasan yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Keempat alasan praktis tersebut adalah sebagai berikut.
1. Evaluasi dilakukan untuk menilai
kelayakan program yang sedang berlangsung dan untuk mengestimasi kemanfaatan
upaya-upaya untuk memperbaikinya.
2. Evaluasi dilakukan untuk menaksir
kemanfaatan dari inisiatif dan program yang bersifat inovatif.
3. Evaluasi dilakukan untuk
meningakatkan efektivitas dari administrasi dan manajemen program.
4. Evaluasi dilakukan untuk memenuhi
berbagai persyaratan akuntabilitas.
Selain itu, dalam perspektif pengembangan ilmu
pengetahuan, evaluasi dilakukan untuk memberikan kontribusi pada ilmu
pengetahuan sosial, baik yang bersifat substantif maupun yang bersifat
metodologis.[14]
B.
Teori-Teori Perumusan Kebijakan
Perumusan
kebijakan adalah pijakan awal dalam kebijakan publik. Dalam khazanah teori
perumusan kebijakan, dikenal tiga belas jenis perumusan kebijakan yaitu[15]:
1. Teori
Kelembagaan
Formulasi kebijakan teori kelembagaan secara sederhana bermakna
bahwa tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Jadi, apa pun
yang dibuat pemerintah dengan cara apa pun adalah kebijakan publik. Ini adalah
teori yang paling sempit dan sederhana dalam formulasi kebijakan publik. Teori
ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari pemerintah, di setiap
sektor dan tingkat, dalam formulasi kebijakan. Disebutkan Dye (19), ada tiga
hal yang membenarkan pendekatan ini, yaitu bahwa pemerintah memang sah membuat
kebijakan publik, fungsi tersebut bersifat universal, memang pemerintah
memonopoli fungsi pemaksaan dalam kehidupan bersama.
Teori kelembagaan sebenarnya merupakan
derivasi dari ilmu politik tradisional yang lebih menekankan struktur daripada
proses atau perilaku politik. Prosesnya mengandaikan bahwa tugas formulasi
kebijakan adalah tugas lembaga-lembaga pemerintahyang dilakukan secara otonom
tanpa berinteraksi dengan lingkungannya. Salah satu kelemahan dari pendekatan
ini adalah terabaikannya masalah-masalah lingkungan tempat kebijakan itu
diterapkan.[16]
2. Teori Proses
Dalam teori ini para pengikutnya menerima
asumsibahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Untuk
itu, kebijakan public merupakan juga proses politik yang menyertakan rangkaian
kegiatan.[17]
|
No.
|
Kebijakan Publik sebagai Proses
|
|
|
1.
|
Identifikasi permasalahan
|
Mengemukakan tuntutan agar Pemerintah mengambil tindakan.
|
|
2.
|
Menata agenda formulasi kebijakan
|
Memutuskan isu apa yang dipilih dan permasalahan apa yang hendak
dikemukakan.
|
|
3.
|
Perumusan proposal kebijakan
|
Mengembangkan proposal kebijakan untuk menangani masalah tersebut.
|
|
4.
|
Legitimasi kebijakan
|
Memilih satu buah proposal yang dinilai terbaik untuk kemudian mncari
dukungan politik agar dapat diterima sebagai sebuah hukum.
|
|
5.
|
Implementasi kebijakan
|
Mengorganisasikan birokrasi, menyediakan pelayanan, pembayaran dan
pengumpulan pajak.
|
|
6.
|
Evaluasi Kebijakan
|
Melakukan
studi program, melaporkan outputnya, mengevaluasi pengaruh (impact)
dan kelompok sasaran dan non sasaran dan memberikan rekomendasi penyempurnaan
kebijakan.
|
3. Teori Kelompok
Teori pengambilan kebijakan teori kelompok
mengendalikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Ini
gagasannya adalah interaksi dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan,hal
itu merupakan yang terbaik. Disini individu dalam kelompok akan menghasilkan
kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara langsung atau
melalui media masa menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan public yang diperlukan. Disini peran dari sistem politik
adalah untuk memenejemen konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan,
melalui[18]:
a)
Merumuskan aturan main antar
kelompok kepentingan.
b)
Menata kompromi dan menyeimbangkan
kepentingan.
c)
Memungkinkan terbentuknya kompromi
dalam kebijakan publik (yang akan dibuat).
d)
Memperkuat kompromi-kompromi
tersebut.
Teori kelompok merupakan abstraksi dari proses
formulasi kebijakan yang di dalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha
untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif.
4. Teori Elit
Teori elit berkembang dari teori
politikelit-massa yang melandaskan diri pada asumsi bahwa dalam setap
masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elit dan
yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori ini mengembangkan diri kepada
kenyataan bahwa sedemokratis apapun, selalu ada bias dalam formulasi
kebijakan,karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan
preferensi politik dari para elit, tidak lebih.[19]
Ada dua penilaian dalam pendekatan ini, negative
dan positive. Pada pandangan negative dikemukakan bahwa pada
akhirnya dalam system politik, pemegang kekuasaan politiklah yang akan
menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selera dan keinginannya. Dalam konteks
ini, rakyat dianggap sebagai kelompok yang sengaja dimanipulasi sedemikian rupa
agar tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Pemilihan umum pun bukan
bermakna pastisipasi melainkan mobilisasi.
Pandangan positif melihat bahwa seseorang
elit menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan gagasan bahwa
negara-negara ke kondisi yang lebih baik dbandingkan dengan pesaingnya.
Pemimpin (atau elit) pasti mempunyai visi tentang kepemimpinannya, dan
kebijakan publik adalah bagian dari karyanya untuk mewujudkan visi tersebut
menjadi kenyataan. Soekarno memilih politik sebagai panglima sementara Soeharto
memilih ekonomi sebagai panglima. Tidak ada yang secara mutlak keliru, ini
hanya masalah preferensi dari visi setiap elit serta tentang bagaimana tujuan
atau cita-cita bangsa yang sudah disepakati akan dijalani melalui jalur yang
diyakininya.
Prosesnya, elit secara top down membuat
kebijakan public untuk diimplementasikan oleh administrator publik kepada
rakyat banyak atau massa. Pendekatan ini apat dikaitkan dengan paradigma
pemisahan antara politik dengan administrasi publik yang diikonkan dalam
konstanta Woodrow Wilson, where politics end, administrations begin.
Jadi
teori elit merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan yang kebijakan
publiknya merupakan perspektif elit politik. Prinsip dasarnya adalah karena
elit politik ingin mempertahankan status quo maka kebijakannya menjadi
bersifat konservatif. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elit politik
tidaklah berarti selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat. Ini adalah
kelemahan-kelemahan dari teori elit.[20]
5. Teori
Rasionalisme
Teori
ini mengedepakan gagasan bahwa kebijakan public sebagai maximum social gain,
yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang
memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Teori ini dikembangkan dari teori cost-benefit
analysis, sebuah teori yang diawali di US Corps and Engines (semacam
Departemen Pekerjaan Umum) tahun 1930-an dalma rangka membangun hubungan dan
jembatan. Tidak dipungkiri, teori ini adalah teori yang paling banyak diikuti
dalam praktik formulasi kebijakan publik di seluruh dunia.[21]
Teori
ini mengatakan bahwa proses formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada
keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil
adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Dengan kata
lain, teori ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis. Cara-cara
formulasi kebijakan disusun dalam urutan:
a.
Mengetahui preferensi publik dan
kecenderungannya.
b.
Menemukan pilihan-pilihan.
c.
Menilai konsekuensi masing-masing
pilihan.
d.
Menilai rasio nilai sosial yang
dikorbankan.
e.
Menilai alternatif kebijakan yang
paling efisien.[22]
Apabila
dirunut, kebijakan ini merupakan teori ideal dalam formulasi kebijakan, dalam
arti mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Studi-studi kebijakan
biasanya memberikan fokus pada tingkat efesiensi dan kefektipan kebijakan. Namun
demikian, kebijkakan ini mempunyai beberapa kelemahan pokok, yakni konsep maximum social gain bebrbeda-beda diantara
kelompok kepentingan.
Kedua,
sangat sulit dicapai kebijakan yang maximum social gain mengingat
patologi birokrasi yang cenderung melayani diri sendiri daripada melayani
publik. Kenyataan ini sulit diingkari mengingat pegawai negeri adalah institusi
yang kurang memberikan insentif yang memadai, sehingga menciptakan kecendrungan
korupsi, termasuk mengorupsi kebijakan publik.
Namun
demikian, idealisme dari teori rasional ini perlu diperkuat dan ditingkatkan,
karena disepanjang sejarah kenegaraan, selalu ada negarawan-negarawan dan
birokrat-birokrat profesional yang mengabdiakn diri secara tulus kepada
kemajuan bangsanya daripada sekedar mencari keuntungan pribadi. Oleh karena
itu, teori rasional ini perlu menjadi kajian dalam proses formulasi kebijakan.
Teori
rasional ini juga dikenal dengan teori “rasional komprehensif (PK)”. Ada
beberapa penulis yang memilih menggunakan konsep rasional komprehensif dengan memasukkan faktor “kekomprehensifan“
di dalamnya. Unsur-unsur dalam teori PK ini tidak jauh berbeda dengan rasional,
yaitu:
a.
Pembuat keputusan dihadapkan pada
suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalh lain, atau
setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama
lain.
b.
Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau
sasaran yang menedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat diterpkan
rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.
c.
Berbagai alternatif untuk
memecahkan masalah tersebut diteliti secara bersama.
d.
Akibat-akibat (biaya dan manfaat)
yang ditimbulkan oleh setiap alternatif yang dipilih diteliti.
e.
Setiap alternatif dan masing-masing
akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan dengan alternatif lainnya.
f.
Pembuat keputusan akan memilih
alternatif dan akibat-akibatnya yang dapat memaksimalkan tercapainya tujuan,
nilai atau sasaran yang digariskan.
Pada akhirnya, teori ini berhadapan dengan
kritikan bahwa para pengambil keputusan tidak mampu merumuskan “masalah” itu
sendiri, sehingga kebijakannya justru tidak rasional.
Herbert Simon menemukan bahwa dalam keputusan
administrasi, rasionalitas sebenarnya tidaklah ada;yang ada adalah bounded
rationality karena rasionalitas tergantung kepada manusianya dan
rasionalitas manusia ditentukan oleh irasionalitas yang ada di belakang
rasionalitasnya. Pada prakteknya, pengambil keputusan acap kali tidak mempunyai
cukup cakapan untuk melakukan syarat-syarat dari teori ini, mulai dari
analisis, penyajian alternatif, hingga penggunaan teknik-teknik analisis komputer
yang paling maju untuk menghitung rasio untung-rugi. Rasionalisme menjadi
irasionalisme yang dijustifikasi, baik secara ilmiah maupun secara kekuasaan,
sebagai rasionalisme.[23]
6. Teori Inkrementalis
Teori
inkrementalis pada dasarnya merupakan kritik terhadap teori rasional.
Dikatakannya, para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang
disyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki cukup waktu,
intelektual, maupun biaya, ada kekhawatiran akan munculnya dampak yang tidak
diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya
hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan dan menghindari
konflik.[24]
Teori ini melihat bahwa kebijakan publik
merupakan variasi ataupun kelanjutan dari kebijakan masa lalu. Teori ini dapat
dikatakan sebagai teori pragmatis/praktis. Pendekatan ini diambil ketika
pengambil kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan
informasi dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan dihadapkan pada
ketidakpastian yang muncul di sekelilingnya. Pilihannya adalah melanjutkan
kebijakan di masa lalu dengan beberapa modifikasi seperlunya. Pilihan ini
biasanya dilakukan oleh pemerintah yang berada di lingkungan masyarakat yang
pluralistik yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang dapat
memuaskan seluruh warga. Inti kebijakan inkrementalis adalah berusaha
mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahankan kinerja
yang telah dicapai.
7. Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning)
Teori ini merupakan upaya menggabungkan antara
teori rasional dengan teori inkremental. Inisiatornya adalah pakar sosiologi
organisasi, Amita Etzioni tahun 1967. Ia memperkenalkan teori ini sebagai suatu
pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan pokok dan incremental,
menetapkan proses-proses fomulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang
menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan
pokok, dan menjalankanya setelah keputusan ini tercapai. Teori ini ibaratnya
pendekatan dengan dua kamera: kamera dengan wide
angle untuk melihat keseluruhannya, dan kamera dengan zoom untuk melihat detailnya.[25]
Pada
dasarnya, teori ini adalah teori yang amat menyederhanakan masalah. Etzioni pun
hanya memperkenalkan dalam sebuah papernya dalam Public Administration review Desember 1967 dengan judul “Mixed Scanning: A Third Approach to Decission Making”. Namun harus
diakui, di Indonesia teori ini disukai karena merupakan “teori kompromi”, meski
tidak efektif.
8. Teori Demokratis
Beberapa pengajar di Indonesia belakangan ini
sering mengelaborasi sebuah teori yang berintikan bahwa penngambilan keputusan
harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari Stakeholder. Teori ini dapat dikatakan sebagai “Teori Demokratis”
karena menghendaki agar setiap “pemilik hak demokrasi” diikut-sertakan
sebanyak-banyaknya.[26]
Teori
ini berkembang khususnya di negara-negara yang baru saja mengalami transisi ke
demokrasi, seperti Indonesia. Gambaran sederhana dapat diandaikan dalam sebuah
proses pengambilan keputusan demokratis dalam teori politik. Teori ini biasanya
dikaitkan dengan implmentasi good
governance bagi pemerintah yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan,
para konstituten dan pemamfaat (benificiaries) diakomodasi keberadaanya.
Teori
yang dekat dengan dengan teori “pilihan public” ini baik, namun kurang efektif
dalam mengatasi masalah-masalah yang kritis, darurat, dan dalam kelangkaan
sumber daya. Namun, jika dapat dilaksanakan teori ini sangat efektif dalam
implementasinya, karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta
mencapai keberhasilan kebijakan, karena setiap pihak bertanggung jawab atas
kebijakan yang dirumuskan.[27]
9. Teori Strategis
Meskipun disebut “strategis” pendekatan ini
tidak mengatakan bahwa pendekatan lain “tidak strategis”. Initinya adalah bahwa
pendekatan ini menggunakanan rumusan runtutan perumusan strategi sebagai basis
perumusan kebjakan. Salah satu yang banyak dirujuk adalah John D. Bryson,
seorang pakar perumusan strategi bagi organisasi non-bisnis.[28]
Bryson
mengutip Olsen dan Eadie untuk merumuskan makna perencanaan strategis, yaitu
upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang
membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau entitas lainnya), apa
yang dikerjakan organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau
entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya) mengerjakan hal
lain seperti itu. Perencanaan strategis masyarakat pengumpulan imformasi secara
luas eksplorasi alternative, dan menekankan implikasi masa depan dengan
keputusan sekarang.
Perencanaan strategis lebih memfokuskan kepada
pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap lingkungan di luar
dan di dalam organisasi, dan berorientasi pada tindakan. Perencanaan strategis
dapat membantu organisasi untuk :
a.
Berpikir secara strategis dan
mengembangkan strategi-strategi yang efektif.
b.
Memperjelas arah masa depan.
c.
Menciptakan prioritas.
d.
Membuat keputusan sekarang dengan
mengingat konsekuensi masa depan.
e.
Mengembangkan landasan yang koheren
dan kokoh bagi formulasi keputusan.
f.
Menggunakan keleluasaan yang
maksimum dalam bidang-bidang yang berada di bawah.
g.
Control organisasi.
h.
Membuat keputusan yang melintasi
tingkat dan fungsi.
i.
Memecahkan masalah organisasi.
j.
Mengenai keadaan yang berubah
dengan cepat secara efektif.
k.
Membangun kerja kelompok dan
keahlian.
Proses perumusan strategis sendiri
disusun dalam langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Memprakarsai dan menyepakati proses
perencanaan strategis, yang meliputi kegiatan.
b.
Memahami mamfaat proses perencanaan
strategis, mengembangkan kesepakatan awal.
c.
Merumuskan panduan proses.
d.
Memperjelas mandat dan misi
organisasi, yang meliputi kegiatan perumusan misi dan mandat organisasi.
e.
Menilai kekuatan dan kelemahan,
peluang dan ancaman. Proses ini melibatkan kegiatan perumusan hasil kebijakan
yang diinginkan, manfaat-manfaat kebijakan, analisis SWOT (penilaian lingkungan
ekstenal dan internal), proses penilaian, dan panduan proses penilaian itu
sendiri.
f.
Mengidentifikasi isu strategis yang
dihadapi oleh organisasi. Proses ini melibatkan kegiatan-kegiatan merumuskan
hasil dan manfaat yang dinginkan dari kebijakan, merumuskan contoh-contoh isu
strategis mendiskripsikan isu-isu strategis.
g.
Merumuskan strategi untuk mengelola
isu.
Teori ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai
salah satu derivate manajemen dari teori rasional karena mengandaikan bahwa
proses prumusan kebijakan adalah proses rasional, dengan perbedaan bahwa teori
ini lebih focus pada rincian-rincian langkah manajemen. [29]
10. Teori Permainan
Teori seperti
ini biasanya di cap sebagai teori konspiratif.
Teori permainan sudah mengemuka setelah berbagai pendekatan secara rasional
tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul yang sulit diterangkan
dengan fakta-fakta yang tersedia, karena
sebagian besar dari kepingan fakta tersebut tersembunyi erat.
Gagasan pokok
dari kebijakan dalam teori permainan adalah pertama,
formulasi kebijakan berada dalam situasi kompetisi yang intensif, dan kedua, [para actor berada dalam situasi
pilihan yang tidak independen ke dependen melainkan situasi
pilihan yang sama-sama bebas atau independen. Sama seperti sebuah catur, setiap langkah akan bertemu
dengan kombinasi langkah lanjut dan
langkah balasan yang masing-masing relatif bebas.[30]
Teori
permainan adalah teori yang sangat abstrak dan deduktif dalam formulasi
kebijakan. Teori ini mendasarkan pada formulasi kebijkan yang rasional, namun
dalam kondisi kompetisi yang tingkat keberhasilan kebijakannya tidak lagi hanya
ditentukan oleh actor pembuat kebijakan, namun juga aktor-aktor lain.
Secara
sederhana konsep formulasi kebijakan dalam teori permainan dapat dilihat pada
matriks berikut ini.
|
Permain A
Alternatif Aı
Alternatif A2
Pemain B Alternatif Bı efek
efek
Alternatif B2 efek
efek
|
Catatan : yang
dimaksud sebagai efek adalah outcome, sementara
output dipahami sebagai hasil
Konsep
kunci dari teori permainan adalah strategi,
yang konsep kuncinya bukanlah yang paling optimum
namun yang paling aman dari serangan lawan. Jadi, didasarnya konsep ini
mempunyai tingkat konservasitifitas yang tinggi, karena pada intinya adalah
strategi defensive. Pendekatan teori
permainan ini dapat dikembangkan sebagai strategi ofensif terlebih apabila yang bersangkutan berada dalam posisi
superior.
Inti dari permainan yang terpenting
adalah bahwa ia mengakomodasi kenyataan paling riil, bahwa setiap Negara,
setiap pemerintah, setiap masyarakat tidak hidup dalam fakum. Ketika kita
mengambil keputusan maka lingkungan tidak pasif, melainkan membuat keputusan
yang bisa menurunkan keefektivan keputusan kita. Di sini teori permainan
memberikan kontribusi yang paling optimal.
11. Teori Pilihan Publik
Teori
kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah prosesformulasi keputusan
kolektif dari individu-individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut.
Akar kebijaksanaan ini sendiri berakar dari teori ekonomi pilihan public (economic of public choise) yang mengandaikan bahwa manusia adalah homo ecnomicus yang memiliki
kepentingan-kepentingan yang harus dipuaskan. Prinsipnya adalah buyer meet seller; supply meet demand.
Pada intinya, setiap kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah harus merupakan
pilihan dari publik yang menjadi panggung (beneficiaries atau consumer
dalam konsep ekonomi). Proses formulasi kebijakan public dengan demikian
melibatkan public melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum, ia adalah
konsep formulasi kebijakan publik yang paling demokratis karena yang memberi
ruang yang luas kepada publik untuk mengontribusikan pilihan-pilihannya kepada
pemerintah sebelum diambil keputusan. Sebuah pemikiran yang dilandasi gagasan
John Locke bahwa pemerintah adalah sebuah lembaga yang muncul dari kontrak social di
antara individu-individu warga masyarakat.[31]
Teori ini
membantu untuk menjelaskan, kenapa para pemenang pemilu acap kali gagal
memberikan yang terbaik kepada masyarakat karena mereka lebih berkepentingan
kepada publik nya yaitu para pemberi
suara atau pendukungnya . teori ini juga membantu kita memahami kenapa
kebijakan-kebijakan publik tempatnya selalu di tengah-tengah dari
kebijakan yang liberal maupun konservatif.
Teori kebijakan publik, meski ideal
dalam konteks demokrasi dan kontrak social, namun memiliki kelemahan pokok
dalam realitas intraksi itu sendiri, karena intraksi akan terbatas pada publik yang mempunyai akses, dan disisi
lain terdapat kecendrungan dari pemerintah untuk memuaskan pemilihannya
daripada masyarakat luas. Tidak jarang kita melihat kebijakan publik yang
seakan-akan adil namun apabila dikaji, ia hanya menguntungkan sejumlah kecil
warga atau kelompok saja. Misalnya, konsep perdagangan
bebas adalah konsep yang adil , namun keadilan itu akan lenyap apabila
diterapkan dalam keadaan dimana terjadi kesenjangan antara sebagian kecil
masyarakat yang sudah kompeten dan
yang jauh dari kompeten. Seperti
membuat jalan tol, yang memiliki mobil hanya 10% dari populasi, dan 90% sisanya
bersepeda motor, bersepeda angi, dan berjalan kaki. Teori ini sesuai, namun ada ceteris paribusnya, yaitu apabila sudah tercapai kondisi kesetaraan di
antara masyarakat.
12. Teori Sistem
Pendekatan ini pertama kali oleh
David Easton yang melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya system
biologi merupakan proses intraksi antara mahuk hidup dengan lingkungannya, yang
akhirnya menciptakan keberlansungan perubahan hidup yang relative stabil. Dalam
Terminologi ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan system politik. Dalam
pendekatan ini dikenal tiga komponen: input, proses, dan output. Salah satu
kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusanya perhatian pada
tindakan-tindakan yang diakukan pemerintah, dan pada akhirnya kita kehilangan
perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah.[32]
Jadi,
formulasi kebijakan publik dengan teori sistem mengandaikan bahwa kebijakan
merupakan hasil atau output dari
system (politik). Seperti dipelajari dalam ilmu politik, sistem politik terdiri
dari input, throughput, dan output,
![]() ![]() ![]() |
Dari
gambar tersebut dapat dipahami bahwa proses formulasi kebijakan publik berada
dalam sistem politik dengan mengandalkan kepada masukan (input) yang terdiri
dari dua hal yaitu tuntunan dan dukungan.
Teori
ini merupakan teori yang paling sederhana namun cukup komprehensif meski tidak
memadai lagi untuk dipergunakan sebagai landasan pengambilan keputusan atau
formulasi kebijakan publik.
13. Teori Deliberatif
Teori deliberatif atau “musyawarah”
pada perumusan kebijakan dapat juga dilihat pada bagian analisis kebijakan
dengan teori deliberative policy analysis
di depan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, teori ini dikembangkan oleh
Maarten Hajer dan Henderik Wagenaar (2003) dengan mengembangkan konsep ini dari
Frank Fischer dan John Forester yang menulis The Argumentative Turn in Policy Analysis and Planning (1993).
Istilah lain yang digunakan adalah collaborative
policy making. Proses analisis kebijakan teori publik “musyawarah”cini jauh
berbeda dengan teori teknokratik, karena peran dari analisis kebijakan “hanya”
sebagai fasilitator agar masyarakat menemukan sendiri keputusan kebijakan atas
diri sendiri. Prosesnya dapat disederhanakan sebagai berikut.[33]
Peran
pemerintah di sini sebagai legalisator dari
“kehendak publik”. Sementara peran analisis kebijakan analisis sebagai prosesor proses dialog publik agar
menghasilkan keputusan publik untuk dijadikan sebagai kebijakan publik.
|
Mengapa
publik perlu dilibatkan? Tampa publik, proses kebijakan akan kering dan sangat
berbau teknokratis. Sebagaimana pernyataan klasik, kepada siapa pada akhirnya kaum teknokrat bertanggung jawab?kepada
rakyat atau kepada elit politik dan pemerintahan yang menyewa atau menggunakan
jasanya? Perntanyaan ini berpulang pada fakta bahwa para jenius seperti
Einstein juga menghasilkan bom atom yang tidak pernah mampu ia kendalikan
pemanfaatannya. Ketika temuan itu dijadikan senjata pemusnah massal, yang
terjadi hanyalah penyesalan. Analisis kebijakan adalah teknokrat social, yang
seharusnya belajar dari rekannya, teknokrat ilmu alam, yang menjadi “korban”
keserakahan kekuasaan politik.[34]
14. Teori Lain?
Di luar teori ini terdapat sejumlah
teori yang menurut penulis tidak cikup relevan untuk dimasukan dalam kategori
“teori”, di antaranya adalah teori “garbage
cans” atau kantong sampah, dengan metode garbage in, garbage out,[35]
yang pada intinya mengandaikan bahwa teori kebijakan seperti memasukan tangan
ke kantong sampah. Karena yang masuk adalah sampah, yang keluar adalah sampah.
Teori ini juga dapat diapahami sebagai sebuah pemahaman bahwa pengambil
kebijakan mengamil secara acak (baca:asal(-aasalan)
atau sembarangan) kebijakan dari
“sekeranjang” alternative kebijakan yang ada atau pernah ada atau yang
disajikan kepadanya. Unsur “kesembarangan” ini dinilai dekat dengan unsur
“kesembronoan”, dan pada akhirnya berujung kepada rendahnya kualitas
“akuntabilitas publik” dari kebijakan itu sendiri.
Teori
lain yang tidak dibahas disini adalah teori yang disebut Kingdom (2003) sebagai policy window yang dipahami sebagai sebuah
kondisi di aman terdapat ruang di mana mereka yang “berada di luar rumah”
melakukan intervensi “melalui jendela”, yang bias jadi mewakili kepentingan
mereka sendiri. Di dalam praktik politik, hal ini sring terjadi, dan dalam
pemahaman teori pertukaran, mereka dapat disebut sebagai The Free Riders.[36]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Proses kebijakan publik dapat dipahami sebagai serangkaian tahap
atau fase kegiatan untuk membuat kebijakan publik. Dalam studi kebijakan
publik, melalui penggunaan pendekatan politik akan dihasilkan proses kebijakan.[37]
Pada umumnya teori-teori proses
kebijakan ada lima yaitu;1. Penentuan Agenda, 2. Formulasi
Kebijakan, 3. Penetapan Kebijakan, 4. Pelaksanaan Kebijakan, 5. Evaluasi
Kebijakan.
Sedangkan
perumusan kebijakan
adalah pijakan awal dalam kebijakan publik. Dalam khazanah teori perumusan
kebijakan, dikenal tiga belas jenis perumusan kebijakan yaitu: 1. Teori
Kelembagaan, 2. Teori Proses, 3. Teori Kelompok, 4. Teori Elit, 5. Teori
Rasionalisme, 6. Teori Inkrementalis, 7. Teori Pengamatan Terpadu (Mixed
Scanning), 8. Teori Strategis, 9. Teori Demokratis, 10. Teori Permainan,
11. Teori Pilihan, 12. Teori Sistem, 13. Teori Deliberatif.
B.
Kata Penutup
Puji syukur
kepada Allah atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari tentunya masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat berkontribusi
bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
H.A.R Tilaar,
H.A.R. dan Nugroho, Riant. Kebijakan
Pendidikan (Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan
Pendidikan sebagai Kebijakan Publik), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Hamdi, Muchlis. Kebijakan Publik Proses,
Analisis, dan Partisipasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014.
Kusumanegara,
Solahuddin. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta:
Gava Media, 2010.
Nugroho, Riant. Kebijakan Publik
Negara-Negara Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Winarno, Budi. Kebijakan Publik teori & Proses, Jakarta: PT Buku Kita, 2007.
hal. 114.
[15] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan
Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 190.
[36] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan
Pendidikan..., hal. 210.
[37] Solahuddin Kusumanegara, Model dan Aktor
dalam Proses Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gava Media, 2010), hal. 19.




