PENDEKATAN
FENOMENOLOGI DALAM STUDI ISLAM
Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah
“Pendekatan dalam Pengkajian Islam”
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H.
Hamruni, M.Si.
Disusun
oleh:
Dini Fauziyati ( 17204010156 )
Nomer
Absen 7
Kelas:
I A
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan anugerah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “PENDEKATAN FENOMENOLOGI
DALAM STUDI ISLAM” dengan baik. Makalah ini berisikan tentang
informasi mengenai pendekatan fenomenologi dalam studi Islam dan yang berkaitan
dengan hal itu.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat
kepada kita. Penulis menyadari bahwa makalah atau karya tulis ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini.
Akhir kata,
penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan karya tulis ini.
Wassalaamualaikum
wr.wb
Yogyakarta, 6 Mei 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Riset telah terbuka lebar di era milenial ini. Tantangan civitas
akademik semakin pelik. Perlu memanfaatkan peluang tersebut yang menghubungkan
civitas akademik dengan riset. Dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan yang amat
luas terlebih fokus dalam kajian studi Islam. Pengetahuan itu dapat berupa
pendekatan dalam studi Islam agar civitas akademik dapat terjun tanpa cidera di
dunia riset akademik yang hal itu merupakan dharma kedua yaitu penelitian dan
pengembangan dari Tri Dharma perguruan tinggi. Dengan memfokuskan satu
pendekatan yaitu pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini perlu diketahui
defini, ruang lingkup, metode dan juga penerapannya. Hal itu diteliti untuk
lebih mendalami pendekatan dalam studi Islam tentang pendekatan fenomenologi.
Banyak sekali pendekatan-pendekatan dalam studi Islam, dalam hal
ini penulis akan berfokus pada pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini sering
digunakan dalam kualitatif, baik itu sifatnya deskriptif maupun interpretatif.
Untuk itu perlu kajian yang mendalam mengenai pendekatan fenomenologi. Sehingga
selain memperluas khazanah ilmu pengetahuan juga memperlebar peluang untuk bisa
partisipasi dalam riset atau karya tulis ilmiah baik itu dalam konferensi,
seminar maupun hanya dalam perkuliahan di kelas. Sebenarnya mahasiswa itu
berfokus pada belajar kemudian menerapkan ilmu yang sudah didapat di
perkuliahan. Dari hal sepele, misalnya sebuah makalah bisa dibuat menjadi karya
tulis ilmiah sebuah artikel jurnal. Sehingga akan lebih mudah riset kalau sudah
tahu ilmunya, termasuk pendekatan fenomenologi ini. Barangkali hal ini menjadi
inspirasi ketika menyusun tesis nanti.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan
pendekatan fenomenologi dalam studi Islam?
2.
Apakah ruang lingkup kajian
pendekatan fenomenologi dalam studi Islam?
3.
Bagaimana metode pendekatan
fenomenologi dalam studi Islam?
4.
Bagaimana penerapan pendekatan
fenomenologi dalam studi Islam?
C.
Tujuan
1.
Mempelajari dan memahami pengertian
pendekatan fenomenologi dalam studi Islam.
2.
Mempelajari dan memahami ruang lingkup
kajian pendekatan fenomenologi dalam studi Islam.
3.
Mempelajari dan memahami metode
pendekatan fenomenologi dalam studi Islam.
4.
Mempelajari dan memahami penerapan
pendekatan fenomenologi dalam studi Islam.
D.
Metode Penelitian dan Analisis
Data
Berdasarkan jenisnya penelitian ini menggunakan penelitian
kepustakaan atau library research. Dalam analisis, data diolah, diorganisir, dan dipecahkan dalam unit yang
lebih kecil. Adapun analisis yang peneliti gunakan analisis deskriptif. Langkah-langkah
dalam menerapkan metode analisis, berturut-turut; reduksi data, klasifikasi
data, display data dan melakukan interpretasi serta mengambil
kesimpulan.[1]
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN KATA PENGANTAR.......................................................................
2
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah......................................................................... 3
B.
Rumusan Masalah ................................................................................. 4
C.
Tujuan.................................................................................................... 4
D.
Metode dan Analis Data ....................................................................... 4
E.
Daftar Isi ............................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendekatan Fenomenologi dalam Studi
Islam................... 6-8
B.
Ruang Lingkup Kajian Pendekatan Fenomenologi
dalam Studi Islam 8-16
C.
Metode Pendekatan Fenomenologi dalam Studi
Islam...................... 16-18
D.
Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam Studi
Islam.................... 19
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan .......................................................................................... 20
B.
Kata Penutup........................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 22
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendekatan Fenomenologi
dalam Studi Islam
Fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani yang mengandung arti menampak. Phainomenon
merujuk kepada yang nampak. Fenomena merupakan fakta yang disadari , dan masuk
kedalam kesadaran manusia. Dengan demikian objek itu berada dalam relasi dengan
kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya sebagaimana yang tampak secara kasat mata,
akan tetapi justru berada didepan kesadaran , dan disajikan dengan kesadaran
pula. Dengan demikian fenomenologi merefleksikan pengalaman langsung manusia,
sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu objek.
Pengertian lain menyebutkan bahwa fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena
yang dibedakan dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang
menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena (kajian tentang fenomena), dengan
demikian fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana
penampakannya.[2]
Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah
metode yang berpusat pada analisis gejala yang membanjiri kesadaran manusia.
Metode ini dirintis oleh Husserl (1859-1938). Secara operasional, fenomenologi
agama menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius yang bersifat
yang bersifat subyektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi, maksud,
pengalaman dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar
(fenomena).[3]
Pada awalnya
fenomenologi adalah sebuah arus pemikiran dalam filsafat, dan aliran ini kini
boleh dikatakan selalu dihubungkan dengan tokoh utamanya, Edmund Husserl. Meskipun
demikian, istilah “fenomenologi” (phenomenology) sebenarnya tidak
berawal dari Edmund Husserl, karena istilah ini sudah sering muncul dalam
wacana filsafat semenjak tahun 1765, dan juga kadang-kadang muncul dalam
karya-karya dari ahli filsafat Immanuel Kant. Dalam wacana tersebut makna
istilah fenomenologi memang masih belum dirumuskan secara khusus dan eskplisit.
Makna kata “fenomenologi” baru menjadi semakin jelas setelah Hegel
merumuskannya. Hegel mendefinisikan fenomenologi sebagai “pengetahuan
sebagaimana pengetahuan tersebut tampil atau hadir terhadap kesadaran” (“knowledge
as it appears to consciousness”). Selain itu fenomenologi juga dapat
diartikan sebagai “ilmu pengetahuan tentang penggambaran apa yang dilihat oleh
seseorang, apa yang dirasakan dan diketahuinya dalam immediate awareness and
experience-nya. Penekanan pada proses penggambaran ini membawa kita kepada
upaya mengungkapkan “phenomenal consciousness” (kesadaran fenomenal,
kesadaran mengenai fenomena) melalui ilmu pengetahuan dan filsafat, menuju ke “the
absolute knowledge of the absolute.”[4]
Dikutip oleh
Romdon, menjelaskan bahwa Prof. Dr. N. Dwiyarkara membuat uraian tentang
fenomenologi panjang lebar dalam bukunya Pertjikan Filsafat terbitan PT.
Pembangunan Jakarta, tahun 1962, yang diantaranya dikatakan sebagai berikut:
Fenomenologi adalah terusan dari fenomenon dan
logos. Kata logos jang di sini mendjadi logi tak perlu diterangkan karena sudah
dikenal dalam banjak susunan seperti sosiologi, etnologi, biologi dan
lain-lain. Jang minta keterangan ialah kata fenomenon. Akar kata jang termuat
dalam istilah itu samalah dengan akar kata-kata fantasi, fantom, fosfor, foto
jang artinya sinar tjahaja. Dari akar kata-kata itu dibentuk suatu kata kerdja
jang antara lain berarti tampak atau terlihat karena bertjahaja. Dalam bahasa
kita gedjala. Djadi fenomenologi berarti uraian atau pertjakapan tentang
fenomenon atau sesuatu jang sedang menampilkan diri. Menurut tjara berpikir dan
berbitjara filsafat dewasa ini dapat juga dikatakan pertjakapan dengan
fenomenon atau sesuatu jang sedang menggedjala. Dengan keterangan ini mulai
tampaklah tendensi jang terdalam dari aliran fenomenologi jang terdalam dari
aliran fenomenologi jang sebetulnja merupakan tjita-tjita dan djiwa dari semua
filsafat. Ialah ingin pengertian jang menangkap realitas itu sendiri.[5]
Model
fenomenologis ini merupakan pendekatan yang sangat banyak diminati oleh para
peminat Perbandingan Agama, bahkan James Spickard menyebutnya sebagai
pendekatan yang super-kuat (powerfull) dalam studi agama-agama, padahal
di saat yang sama banyak orang yang tak paham tentang pendekatan fenomenologi
ini. Pendekatan ini sangat lazim disukai karena dianggap sangat membantu dalam
memahami agama dan kehidupan (pengalaman) keagamaan orang lain.[6] Menurut
Prof. Yudian Wahyudi, metode fenomenologi merupakan puncak semua idealisme
transendental, pencapaian luar biasa filsafat eropa. Paling mampu memberi
kontribusi kepada peningkatan penelitian-penelitian keagamaan.[7] Jadi
pendekatan fenomenologi berusaha untuk menengahi antara sikap yang kering dan
tidak simpati dari pendekatan positivistik terhadap agama dengan teologi
konservatif. Tidak persis betul sebagai jalan tengah karena banyak sarjana
mengusulkan berbagai cara di ruang yang sempit ini.[8]
B.
Ruang Lingkup Kajian Pendekatan
Fenomenologi dalam Studi Islam
1.
Perkembangan Historis Pendekatan
Fenomenologis
Pendekatan fenomenologis mula-mula
merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren bagi studi agama. Sekarang
bisa dilihat perkembangan pendekatan ini dengan lebih detail. Filsafat Hegel
dapat menjadi dasar dibangunnya pendekatan fenomenologis. Dalam karyanya yang
berpengaruh The Phenomenology of Spirit (1806), Hegel mengembangkan
tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan atas penampakan
dan manifestasi (Erschinungen). Tujuan Hegel adalah menunjukkan bagaimana karya
ini membawa pada pemahaman bahwa seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya,
bagaimanapun juga didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist
atau spirit). Penekanan terhadap hubungan antara esensi dan manifestasi
ini, menjadi suatu dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keberagamannya
pada dasarnya mesti dipahami sebagai suatu entitas yang berbeda. Berdasar atas
penunjukkan kepada suatu realitas transenden yang tidak terpisah tetapi dapat
dilihat dalam dunia, juga memberi kepercayaan akan pentingnya agama sebagai
suatu objek kajian karena kontribusi yang akan diberikan kepada pengetahuan
“ilmiah”. Pengaruh Hegel terbukti dalam judul karya yang diterbitkan pertama
yang menguraikan suatu judul karya yang diterbitkan pertama yang menguraikan
suatu pendekatan fenomenologis dalam studi agama dengan cara yang koheren,
yaitu karya Gerardus Vander Leeuw, Phenomenologie der Religion, (1933) yang
diterjemahkan dengan Religion in Essence and Manifestation (1938), meskipun
Vander Leeuw sendiri menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologis terdapat dalam
karya-karya penulis sebelumnya.[9]
Pengaruh filosofis kedua yang
dijadikan dasar oleh Van der Leeuw adalah filsafat Edmund Husserl. Edmund
Husserl dikenal sebagai penggagas dasar aliran filsafat fenomenologi
(1859-1938). Husserl adalah seorang filosof dari Jerman yang pernah mengajar
filsafat di Halle, Gottingen dan Freiburg. Fenomenologi bersumber dari
pembedaan yang dilakukan oleh Emmanuel Kant antara nomenal (alam yang
sesungguhnya) dan phenomenal (yang tampak/terlihat) dan juga merupakan
pengembangan dari phenomenology of spirit dari Hegel. Hasserl merupakan
ahli matematika yang mengembangkan filsafatnya dengan bertolak dari filsafat
ilmu. Ia merasa betapa pentingnya memberi landasan pemikiran filsafati pada
persoalan teoritis yang diajukan demi mencapai kebenaran. Untuk mengembangkan
metode demikian perhatian harus terpusat pada fenomena itu tanpa praduga
apapun. Itu terungkap melalui slogan yang terkenal di kalangan penganut
fenomenologi, yaitu zu den sachen selbst (terarah pada benda itu). Dalam
keterarahan pada benda itu benda itulah yang dibiarkan untuk mengungkapkan
hakikat dirinya sendiri. Dari proses pemikiran demikian, lahirlah metode
fenomenologis. Edmund Husserl dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan
fenomenologi. Akan tetapi istilah fenomenologi sudah ada sebelum Husserl.
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai J.H. Lambert (1764).
Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran menegenai gejala (fenomenologia).
Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri
bayangan objek pengalaman indrawi (fenomen).[10]
Meskipun Husserl sendiri tidak secara langsung membahas studi agama, dua konsep
yang mendasari karyanya menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi
studi fenomenologis terhadap agama: epoche dan pandangan eidetik.
Dua istilah yang diambil dari Yunani ini mengungkapkan skop metode dan ketegangan
yang ada di dalamnya. Epoche terdiri dari pengendalian atau kecurigaan
dalam mengambil keputusan. Epoche juga diacukan sebagai “tanda kurung” (bracketing
out). Ini secara tidak langsung menunjukkan tidak adanya prasangka yang
akan mempengaruhi hasil pemahaman. Dengan kata lain, konsep-konsep dan konstruk
worldview seseorang yang dibawa serta dalam penelitiannya dipandang
memiliki pengaruh distorsif terhadap hasil pemahaman. Kajian Levy-Bruhl dapat
dijadikan contoh, pandangan eiditik mengandaikan apoche, ia
memberi kemampuan melihat esensi fenomena secara objektif, bahkan juga membahas
persoalan subjektivitas persepsi dan refleksi. Eiditik mengendalikan adanya
kemampuan mencapai pemahaman intuitif tentang fenomena yang juga dapat
dipertahankan sebagai pengetahuan "objektif".[11]
Pierre Daniel
Chantepie de la Saussaye dilahirkan pada tahun 1848 di Belanda dan karyanya
lebih dulu muncul dibanding Van der Leeuw. Concern utamanya adalah klasifikasi
agama secara sistematik dan memperkenalkan suatu metodologi yang sesuai. Dia
adalah salah seorang yang pertama memahami fenomenologi agama sebagai disiplin
ilmiah. Pandangannnya dalam hal ini sangat berpengaruh. Di satu sisi dia
mengakui pentingnya Hegel, namun di sisi lain dia mengacu kembali pada Kaisar
India Akbar (1555-1606), seorang penguasa muslim yang terkenal toleransinya dan
filsuf muslim Ibnu Sina (1126-1196) dimana komentar-komentarnya terhadap
karya-karya filsuf Yunani, Plato dan Aristoteles sangat memperkaya perdebatan
filosofis dalam dunia Islam. Concern De la Saussaye terhadap filsafat
sejarah yang dia lihat sebagai germain terhadap ilmu agama,
mempertimbangkan pentingnya filsuf abad XVIII yang pada umumnya diabaikan yakni
Vico yang menawarkan suatu teori pengetahuan yang bertentangan dengan model Cartesian
yang dominan. Penyetaraan antara signifikansi teologi Kristen dan ilmu agama
dalam pemikiran De la Saussaye merupakan hal yang cerdik, sekalipun
pembahasannya tentang studi-studi etnografis tidak mengantarkannya pada
faktor-faktor partikular agama-agama suku liar secara detail (Manual of the
Science of Religion, 1891). Meski demikian, tidak seperti Van der Leeuw,
dilihat dari tingkat keluasan perhatiannya, titik tekan Chantepie de la
Saussaye lebih terbatas. Concern-nya pada ritual sebagai fenomena
dasar juga tidak membawa pada pertimbangan filosofis yang justru menjadi
karakteristik Van der Leeuw. Figur awal lainnya Nathan Soderblom dan William
Brede Kristensen merupakan figur yang paling khas. Soderblom adalah seorang
Kristen liberal yang memiliki komitmen dalam pengertian yang lebih jelas
dibanding tokoh-tokoh lain semasanya. Van der Leeuw menganggapnya sebagai
pelopor terjadinya perubahan arah dalam sejarah agama karena pandangannya yang
teliti dan tajam serta mendalam tentang apa yang “tampak”.[12]
Kristensen
melihat fenomenologi agama sebagai pelengkap pendekatan historis dan filosofis,
namun dalam memahaminya Kristensen memiliki tujuan yang berbeda. Menurutnya,
tugas fenomenologi adalah melakukan pengelompokan secara sistematik tentang
karakteristik data untuk menggambarkan watak keagamaan manusia. Fenomenologi
hendak mengungkapkan elemen-elemen esensial dan tipikal dari agama. Ini adalah
tugas deskriptif, bukan interpretatif. Fenomenologi adalah prasyarat niscara
bagi tugas filosofis dalam menentukan esensi agama. Sama halnya, penelitian
historis menemukan data partikular dalam suatu agama tertentu, yang tanpanya
tidak mungkin dilakukan kajian-kajian fenomenologis. Penjelasan tentang
penentuan peran fenomenologi merupakan kontribusi utama Kristensen dalam
mengukuhkan fenomenologi sebagai suatu disiplin sendiri. Dia juga menegakan
tentang pentingnya memahami agama dari sudut pandang orang yang beriman, suatu
prinsip yang menjadi aksioma dalam studi-studi fenomenologis selanjutnya,
seperti kajian fenomenologis smart (1969), walaupun kenyataannya hanya satu
karya Kristensen yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Meaning of Religion (1960), yang
kalau dibandingkan terhitung baru-baru ini. Tidak ada pembahasan mengenai
perkembangan pendekatan fenomenologis yang sempurna, jika tidak mencatat
pengaruh Rudolf Otto. Karyanya The Idea of The Holy (1923), merupakan
karya terpenting dalam mengarahkan perkembangan pendekatan fenomenologis
selanjutnya dan merupakan karya seminal bagi pengarang-pengarang setelahnya
setara dengan karya Van der Leeuw. Karya ini menjadi penting menurut
Waardenberg karena peletakan “yang suci” sebagai suatu kategori makna dan
nilai. Dengan ini, dia mempostulasikan otonomi agama sebagai hal yang berbeda
dari wilayah kehidupan pengetahuan keagamaan, yang secara psikologis dapat
dicapai melalui “sensus numinis” (pengalaman akan yang suci).[13]
Sebenarnya
Otto telah memecahkan beberapa persoalan dasar yang menganggu studi
fenomenologis. Dia menyatukan sejumlah aliran dan pendekatan yang terpisah
dengan menganalisis pengalaman keagamaan dengan cara memasukan subjektivitas
yang menurutnya bagaimanapun juga menjadi dasar studi “objektif”. Dia
menyatakan bahwa eksistensi numen (yang suci) harus ditetapkan sebagai
suatu kategori sui generis (hanya dipahami dalam pengertian istilahnya
sendiri), meskipun tidak sesuai dengan kriteria rasional karena ia tetap tak
terkatakan. Argumen ini bergantung pada pernyataan bahwa pengetahuan datang
berdasar keimanan. Argumennya dipertahankan berdasar bahwa konsepsi rasional,
dalam istilah keagamaan selalu mengacu pada sesuatu yang melampauinya. Ini
bukan penolakan atas nilai sesuatu yang rasional, melainkan lebih menegaskan
bahwa ortodoksi ditemukan dalam bangunan dogma dan dokrin dimana sama sekali
tidak ada perlakuan yang adil terhadap aspek nonrasional dari subjek agama. Di
sini, Otto dengan jelas mengidentifikasi bagaimana pendekatan fenomenologi
terhadap agama dibedakan dari pendekatan filosofis, antropologis dan
sosiologis. Meski demikian, dia telah mengerjakan sesuatu yang berharga karena
kajiannya menekankan suatu bias pengakuan terhadap keimanannya. Dia menyatakan
“Agama Kristen tidak hanya memiliki konsepsi-konsepsi (tentang yang suci)
melainkan memilikinya dalam kejernihan dan keterlimpahan yang unik dan meskipun
bukan satu-satunya atau bahkan yang utama namun merupakan tanda yang sangat
nyata atas superioritasnya terhadap agama dalam bentuk dan tingkat yang lain.[14]
Peninjauan
terhadap perkembangan utama dalam sejarah fenomenologi agama, utamanya dalam
kaitan dengan sarjana-sarjana yang turut membentuknya. Tinjauan ini memunculkan
sejumlah persoalan yang terkait dengan ;
·
Perbedaan sebagai suatu pendekatan
dalam studi agama.
·
Kualifikasinya sebagai suatu
pendekatan “ilmiah”.
·
Kemampuannya menggabungkan
serangkaian fenomena keagamaan.
·
Kapasitasnya dalam mengidentifikasi
suatu metodologi yang koheren.
2.
Karakteristik Pendekatan
Fenomenologi
Terdapat dua
hal penting yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Karakteristik
pertama dari pendekatan fenomenologi adalah pentingnya netralitas. Artinya,
studi agama dengan pendekatan fenomenologi lebih menekankan upaya pemahaman
seseorang atau pihak lain. Dalam keadaan demikian, seorang pengkaji diharapkan
untuk (sementara) mengesampingkan pemahaman dan komitmen terhadap agama yang
dianut dan pada waktu yang sama, mencoba mendekati agama orang lain tersebut
berdasarkan pemahaman dan pengalaman penganut agama itu sendiri. Ini didasarkan
juga pada satu asumsi bahwa prinsip umum dalam studi agama adalah satu kajian
berdasarkan pengalaman, perasaan, perkataan dan perbuatan penganut agama,
sekaligus bagaimana makna semua itu bagi dirinya. Begitu pula, dalam proses
kajian tersebut diupayakan pemahaman tentang bagaimana makna dari dokrin dan
kegiatan-kegiatan keagamaan seperti ritual dan juga reaksi-reaksi sosial bagi
diri penganut agama. Inilah yang dikenal dengan epoche dan sekaligus
menunjukkan bahwa pendekatan ini amat berbeda dengan metode dan pendekatan yang
selama ini menjadi karakteristik studi agama kaum Orientalis di Barat. Dalam
rangka memahami semua itu, seorang pengkaji agama dengan pendekatan
fenomenologi memanfaatkan hasil kajian disiplin-disiplin lain seperti sejarah,
filologi, arkeologi, studi literatur, psikologi, sosiologi, antropologi dan
yang semacamnya. Bagi seorang fenomenolog, pengumpulan semua data dan deskripsi
semua data itu merupakan proses awal dari studi dengan pendekatan fenomenologi.
Proses selanjutnya, seorang fenomenolog berupaya menginterpretasi data dan
melakukan investigasi mendalam guna memahami struktur dan keterkaitan antar
data berdasarkan keyakinan penganut agama yang diteliti. Seorang fenomenolog
memberi perhatian sungguh-sungguh terhadap upaya-upaya observasi, pemahaman dan
mencoba masuk ke dalam agama yang diteliti, dan kemudian menggambarkan kembali
pengalaman orang-orang beragama yang diteliti. Dalam konteks studi Islam (yang
menjadi objek kajian) mengatakan benar dan bisa menerima hasil penelitian
seorang sarjana tentang keyakinan agamanya? Jika jawabannya bersifat negatif
berarti hasil penelitian itu tidak bisa digambarkan sebagai keyakinan Islam.[15]
Itulah karakteristik
pertama pendekatan fenomenologi. Karakteristik kedua adalah kontruksi skema
texonomi dalam mengklarifikasi fenomena menembus batas-batas komunitas agama,
budaya dan bahkan kategorisasi-kategorisasi peristiwa sejarah (epochs).
Dalam proses pengumpulan data sebanyak mungkin, seorang fenomenolog mencoba
mencari sekaligus menentukan kategorisasi yang mengelompokan fenomena
berdasarkan kesamaan-kesamaan mendasar yang dimiliki. Proses ini dilakukan
dalam rangka mencermati struktur pengalaman keagamaan, yang pada dasarnya
menjadi prinsip umum yang termanifestasi dalam kehidupan keagamaan manusia.
Proses ini menempatkan seorang fenomenolog dalam penelitian sejarah dan
filologi menyangkut sejumlah tradisi keagamaan tertentu. Selanjutnya, ia
meneruskan dengan upaya sistematisasi dalam rangka menunjukkan karakter agama
dan dinamisasi dalam proses pemilihan struktur-struktur yang ada. Semuanya itu
berjalan menembus batas-batas spesifik kajian sejarah menuju level filsafat.
Hal ini penting, karena tidak mungkin bagi seorang peneliti untuk bisa memahami
secara komprehensif dan utuh fenomena keagamaan hanya dengan membatasi diri
pada kekhususan-kekhususan sejarah yang melatarbelakangi suatu peristiwa,
tetapi harus bergerak lebih jauh dengan menembus batas-batas spesifik
kesejarahan tersebut menuju sifat-sifat universal dari kasus atau
peristiwa-peristiwa sejarah yang spesifik. Dengan demikian, pendekatan
fenomenologi tertarik dan memusatkan perhatiannya pada hukum-hukum umum atau
hal-hal yang menjadi karakteristik umum dari semua kehidupan agama atau bisa
disebut juga sebagai hukum-hukum yang mengatur kemunculan dan ekspresi
keagamaan umat manusia. Dalam konteks studi Islam dapat dikatakan bahwa,
pendekatan fenomenologi membuka kesempatan kepada para peneliti untuk melihat
posisi tradisi Islam secara keseluruhan dalam konteks sejarah keagamaan
universal umat manusia. Dalam konteks ini pula dapat dilihat peran ilmu-ilmu
sosial; artinya pendekatan fenomenologi tidak akan bisa maksimal tanpa memanfaatkan
hasil-hasil penelitian ilmu-ilmu sosial.[16]
Pendekatan
fenomenologi ini amat penting tetapi bukan suatu yang mudah. Ia memerlukan
pemahaman mendalam tentang ilmu-ilmu sosial, ajaran agama dan realitas dari
ajaran agama itu sendiri. Pada waktu yang sama ia juga membutuhkan kemampuan
untuk bisa mempertahankan keyakinan agama yang dianut tetapi juga bisa
menghargai keyakinan agama lain sebagai realitas objektif. Kegagalan melakukan
semua ini akan berakibat pada eksklusivitas diri atau menganggap semua agama
sama dan karenanya bisa pindah agama kapan saja. Pengalaman juga menunjukan
bahwa kegagalan seseorang dalam memasuki pendekatan fenomenologi ini telah membuat
dirinya terjebak pada tuduhan-tuduhan yang tidak perlu seperti memurtadkan atau
mengkafirkan pihak lain.[17]
3.
Objek Pendekatan Fenomenologi
Menurut Romdon, objek fenomenologi
atau intended-object fenomenologi adalah :
a.
Menemukan intisari.
b.
Menemukan struktur.
c.
Mencari inner meaning.
d.
Membuat klasifikasi, tipologi atau
pensisteman fenomena.
e.
Mencari motif dasar.
f.
Ada yang menambahkan mencari alur
perkembangan gejala dari waktu ke waktu.[18]
4.
Konsep Epoche menurut Edmund
Husserl
Arti asal epoche
yang tadinya bahasa Yunani adalah suspension of judgement atau abstention
from belief menunda pemberian keputusan atau bersikap tidak mempercayai
(tidak memberikan suara). Kadang-kadang dipakai sebagai sinonim method of bracketing. Method of
bracketing ada dua, yaitu method of historical bracketing dan method
of existential bracketing. Sedangkan method of reduction dipecah
menjadi dua juga, yaitu eiditic reduction dan trancendental reduction.
Jadi kesemuanya ada empat macam arti apoche menurut Husserl ini, ialah:
1.
Method of historical bracketing adalah metode
yang mengesampingkan aneka macam teori dan pendapat yang pernah diterima dari
hari ke hari baik dari kehidupan sehari-hari dari ilmu pengetahuan maupun dari
agama.
2.
Method of existentional bracketing,
yang berarti
meninggalkan atau abstein semua sikap keputusan bahkan tentang
keberadaannya sendiri atau sikap diam dan menunda.
3.
Method of trancendental reduction, yang berarti
mengolah data yang disadari menjadi gejala yang transendental dalam kesadaran
murni atau pure conciousness.
4.
Method of eiditic reduction, yang berarti
metode untuk mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang
realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.[19]
Arti yang biasa dikemukakan orang
adalah penundaan menentukan kesimpulan tentang realitas yang dialami. Disamping
itu apoche juga berati melihat atau menemukan esensi yang dicari.[20]
C.
Metode Pendekatan Fenomenologi
dalam Studi Islam
Adapun
langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh seorang peneliti yang ingin menerapkan
dan menggunakan fenomenologi sebagai salah satu metode pendekatan dalam studi
penelitian agama, dapat dilihat sebagaimana yang disusun oleh Cresswell:
1.
Peneliti perlu memahami perspektif
filosofis di balik pendekatan fenomenologi, khususnya konsep tentang bagaimana
orang mengalami fenomena. Konsep epoche adalah penting, mengurung
gagasan-gagasan yang telah terbentuk sebelumnya tentang suatu fenomena untuk
memahaminya melalui suara-suara informan.
2.
Peneliti menulis
pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengeksplorasi makna dari suatu
pengalaman individu dan meminta individu untuk menggambarkan pengalaman hidup
mereka sehari-hari.
3.
Peneliti kemudian mengumpulkan data
dari individu yang mengalami fenomena yang sedang diteliti. Informasi tersebut
dikumpulkan melalui wawancara yang panjang (ditambah dengan refleksi-refleksi
dan deskripsi-deskripsi yang dikembangkan sebelumnya dari karya-karya artistik)
dengan informan yang terdiri dari 5 hingga 25 orang.
4.
Langkah-langkah analisis data
fenomenologis pada umumnya sama dengan
semua fenomenolog psikologis yang mendiskusikan metode-metode. Semua
fenomenolog psikologis menggunakan sejumlah langkah rangkaian yang sama. Rancangan
prosedur dibagi ke dalam pertanyaan-pertanyaan atau horisonalisasi.
Unit-unit kemudian ditransformasikan ke dalam cluster of meanings (kumpulan
makna) yang diekspresikan dalam konsep-konsep psikologis atau fenomenologis.
Terakhir transformasi-transformasi ini diikat bersama-sama untuk membuat
deskripsi umum tentang pengalaman, deskripsi tekstural tentang apa yang
dialami dan deskripsi struktural tentang bagaimana yang dialami.
Sebagian fenomenolog membuat variasi atas pendekatan itu dengan memasukkan makna
pengalaman personal, melalui analisis subjek-tunggal sebelum menganalisis
antar-subjek serta menganalisis peran konteks dalam prosesnya.
5.
Laporan fenomenologis diakhiri
dengan pemahaman yang lebih baik dari pembaca tentang esensi yang tidak berubah
dari pengalaman, sembari mengakui bahwa makna tunggal yang utuh dari pengalaman
itu eksis. Misalnya, semua pengalaman mengalami struktur “dasar” (kesedihan
atas matinya sesuatu yang dicintai itu sama esensinya entah yang dicintai itu
seekor anjing peliharaan, burung beo atau seorang anak kecil). Seorang pembaca
laporan tersebut akan datang dengan perasaan “saya memahami lebih baik tentang
seperti apa bagi seseorang untuk mengalami itu”.[21]
Pemikiran Gerardus van der Leeuw sangat
dipengaruhi filsafat Fenomenologi Edmund Husserl dan Filsafat Scheller. Menurut
van der Leeuw diantara langkah-langkah metode fenomenologi itu yang merupakan
metode untuk menghadapi fenomena secara tatapan langsung yang muncul dihadapan
para peneliti ialah:
1.
Gejala itu dilihat dan
diklasifikasikan.
2.
Gejala itu dimasukkan ke dalam
kehidupan artinya yang dialami dan dihayati dengan sengaja dalam kehidupan
tidak hanya sekali dilihat dan diperhatikan.
3.
Sebelum memberikan pendapat, selalu
siap bersikap apoche artinya menunda dulu sambil terus membawa dan
mengalami gejala yang bersangkutan. Ini berarti dengan hati-hati menghindari
pendapat yang subjektif.
4.
Mencari atau menemukan esensi
realitas yang menggejala itu. Langkah ini dinamakan eiditic vision
dengan bantuan emphaty dan intuisi.
5.
Akhirnya akan didapat verstehen
atau pengalaman atau kepahaman sebagaimana pendapat sebagian ahli ilmu sosial
bahwa tujuan akhir ilmu yang berkenan dengan tingkah laku manusia itu adalah verstehen
ini.[22]
D.
Penerapan Pendekatan Fenomenologi
dalam Studi Islam
Dalam mengkaji
Islam sebagai sebuah agama, muncul sebuah istilah yang disebut dengan insider
dan outsider. Dalam perspektif muslim, insider adalah orang dalam
(muslim) yang mengkaji Islam, sedangkan outsider adalah orang luar yang
ingin mengkaji Islam. Problem insider dan outsider itu mengacu
kepada alur berpikir bahwa pemilik suatu agama saja yang bisa memahami agama
yang dimilikinya secara tepat dan sempurna sedangkan orang luar yang tidak
memiliki agama tersebut tidak bisa. Hal itu sama dengan pendapat John Wisdom
bahwa pemilik pengalaman mempunyai hak istimewa untuk mengakses pengalamannya,
hal yang tidak bisa dibagi dengan orang lain.[23]
Oleh karena
ruang lingkup outsider terasa begitu sempit jika hal tersebut di atas
diterapkan, maka pendekatan fenomenologi dipromosikan oleh Richard C. Martin
yang juga sependapat oleh M. Amin Abdullah. Namun demikian, penerapannya dalam
studi agama, Fazlur Rahman merinci syarat-syarat bagi outsider ketika akan
meneliti agama lain. Di antaranya ialah mereka (peneliti) harus tidak mempunyai sikap permusuhan, prasangka.
Mereka juga harus open minded (berpikir terbuka), bersikap simpati, jujur
dan penuh ketulusan. Sikap itulah yang akan mampu menyisihkan bahkan
menghapuskan problem perbedaan insider dan outsider.[24]
Selanjutnya,
dalam penerapan fenomenologi sebuah suatu pendekatan yang dapat diterima untuk
mengkaji suatu agama Islam, Fazlur Rahman berpendapat bahwa al-Qur’an dan hadis
haruslah tetap menjadi titik rujukan normatif. Menurutnya al-Qur’an dan hadis
harus dapat mengontrol atau bahkan memodifikasi metode fenomenologi, kalau
tidak dimodifikasi fenomenologi akan cenderung relatif yang sulit untuk
disembuhkan.[25]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fenomenologi merupakan sebuah metode yang
berpusat pada analisis gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Metode ini
dirintis oleh Husserl (1859-1938). Secara operasional, fenomenologi agama
menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius yang bersifat yang
bersifat subyektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi, maksud, pengalaman
dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomena). Pendekatan
fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren
bagi studi agama. Sekarang bisa dilihat perkembangan pendekatan ini dengan
lebih detail. Filsafat Hegel dapat menjadi dasar dibangunnya pendekatan
fenomenologis. Ada dua metode dalam pendekatan fenomenologi ini yaitu metode
Cresswell dan metode menurut pemikiran Gerardus van der Leeuw sangat
dipengaruhi filsafat Fenomenologi Edmund Husserl dan Filsafat Scheller. Dalam
mengkaji Islam sebagai sebuah agama, muncul sebuah istilah yang disebut dengan insider
dan outsider. Dalam perspektif muslim, insider adalah orang dalam
(muslim) yang mengkaji Islam, sedangkan outsider adalah orang luar yang
ingin mengkaji Islam. Problem insider dan outsider itu mengacu
kepada alur berpikir bahwa pemilik suatu agama saja yang bisa memahami agama
yang dimilikinya secara tepat dan sempurna sedangkan orang luar yang tidak
memiliki agama tersebut tidak bisa. Penerapannya dalam studi agama, Fazlur
Rahman merinci syarat-syarat bagi outsider ketika akan meneliti agama lain. Di
antaranya ialah mereka (peneliti) harus
tidak mempunyai sikap permusuhan, prasangka. Mereka juga harus open
minded (berpikir terbuka), bersikap
simpati, jujur dan penuh ketulusan. Sikap itulah yang akan mampu menyisihkan bahkan
menghapuskan problem perbedaan insider dan outsider. Selanjutnya,
dalam penerapan fenomenologi sebuah suatu pendekatan yang dapat diterima untuk
mengkaji suatu agama Islam, Fazlur Rahman berpendapat bahwa al-Qur’an dan hadis
haruslah tetap menjadi titik rujukan normatif. Menurutnya al-Qur’an dan hadis
harus dapat mengontrol atau bahkan memodifikasi metode fenomenologi, kalau
tidak dimodifikasi fenomenologi akan cenderung relatif yang sulit untuk
disembuhkan.
B. Kata Penutup
Puji syukur
kepada Allah atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari tentunya masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat berkontribusi
bagi pembaca.
Daftar Pustaka
Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar
Epistemologi, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Bahri, Media Zainul, Wajah Studi
Agama-Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Baidhawy, Zakiyuddin,
ISLAMIC STUDIES Pendekatan dan Metode, Yogyakarta: Insan Madani, 2011.
Connolly, Peter, Aneka
Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: Lkis, 2002.
Dede Ahmad
Ghozali dan Heri Gunawan, Studi Islam (Suatu Pengantar dengan Pendekatan
Interdisipliner), Bandung : Rosdakarya, 2015.
Fauziyati,
Dini, “Kepemimpinan Ahmad Dahlan Perspektif Pendidikan Agama Islam”, Skripsi,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta ,2017.
Hanafi, Hasan,
Tafsir Fenomenologi, Yogyakarta: Pesantren Pasca Sarjana Bismillah
Press, 2001.
Heddy Shri
Ahimsa-Putra, “FENOMENOLOGI AGAMA: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami
Agama”, Jurnal Walisongo, Volume 20 Nomor 2 (November 2012), di lamanfile:///E:/KULIAH%20ES%20LORO/Studi%20AlQuran%20Perspektif%20P.I/KUMPULAN%20MAKALAH%20N%20PPT/200-333-1-SM.pdf diakses pada tanggal 4 April 2018
pukul 05:26 WIB.
Minhaji, Akh. Sejarah
Sosial dalam Studi Islam (Teori, Metodologi dan Implementasi), Yogyakarta:
Suka Press, 2013.
Ridlwan, Nurma
Ali, “Pendekatan Fenomenologi dalam Kajian Agama”, Jurnal Komunika
Jurnal Fakultas Dakwah & Komunikasi Stain Purwokerto, Vol.7 No.2 (Desember
2013),dilamanhttp://download.portalgaruda.org/article.php?article=402365&val=3911&title=PENDEKATAN%20FENOMENOLOGI%20DALAM%20KAJIAN%20AGAMA
diakses pada tanggal 4 Mei 2018 pukul 06:35 WIB.
Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama,
Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
Sholeh, Farhanuddin, “Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam
Studi Agama Islam (Kajian terhadap buku karya Annemarie Schimmel; Deciphering
the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam)”, Jurnal Qolamuna
STISMU (Oktober 2016)http://ejournal.stismu.ac.id/ojs/index.php/qolamuna/article/view/27/26 diakses pada tanggal 6 April 2018
pukul 4:47 WIB.
[1]
Dini Fauziyati, “Kepemimpinan Ahmad Dahlan
Perspektif Pendidikan Agama Islam”, Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ,2017.
hal. 19.
[2]
Nurma Ali Ridlwan, “Pendekatan Fenomenologi
dalam Kajian Agama”, Jurnal Komunika Fakultas Dakwah & Komunikasi
Stain Purwokerto, Vol.7 No.2 (Desember 2013), di Laman http://download.portalgaruda.org/article.php?article=402365&val=3911&title=PENDEKATAN%20FENOMENOLOGI%20DALAM%20KAJIAN%20AGAMA
diakses pada tanggal 4 Mei 2018 pukul 06:35 WIB.
[3]
Dede Ahmad Ghozali dan Heri Gunawan, Studi
Islam (Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdisipliner), (Bandung :
Rosdakarya, 2015), hal. 78.
[4]
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “FENOMENOLOGI AGAMA:
Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama”, Jurnal Walisongo, Volume
20 Nomor 2 (November 2012), di laman file:///E:/KULIAH%20ES%20LORO/Studi%20AlQuran%20Perspektif%20P.I/KUMPULAN%20MAKALAH%20N%20PPT/200-333-1-SM.pdf diakses pada tanggal 4 Mei 2018 pukul 05:26
WIB, hal. 274.
[7]
Hasan Hanafi, Tafsir Fenomenologi,
(Yogyakarta: Pesantren Pasca Sarjana Bismillah Press, 2001), hal. 73.
[8]
Zakiyuddin Baidhawy, ISLAMIC STUDIES
Pendekatan dan Metode, (Yogyakarta: Insan Madani, 2011), hal. 278.
[10]
Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar
Epistemologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 50.
[15]Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam (Teori, Metodologi dan Implementasi), (Yogyakarta: Suka Press, 2013),
hal. 84-85.
[16]
Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam (Teori, Metodologi dan Implementasi)...,hal. 86.
[17]
Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam (Teori, Metodologi dan Implementasi)...,hal. 87.
[21]
Farhanuddin Sholeh, “Penerapan Pendekatan
Fenomenologi dalam Studi Agama Islam (Kajian terhadap buku karya Annemarie
Schimmel; Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam)”,
Jurnal Qolamuna STISMU (Oktober 2016) di laman http://ejournal.stismu.ac.id/ojs/index.php/qolamuna/article/view/27/26 diakses pada
tanggal 6 April 2018 pukul 4:47 WIB, hal. 352-353.
[23]
Farhanuddin Sholeh, “Penerapan Pendekatan
Fenomenologi dalam Studi Agama Islam (Kajian terhadap buku karya Annemarie
Schimmel; Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam)”..., hal. 351.
[24]
Farhanuddin Sholeh, “Penerapan Pendekatan
Fenomenologi dalam Studi Agama Islam (Kajian terhadap buku karya Annemarie
Schimmel; Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam)”..., hal. 352.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar