Selasa, 24 Juli 2018

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI ISLAM


PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
 “Pendekatan dalam Pengkajian Islam”
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Hamruni, M.Si.


http://fairuzelsaid.files.wordpress.com/2010/08/logo-uin-suka-baru-warna.jpg






Disusun oleh:
Dini Fauziyati    ( 17204010156 )
Nomer Absen    7




Kelas: I A
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan anugerah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI ISLAM” dengan baik. Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai pendekatan fenomenologi dalam studi Islam dan yang berkaitan dengan hal itu.
Diharapkan makalah  ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat kepada kita. Penulis menyadari bahwa makalah atau karya tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan karya tulis ini.
Wassalaamualaikum wr.wb

Yogyakarta, 6 Mei 2018

Penulis                                                            








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Riset telah terbuka lebar di era milenial ini. Tantangan civitas akademik semakin pelik. Perlu memanfaatkan peluang tersebut yang menghubungkan civitas akademik dengan riset. Dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan yang amat luas terlebih fokus dalam kajian studi Islam. Pengetahuan itu dapat berupa pendekatan dalam studi Islam agar civitas akademik dapat terjun tanpa cidera di dunia riset akademik yang hal itu merupakan dharma kedua yaitu penelitian dan pengembangan dari Tri Dharma perguruan tinggi. Dengan memfokuskan satu pendekatan yaitu pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini perlu diketahui defini, ruang lingkup, metode dan juga penerapannya. Hal itu diteliti untuk lebih mendalami pendekatan dalam studi Islam tentang pendekatan fenomenologi.
Banyak sekali pendekatan-pendekatan dalam studi Islam, dalam hal ini penulis akan berfokus pada pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini sering digunakan dalam kualitatif, baik itu sifatnya deskriptif maupun interpretatif. Untuk itu perlu kajian yang mendalam mengenai pendekatan fenomenologi. Sehingga selain memperluas khazanah ilmu pengetahuan juga memperlebar peluang untuk bisa partisipasi dalam riset atau karya tulis ilmiah baik itu dalam konferensi, seminar maupun hanya dalam perkuliahan di kelas. Sebenarnya mahasiswa itu berfokus pada belajar kemudian menerapkan ilmu yang sudah didapat di perkuliahan. Dari hal sepele, misalnya sebuah makalah bisa dibuat menjadi karya tulis ilmiah sebuah artikel jurnal. Sehingga akan lebih mudah riset kalau sudah tahu ilmunya, termasuk pendekatan fenomenologi ini. Barangkali hal ini menjadi inspirasi ketika menyusun tesis nanti.





B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pendekatan fenomenologi dalam studi Islam?
2.      Apakah ruang lingkup kajian pendekatan fenomenologi dalam studi Islam?
3.      Bagaimana metode pendekatan fenomenologi dalam studi Islam?
4.      Bagaimana penerapan pendekatan fenomenologi dalam studi Islam?

C.     Tujuan
1.      Mempelajari dan memahami pengertian pendekatan fenomenologi dalam studi Islam.
2.      Mempelajari dan memahami ruang lingkup kajian pendekatan fenomenologi dalam studi Islam.
3.      Mempelajari dan memahami metode pendekatan fenomenologi dalam studi Islam.
4.      Mempelajari dan memahami penerapan pendekatan fenomenologi dalam studi Islam.

D.    Metode Penelitian dan Analisis Data 
Berdasarkan jenisnya penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan atau library research. Dalam analisis, data diolah, diorganisir, dan dipecahkan dalam unit yang lebih kecil. Adapun analisis yang peneliti gunakan analisis deskriptif. Langkah-langkah dalam menerapkan metode analisis, berturut-turut; reduksi data, klasifikasi data, display data dan melakukan interpretasi serta mengambil kesimpulan.[1]






DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN KATA PENGANTAR....................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah......................................................................... 3
B.     Rumusan Masalah ................................................................................. 4
C.     Tujuan.................................................................................................... 4
D.    Metode dan Analis Data ....................................................................... 4
E.     Daftar Isi ............................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam................... 6-8
B.     Ruang Lingkup Kajian Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam 8-16
C.     Metode Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam...................... 16-18
D.    Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam.................... 19

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan .......................................................................................... 20
B.     Kata Penutup........................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 22













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani yang mengandung arti menampak. Phainomenon merujuk kepada yang nampak. Fenomena merupakan fakta yang disadari , dan masuk kedalam kesadaran manusia. Dengan demikian objek itu berada dalam relasi dengan kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya sebagaimana yang tampak secara kasat mata, akan tetapi justru berada didepan kesadaran , dan disajikan dengan kesadaran pula. Dengan demikian fenomenologi merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu objek. Pengertian lain menyebutkan bahwa fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena (kajian tentang fenomena), dengan demikian fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana penampakannya.[2]
Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah metode yang berpusat pada analisis gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Metode ini dirintis oleh Husserl (1859-1938). Secara operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius yang bersifat yang bersifat subyektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi, maksud, pengalaman dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomena).[3]
Pada awalnya fenomenologi adalah sebuah arus pemikiran dalam filsafat, dan aliran ini kini boleh dikatakan selalu dihubungkan dengan tokoh utamanya, Edmund Husserl. Meskipun demikian, istilah “fenomenologi” (phenomenology) sebenarnya tidak berawal dari Edmund Husserl, karena istilah ini sudah sering muncul dalam wacana filsafat semenjak tahun 1765, dan juga kadang-kadang muncul dalam karya-karya dari ahli filsafat Immanuel Kant. Dalam wacana tersebut makna istilah fenomenologi memang masih belum dirumuskan secara khusus dan eskplisit. Makna kata “fenomenologi” baru menjadi semakin jelas setelah Hegel merumuskannya. Hegel mendefinisikan fenomenologi sebagai “pengetahuan sebagaimana pengetahuan tersebut tampil atau hadir terhadap kesadaran” (“knowledge as it appears to consciousness”). Selain itu fenomenologi juga dapat diartikan sebagai “ilmu pengetahuan tentang penggambaran apa yang dilihat oleh seseorang, apa yang dirasakan dan diketahuinya dalam immediate awareness and experience-nya. Penekanan pada proses penggambaran ini membawa kita kepada upaya mengungkapkan “phenomenal consciousness” (kesadaran fenomenal, kesadaran mengenai fenomena) melalui ilmu pengetahuan dan filsafat, menuju ke “the absolute knowledge of the absolute.”[4]
Dikutip oleh Romdon, menjelaskan bahwa Prof. Dr. N. Dwiyarkara membuat uraian tentang fenomenologi panjang lebar dalam bukunya Pertjikan Filsafat terbitan PT. Pembangunan Jakarta, tahun 1962, yang diantaranya dikatakan sebagai berikut:
Fenomenologi adalah terusan dari fenomenon dan logos. Kata logos jang di sini mendjadi logi tak perlu diterangkan karena sudah dikenal dalam banjak susunan seperti sosiologi, etnologi, biologi dan lain-lain. Jang minta keterangan ialah kata fenomenon. Akar kata jang termuat dalam istilah itu samalah dengan akar kata-kata fantasi, fantom, fosfor, foto jang artinya sinar tjahaja. Dari akar kata-kata itu dibentuk suatu kata kerdja jang antara lain berarti tampak atau terlihat karena bertjahaja. Dalam bahasa kita gedjala. Djadi fenomenologi berarti uraian atau pertjakapan tentang fenomenon atau sesuatu jang sedang menampilkan diri. Menurut tjara berpikir dan berbitjara filsafat dewasa ini dapat juga dikatakan pertjakapan dengan fenomenon atau sesuatu jang sedang menggedjala. Dengan keterangan ini mulai tampaklah tendensi jang terdalam dari aliran fenomenologi jang terdalam dari aliran fenomenologi jang sebetulnja merupakan tjita-tjita dan djiwa dari semua filsafat. Ialah ingin pengertian jang menangkap realitas itu sendiri.[5]

Model fenomenologis ini merupakan pendekatan yang sangat banyak diminati oleh para peminat Perbandingan Agama, bahkan James Spickard menyebutnya sebagai pendekatan yang super-kuat (powerfull) dalam studi agama-agama, padahal di saat yang sama banyak orang yang tak paham tentang pendekatan fenomenologi ini. Pendekatan ini sangat lazim disukai karena dianggap sangat membantu dalam memahami agama dan kehidupan (pengalaman) keagamaan orang lain.[6] Menurut Prof. Yudian Wahyudi, metode fenomenologi merupakan puncak semua idealisme transendental, pencapaian luar biasa filsafat eropa. Paling mampu memberi kontribusi kepada peningkatan penelitian-penelitian keagamaan.[7] Jadi pendekatan fenomenologi berusaha untuk menengahi antara sikap yang kering dan tidak simpati dari pendekatan positivistik terhadap agama dengan teologi konservatif. Tidak persis betul sebagai jalan tengah karena banyak sarjana mengusulkan berbagai cara di ruang yang sempit ini.[8]
B.     Ruang Lingkup Kajian Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam
1.      Perkembangan Historis Pendekatan Fenomenologis
Pendekatan fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren bagi studi agama. Sekarang bisa dilihat perkembangan pendekatan ini dengan lebih detail. Filsafat Hegel dapat menjadi dasar dibangunnya pendekatan fenomenologis. Dalam karyanya yang berpengaruh The Phenomenology of Spirit (1806), Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan atas penampakan dan manifestasi (Erschinungen). Tujuan Hegel adalah menunjukkan bagaimana karya ini membawa pada pemahaman bahwa seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya, bagaimanapun juga didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Penekanan terhadap hubungan antara esensi dan manifestasi ini, menjadi suatu dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keberagamannya pada dasarnya mesti dipahami sebagai suatu entitas yang berbeda. Berdasar atas penunjukkan kepada suatu realitas transenden yang tidak terpisah tetapi dapat dilihat dalam dunia, juga memberi kepercayaan akan pentingnya agama sebagai suatu objek kajian karena kontribusi yang akan diberikan kepada pengetahuan “ilmiah”. Pengaruh Hegel terbukti dalam judul karya yang diterbitkan pertama yang menguraikan suatu judul karya yang diterbitkan pertama yang menguraikan suatu pendekatan fenomenologis dalam studi agama dengan cara yang koheren, yaitu karya Gerardus Vander Leeuw, Phenomenologie der Religion, (1933) yang diterjemahkan dengan Religion in Essence and Manifestation (1938), meskipun Vander Leeuw sendiri menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologis terdapat dalam karya-karya penulis sebelumnya.[9]
Pengaruh filosofis kedua yang dijadikan dasar oleh Van der Leeuw adalah filsafat Edmund Husserl. Edmund Husserl dikenal sebagai penggagas dasar aliran filsafat fenomenologi (1859-1938). Husserl adalah seorang filosof dari Jerman yang pernah mengajar filsafat di Halle, Gottingen dan Freiburg. Fenomenologi bersumber dari pembedaan yang dilakukan oleh Emmanuel Kant antara nomenal (alam yang sesungguhnya) dan phenomenal (yang tampak/terlihat) dan juga merupakan pengembangan dari phenomenology of spirit dari Hegel. Hasserl merupakan ahli matematika yang mengembangkan filsafatnya dengan bertolak dari filsafat ilmu. Ia merasa betapa pentingnya memberi landasan pemikiran filsafati pada persoalan teoritis yang diajukan demi mencapai kebenaran. Untuk mengembangkan metode demikian perhatian harus terpusat pada fenomena itu tanpa praduga apapun. Itu terungkap melalui slogan yang terkenal di kalangan penganut fenomenologi, yaitu zu den sachen selbst (terarah pada benda itu). Dalam keterarahan pada benda itu benda itulah yang dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat dirinya sendiri. Dari proses pemikiran demikian, lahirlah metode fenomenologis. Edmund Husserl dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Akan tetapi istilah fenomenologi sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran menegenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman indrawi (fenomen).[10] Meskipun Husserl sendiri tidak secara langsung membahas studi agama, dua konsep yang mendasari karyanya menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi studi fenomenologis terhadap agama: epoche dan pandangan eidetik. Dua istilah yang diambil dari Yunani ini mengungkapkan skop metode dan ketegangan yang ada di dalamnya. Epoche terdiri dari pengendalian atau kecurigaan dalam mengambil keputusan. Epoche juga diacukan sebagai “tanda kurung” (bracketing out). Ini secara tidak langsung menunjukkan tidak adanya prasangka yang akan mempengaruhi hasil pemahaman. Dengan kata lain, konsep-konsep dan konstruk worldview seseorang yang dibawa serta dalam penelitiannya dipandang memiliki pengaruh distorsif terhadap hasil pemahaman. Kajian Levy-Bruhl dapat dijadikan contoh, pandangan eiditik mengandaikan apoche, ia memberi kemampuan melihat esensi fenomena secara objektif, bahkan juga membahas persoalan subjektivitas persepsi dan refleksi. Eiditik mengendalikan adanya kemampuan mencapai pemahaman intuitif tentang fenomena yang juga dapat dipertahankan sebagai pengetahuan "objektif".[11]
Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye dilahirkan pada tahun 1848 di Belanda dan karyanya lebih dulu muncul dibanding Van der Leeuw. Concern utamanya adalah klasifikasi agama secara sistematik dan memperkenalkan suatu metodologi yang sesuai. Dia adalah salah seorang yang pertama memahami fenomenologi agama sebagai disiplin ilmiah. Pandangannnya dalam hal ini sangat berpengaruh. Di satu sisi dia mengakui pentingnya Hegel, namun di sisi lain dia mengacu kembali pada Kaisar India Akbar (1555-1606), seorang penguasa muslim yang terkenal toleransinya dan filsuf muslim Ibnu Sina (1126-1196) dimana komentar-komentarnya terhadap karya-karya filsuf Yunani, Plato dan Aristoteles sangat memperkaya perdebatan filosofis dalam dunia Islam. Concern De la Saussaye terhadap filsafat sejarah yang dia lihat sebagai germain terhadap ilmu agama, mempertimbangkan pentingnya filsuf abad XVIII yang pada umumnya diabaikan yakni Vico yang menawarkan suatu teori pengetahuan yang bertentangan dengan model Cartesian yang dominan. Penyetaraan antara signifikansi teologi Kristen dan ilmu agama dalam pemikiran De la Saussaye merupakan hal yang cerdik, sekalipun pembahasannya tentang studi-studi etnografis tidak mengantarkannya pada faktor-faktor partikular agama-agama suku liar secara detail (Manual of the Science of Religion, 1891). Meski demikian, tidak seperti Van der Leeuw, dilihat dari tingkat keluasan perhatiannya, titik tekan Chantepie de la Saussaye lebih terbatas. Concern-nya pada ritual sebagai fenomena dasar juga tidak membawa pada pertimbangan filosofis yang justru menjadi karakteristik Van der Leeuw. Figur awal lainnya Nathan Soderblom dan William Brede Kristensen merupakan figur yang paling khas. Soderblom adalah seorang Kristen liberal yang memiliki komitmen dalam pengertian yang lebih jelas dibanding tokoh-tokoh lain semasanya. Van der Leeuw menganggapnya sebagai pelopor terjadinya perubahan arah dalam sejarah agama karena pandangannya yang teliti dan tajam serta mendalam tentang apa yang “tampak”.[12]
Kristensen melihat fenomenologi agama sebagai pelengkap pendekatan historis dan filosofis, namun dalam memahaminya Kristensen memiliki tujuan yang berbeda. Menurutnya, tugas fenomenologi adalah melakukan pengelompokan secara sistematik tentang karakteristik data untuk menggambarkan watak keagamaan manusia. Fenomenologi hendak mengungkapkan elemen-elemen esensial dan tipikal dari agama. Ini adalah tugas deskriptif, bukan interpretatif. Fenomenologi adalah prasyarat niscara bagi tugas filosofis dalam menentukan esensi agama. Sama halnya, penelitian historis menemukan data partikular dalam suatu agama tertentu, yang tanpanya tidak mungkin dilakukan kajian-kajian fenomenologis. Penjelasan tentang penentuan peran fenomenologi merupakan kontribusi utama Kristensen dalam mengukuhkan fenomenologi sebagai suatu disiplin sendiri. Dia juga menegakan tentang pentingnya memahami agama dari sudut pandang orang yang beriman, suatu prinsip yang menjadi aksioma dalam studi-studi fenomenologis selanjutnya, seperti kajian fenomenologis smart (1969), walaupun kenyataannya hanya satu karya Kristensen yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris  The Meaning of Religion (1960), yang kalau dibandingkan terhitung baru-baru ini. Tidak ada pembahasan mengenai perkembangan pendekatan fenomenologis yang sempurna, jika tidak mencatat pengaruh Rudolf Otto. Karyanya The Idea of The Holy (1923), merupakan karya terpenting dalam mengarahkan perkembangan pendekatan fenomenologis selanjutnya dan merupakan karya seminal bagi pengarang-pengarang setelahnya setara dengan karya Van der Leeuw. Karya ini menjadi penting menurut Waardenberg karena peletakan “yang suci” sebagai suatu kategori makna dan nilai. Dengan ini, dia mempostulasikan otonomi agama sebagai hal yang berbeda dari wilayah kehidupan pengetahuan keagamaan, yang secara psikologis dapat dicapai melalui “sensus numinis” (pengalaman akan yang suci).[13]
Sebenarnya Otto telah memecahkan beberapa persoalan dasar yang menganggu studi fenomenologis. Dia menyatukan sejumlah aliran dan pendekatan yang terpisah dengan menganalisis pengalaman keagamaan dengan cara memasukan subjektivitas yang menurutnya bagaimanapun juga menjadi dasar studi “objektif”. Dia menyatakan bahwa eksistensi numen (yang suci) harus ditetapkan sebagai suatu kategori sui generis (hanya dipahami dalam pengertian istilahnya sendiri), meskipun tidak sesuai dengan kriteria rasional karena ia tetap tak terkatakan. Argumen ini bergantung pada pernyataan bahwa pengetahuan datang berdasar keimanan. Argumennya dipertahankan berdasar bahwa konsepsi rasional, dalam istilah keagamaan selalu mengacu pada sesuatu yang melampauinya. Ini bukan penolakan atas nilai sesuatu yang rasional, melainkan lebih menegaskan bahwa ortodoksi ditemukan dalam bangunan dogma dan dokrin dimana sama sekali tidak ada perlakuan yang adil terhadap aspek nonrasional dari subjek agama. Di sini, Otto dengan jelas mengidentifikasi bagaimana pendekatan fenomenologi terhadap agama dibedakan dari pendekatan filosofis, antropologis dan sosiologis. Meski demikian, dia telah mengerjakan sesuatu yang berharga karena kajiannya menekankan suatu bias pengakuan terhadap keimanannya. Dia menyatakan “Agama Kristen tidak hanya memiliki konsepsi-konsepsi (tentang yang suci) melainkan memilikinya dalam kejernihan dan keterlimpahan yang unik dan meskipun bukan satu-satunya atau bahkan yang utama namun merupakan tanda yang sangat nyata atas superioritasnya terhadap agama dalam bentuk dan tingkat yang lain.[14]
Peninjauan terhadap perkembangan utama dalam sejarah fenomenologi agama, utamanya dalam kaitan dengan sarjana-sarjana yang turut membentuknya. Tinjauan ini memunculkan sejumlah persoalan yang terkait dengan ;
·           Perbedaan sebagai suatu pendekatan dalam studi agama.
·           Kualifikasinya sebagai suatu pendekatan “ilmiah”.
·           Kemampuannya menggabungkan serangkaian fenomena keagamaan.
·           Kapasitasnya dalam mengidentifikasi suatu metodologi yang koheren.
2.      Karakteristik Pendekatan Fenomenologi
Terdapat dua hal penting yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Karakteristik pertama dari pendekatan fenomenologi adalah pentingnya netralitas. Artinya, studi agama dengan pendekatan fenomenologi lebih menekankan upaya pemahaman seseorang atau pihak lain. Dalam keadaan demikian, seorang pengkaji diharapkan untuk (sementara) mengesampingkan pemahaman dan komitmen terhadap agama yang dianut dan pada waktu yang sama, mencoba mendekati agama orang lain tersebut berdasarkan pemahaman dan pengalaman penganut agama itu sendiri. Ini didasarkan juga pada satu asumsi bahwa prinsip umum dalam studi agama adalah satu kajian berdasarkan pengalaman, perasaan, perkataan dan perbuatan penganut agama, sekaligus bagaimana makna semua itu bagi dirinya. Begitu pula, dalam proses kajian tersebut diupayakan pemahaman tentang bagaimana makna dari dokrin dan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti ritual dan juga reaksi-reaksi sosial bagi diri penganut agama. Inilah yang dikenal dengan epoche dan sekaligus menunjukkan bahwa pendekatan ini amat berbeda dengan metode dan pendekatan yang selama ini menjadi karakteristik studi agama kaum Orientalis di Barat. Dalam rangka memahami semua itu, seorang pengkaji agama dengan pendekatan fenomenologi memanfaatkan hasil kajian disiplin-disiplin lain seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi literatur, psikologi, sosiologi, antropologi dan yang semacamnya. Bagi seorang fenomenolog, pengumpulan semua data dan deskripsi semua data itu merupakan proses awal dari studi dengan pendekatan fenomenologi. Proses selanjutnya, seorang fenomenolog berupaya menginterpretasi data dan melakukan investigasi mendalam guna memahami struktur dan keterkaitan antar data berdasarkan keyakinan penganut agama yang diteliti. Seorang fenomenolog memberi perhatian sungguh-sungguh terhadap upaya-upaya observasi, pemahaman dan mencoba masuk ke dalam agama yang diteliti, dan kemudian menggambarkan kembali pengalaman orang-orang beragama yang diteliti. Dalam konteks studi Islam (yang menjadi objek kajian) mengatakan benar dan bisa menerima hasil penelitian seorang sarjana tentang keyakinan agamanya? Jika jawabannya bersifat negatif berarti hasil penelitian itu tidak bisa digambarkan sebagai keyakinan Islam.[15]
Itulah karakteristik pertama pendekatan fenomenologi. Karakteristik kedua adalah kontruksi skema texonomi dalam mengklarifikasi fenomena menembus batas-batas komunitas agama, budaya dan bahkan kategorisasi-kategorisasi peristiwa sejarah (epochs). Dalam proses pengumpulan data sebanyak mungkin, seorang fenomenolog mencoba mencari sekaligus menentukan kategorisasi yang mengelompokan fenomena berdasarkan kesamaan-kesamaan mendasar yang dimiliki. Proses ini dilakukan dalam rangka mencermati struktur pengalaman keagamaan, yang pada dasarnya menjadi prinsip umum yang termanifestasi dalam kehidupan keagamaan manusia. Proses ini menempatkan seorang fenomenolog dalam penelitian sejarah dan filologi menyangkut sejumlah tradisi keagamaan tertentu. Selanjutnya, ia meneruskan dengan upaya sistematisasi dalam rangka menunjukkan karakter agama dan dinamisasi dalam proses pemilihan struktur-struktur yang ada. Semuanya itu berjalan menembus batas-batas spesifik kajian sejarah menuju level filsafat. Hal ini penting, karena tidak mungkin bagi seorang peneliti untuk bisa memahami secara komprehensif dan utuh fenomena keagamaan hanya dengan membatasi diri pada kekhususan-kekhususan sejarah yang melatarbelakangi suatu peristiwa, tetapi harus bergerak lebih jauh dengan menembus batas-batas spesifik kesejarahan tersebut menuju sifat-sifat universal dari kasus atau peristiwa-peristiwa sejarah yang spesifik. Dengan demikian, pendekatan fenomenologi tertarik dan memusatkan perhatiannya pada hukum-hukum umum atau hal-hal yang menjadi karakteristik umum dari semua kehidupan agama atau bisa disebut juga sebagai hukum-hukum yang mengatur kemunculan dan ekspresi keagamaan umat manusia. Dalam konteks studi Islam dapat dikatakan bahwa, pendekatan fenomenologi membuka kesempatan kepada para peneliti untuk melihat posisi tradisi Islam secara keseluruhan dalam konteks sejarah keagamaan universal umat manusia. Dalam konteks ini pula dapat dilihat peran ilmu-ilmu sosial; artinya pendekatan fenomenologi tidak akan bisa maksimal tanpa memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmu-ilmu sosial.[16]
Pendekatan fenomenologi ini amat penting tetapi bukan suatu yang mudah. Ia memerlukan pemahaman mendalam tentang ilmu-ilmu sosial, ajaran agama dan realitas dari ajaran agama itu sendiri. Pada waktu yang sama ia juga membutuhkan kemampuan untuk bisa mempertahankan keyakinan agama yang dianut tetapi juga bisa menghargai keyakinan agama lain sebagai realitas objektif. Kegagalan melakukan semua ini akan berakibat pada eksklusivitas diri atau menganggap semua agama sama dan karenanya bisa pindah agama kapan saja. Pengalaman juga menunjukan bahwa kegagalan seseorang dalam memasuki pendekatan fenomenologi ini telah membuat dirinya terjebak pada tuduhan-tuduhan yang tidak perlu seperti memurtadkan atau mengkafirkan pihak lain.[17]
3.      Objek Pendekatan Fenomenologi
Menurut Romdon, objek fenomenologi atau intended-object fenomenologi adalah :
a.              Menemukan intisari.
b.             Menemukan struktur.
c.              Mencari inner meaning.
d.             Membuat klasifikasi, tipologi atau pensisteman fenomena.
e.              Mencari motif dasar.
f.              Ada yang menambahkan mencari alur perkembangan gejala dari waktu ke waktu.[18]
4.      Konsep Epoche menurut Edmund Husserl
Arti asal epoche yang tadinya bahasa Yunani adalah suspension of judgement atau abstention from belief menunda pemberian keputusan atau bersikap tidak mempercayai (tidak memberikan suara). Kadang-kadang dipakai sebagai sinonim  method of bracketing. Method of bracketing ada dua, yaitu method of historical bracketing dan method of existential bracketing. Sedangkan method of reduction dipecah menjadi dua juga, yaitu eiditic reduction dan trancendental reduction. Jadi kesemuanya ada empat macam arti apoche menurut Husserl ini, ialah:
1.      Method of historical bracketing adalah metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pendapat yang pernah diterima dari hari ke hari baik dari kehidupan sehari-hari dari ilmu pengetahuan maupun dari agama.
2.      Method of existentional bracketing, yang berarti meninggalkan atau abstein semua sikap keputusan bahkan tentang keberadaannya sendiri atau sikap diam dan menunda.
3.      Method of trancendental reduction, yang berarti mengolah data yang disadari menjadi gejala yang transendental dalam kesadaran murni atau pure conciousness.
4.      Method of eiditic reduction, yang berarti metode untuk mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.[19]
Arti yang biasa dikemukakan orang adalah penundaan menentukan kesimpulan tentang realitas yang dialami. Disamping itu apoche juga berati melihat atau menemukan esensi yang dicari.[20]
C.     Metode Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam
Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh seorang peneliti yang ingin menerapkan dan menggunakan fenomenologi sebagai salah satu metode pendekatan dalam studi penelitian agama, dapat dilihat sebagaimana yang disusun oleh Cresswell:
1.      Peneliti perlu memahami perspektif filosofis di balik pendekatan fenomenologi, khususnya konsep tentang bagaimana orang mengalami fenomena. Konsep epoche adalah penting, mengurung gagasan-gagasan yang telah terbentuk sebelumnya tentang suatu fenomena untuk memahaminya melalui suara-suara informan.
2.      Peneliti menulis pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengeksplorasi makna dari suatu pengalaman individu dan meminta individu untuk menggambarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari.
3.      Peneliti kemudian mengumpulkan data dari individu yang mengalami fenomena yang sedang diteliti. Informasi tersebut dikumpulkan melalui wawancara yang panjang (ditambah dengan refleksi-refleksi dan deskripsi-deskripsi yang dikembangkan sebelumnya dari karya-karya artistik) dengan informan yang terdiri dari 5 hingga 25 orang.
4.      Langkah-langkah analisis data fenomenologis pada umumnya  sama dengan semua fenomenolog psikologis yang mendiskusikan metode-metode. Semua fenomenolog psikologis menggunakan sejumlah langkah rangkaian yang sama. Rancangan prosedur dibagi ke dalam pertanyaan-pertanyaan atau horisonalisasi. Unit-unit kemudian ditransformasikan ke dalam cluster of meanings (kumpulan makna) yang diekspresikan dalam konsep-konsep psikologis atau fenomenologis. Terakhir transformasi-transformasi ini diikat bersama-sama untuk membuat deskripsi umum tentang pengalaman, deskripsi tekstural tentang apa yang dialami dan deskripsi struktural tentang bagaimana yang dialami. Sebagian fenomenolog membuat variasi atas pendekatan itu dengan memasukkan makna pengalaman personal, melalui analisis subjek-tunggal sebelum menganalisis antar-subjek serta menganalisis peran konteks dalam prosesnya.
5.      Laporan fenomenologis diakhiri dengan pemahaman yang lebih baik dari pembaca tentang esensi yang tidak berubah dari pengalaman, sembari mengakui bahwa makna tunggal yang utuh dari pengalaman itu eksis. Misalnya, semua pengalaman mengalami struktur “dasar” (kesedihan atas matinya sesuatu yang dicintai itu sama esensinya entah yang dicintai itu seekor anjing peliharaan, burung beo atau seorang anak kecil). Seorang pembaca laporan tersebut akan datang dengan perasaan “saya memahami lebih baik tentang seperti apa bagi seseorang untuk mengalami itu”.[21]
Pemikiran Gerardus van der Leeuw sangat dipengaruhi filsafat Fenomenologi Edmund Husserl dan Filsafat Scheller. Menurut van der Leeuw diantara langkah-langkah metode fenomenologi itu yang merupakan metode untuk menghadapi fenomena secara tatapan langsung yang muncul dihadapan para peneliti ialah:
1.    Gejala itu dilihat dan diklasifikasikan.
2.    Gejala itu dimasukkan ke dalam kehidupan artinya yang dialami dan dihayati dengan sengaja dalam kehidupan tidak hanya sekali dilihat dan diperhatikan.
3.    Sebelum memberikan pendapat, selalu siap bersikap apoche artinya menunda dulu sambil terus membawa dan mengalami gejala yang bersangkutan. Ini berarti dengan hati-hati menghindari pendapat yang subjektif.
4.    Mencari atau menemukan esensi realitas yang menggejala itu. Langkah ini dinamakan eiditic vision dengan bantuan emphaty dan intuisi.
5.    Akhirnya akan didapat verstehen atau pengalaman atau kepahaman sebagaimana pendapat sebagian ahli ilmu sosial bahwa tujuan akhir ilmu yang berkenan dengan tingkah laku manusia itu adalah verstehen ini.[22]






D.    Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam
Dalam mengkaji Islam sebagai sebuah agama, muncul sebuah istilah yang disebut dengan insider dan outsider. Dalam perspektif muslim, insider adalah orang dalam (muslim) yang mengkaji Islam, sedangkan outsider adalah orang luar yang ingin mengkaji Islam. Problem insider dan outsider itu mengacu kepada alur berpikir bahwa pemilik suatu agama saja yang bisa memahami agama yang dimilikinya secara tepat dan sempurna sedangkan orang luar yang tidak memiliki agama tersebut tidak bisa. Hal itu sama dengan pendapat John Wisdom bahwa pemilik pengalaman mempunyai hak istimewa untuk mengakses pengalamannya, hal yang tidak bisa dibagi dengan orang lain.[23]
Oleh karena ruang lingkup outsider terasa begitu sempit jika hal tersebut di atas diterapkan, maka pendekatan fenomenologi dipromosikan oleh Richard C. Martin yang juga sependapat oleh M. Amin Abdullah. Namun demikian, penerapannya dalam studi agama, Fazlur Rahman merinci syarat-syarat bagi outsider ketika akan meneliti agama lain. Di antaranya ialah mereka (peneliti) harus  tidak mempunyai sikap permusuhan, prasangka. Mereka juga harus open minded  (berpikir terbuka), bersikap simpati, jujur dan penuh ketulusan. Sikap itulah yang akan mampu menyisihkan bahkan menghapuskan problem perbedaan insider dan outsider.[24]
Selanjutnya, dalam penerapan fenomenologi sebuah suatu pendekatan yang dapat diterima untuk mengkaji suatu agama Islam, Fazlur Rahman berpendapat bahwa al-Qur’an dan hadis haruslah tetap menjadi titik rujukan normatif. Menurutnya al-Qur’an dan hadis harus dapat mengontrol atau bahkan memodifikasi metode fenomenologi, kalau tidak dimodifikasi fenomenologi akan cenderung relatif yang sulit untuk disembuhkan.[25]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Fenomenologi merupakan sebuah metode yang berpusat pada analisis gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Metode ini dirintis oleh Husserl (1859-1938). Secara operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius yang bersifat yang bersifat subyektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi, maksud, pengalaman dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomena). Pendekatan fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren bagi studi agama. Sekarang bisa dilihat perkembangan pendekatan ini dengan lebih detail. Filsafat Hegel dapat menjadi dasar dibangunnya pendekatan fenomenologis. Ada dua metode dalam pendekatan fenomenologi ini yaitu metode Cresswell dan metode menurut pemikiran Gerardus van der Leeuw sangat dipengaruhi filsafat Fenomenologi Edmund Husserl dan Filsafat Scheller. Dalam mengkaji Islam sebagai sebuah agama, muncul sebuah istilah yang disebut dengan insider dan outsider. Dalam perspektif muslim, insider adalah orang dalam (muslim) yang mengkaji Islam, sedangkan outsider adalah orang luar yang ingin mengkaji Islam. Problem insider dan outsider itu mengacu kepada alur berpikir bahwa pemilik suatu agama saja yang bisa memahami agama yang dimilikinya secara tepat dan sempurna sedangkan orang luar yang tidak memiliki agama tersebut tidak bisa. Penerapannya dalam studi agama, Fazlur Rahman merinci syarat-syarat bagi outsider ketika akan meneliti agama lain. Di antaranya ialah mereka (peneliti) harus  tidak mempunyai sikap permusuhan, prasangka. Mereka juga harus open minded  (berpikir terbuka), bersikap simpati, jujur dan penuh ketulusan. Sikap itulah yang akan mampu menyisihkan bahkan menghapuskan problem perbedaan insider dan outsider. Selanjutnya, dalam penerapan fenomenologi sebuah suatu pendekatan yang dapat diterima untuk mengkaji suatu agama Islam, Fazlur Rahman berpendapat bahwa al-Qur’an dan hadis haruslah tetap menjadi titik rujukan normatif. Menurutnya al-Qur’an dan hadis harus dapat mengontrol atau bahkan memodifikasi metode fenomenologi, kalau tidak dimodifikasi fenomenologi akan cenderung relatif yang sulit untuk disembuhkan.
B.     Kata Penutup
Puji syukur kepada Allah atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari tentunya masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat berkontribusi bagi pembaca.



















Daftar Pustaka
Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Bahri, Media Zainul, Wajah Studi Agama-Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Baidhawy, Zakiyuddin, ISLAMIC STUDIES Pendekatan dan Metode, Yogyakarta: Insan Madani, 2011.
Connolly, Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: Lkis, 2002. 
Dede Ahmad Ghozali dan Heri Gunawan, Studi Islam (Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdisipliner), Bandung : Rosdakarya, 2015.
Fauziyati, Dini, “Kepemimpinan Ahmad Dahlan Perspektif Pendidikan Agama Islam”, Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ,2017.
Hanafi, Hasan, Tafsir Fenomenologi, Yogyakarta: Pesantren Pasca Sarjana Bismillah Press, 2001.
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “FENOMENOLOGI AGAMA: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama”, Jurnal Walisongo, Volume 20 Nomor 2 (November 2012), di lamanfile:///E:/KULIAH%20ES%20LORO/Studi%20AlQuran%20Perspektif%20P.I/KUMPULAN%20MAKALAH%20N%20PPT/200-333-1-SM.pdf diakses pada tanggal 4 April 2018 pukul 05:26 WIB. 
Minhaji, Akh. Sejarah Sosial dalam Studi Islam (Teori, Metodologi dan Implementasi), Yogyakarta: Suka Press, 2013.
Ridlwan, Nurma Ali, “Pendekatan Fenomenologi dalam Kajian Agama”, Jurnal Komunika Jurnal Fakultas Dakwah & Komunikasi Stain Purwokerto, Vol.7 No.2 (Desember 2013),dilamanhttp://download.portalgaruda.org/article.php?article=402365&val=3911&title=PENDEKATAN%20FENOMENOLOGI%20DALAM%20KAJIAN%20AGAMA  diakses pada tanggal 4 Mei 2018 pukul 06:35 WIB.

Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Raja Grafindo, 1996.

Sholeh, Farhanuddin, “Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama Islam (Kajian terhadap buku karya Annemarie Schimmel; Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam)”, Jurnal Qolamuna STISMU (Oktober 2016)http://ejournal.stismu.ac.id/ojs/index.php/qolamuna/article/view/27/26 diakses pada tanggal 6 April 2018 pukul 4:47 WIB.



[1] Dini Fauziyati, “Kepemimpinan Ahmad Dahlan Perspektif Pendidikan Agama Islam”, Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ,2017. hal. 19.

[2] Nurma Ali Ridlwan, “Pendekatan Fenomenologi dalam Kajian Agama”, Jurnal Komunika Fakultas Dakwah & Komunikasi Stain Purwokerto, Vol.7 No.2 (Desember 2013), di Laman http://download.portalgaruda.org/article.php?article=402365&val=3911&title=PENDEKATAN%20FENOMENOLOGI%20DALAM%20KAJIAN%20AGAMA  diakses pada tanggal 4 Mei 2018 pukul 06:35 WIB.
[3] Dede Ahmad Ghozali dan Heri Gunawan, Studi Islam (Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdisipliner), (Bandung : Rosdakarya, 2015), hal. 78.
[4] Heddy Shri Ahimsa-Putra, “FENOMENOLOGI AGAMA: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama”, Jurnal Walisongo, Volume 20 Nomor 2 (November 2012), di laman file:///E:/KULIAH%20ES%20LORO/Studi%20AlQuran%20Perspektif%20P.I/KUMPULAN%20MAKALAH%20N%20PPT/200-333-1-SM.pdf diakses pada tanggal 4 Mei 2018 pukul 05:26 WIB, hal. 274.
[5] Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: RajaGrafindo, 1996), hal.82.
[6] Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hal. 27.
[7] Hasan Hanafi, Tafsir Fenomenologi, (Yogyakarta: Pesantren Pasca Sarjana Bismillah Press, 2001), hal. 73.
[8] Zakiyuddin Baidhawy, ISLAMIC STUDIES Pendekatan dan Metode, (Yogyakarta: Insan Madani, 2011), hal. 278.
[9] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: Lkis, 2002), hal. 110. 
[10] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 50.
[11] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama..., hal. 111. 
[12] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama..., hal. 113-114. 
[13] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama..., hal. 116.. 
[14] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama..., hal. 117. 
[15]Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam (Teori, Metodologi dan Implementasi), (Yogyakarta: Suka Press, 2013), hal. 84-85.
[16] Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam (Teori, Metodologi dan Implementasi)...,hal. 86.
[17] Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam (Teori, Metodologi dan Implementasi)...,hal. 87.
[18] Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama..., hal. 103-104.
[19] Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama..., hal. 93- 94.
[20] Ibid..., hal. 94.
[21] Farhanuddin Sholeh, “Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama Islam (Kajian terhadap buku karya Annemarie Schimmel; Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam)”, Jurnal Qolamuna STISMU (Oktober 2016) di laman http://ejournal.stismu.ac.id/ojs/index.php/qolamuna/article/view/27/26 diakses pada tanggal 6 April 2018 pukul 4:47 WIB, hal. 352-353.
[22] Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama..., hal.100.
[23] Farhanuddin Sholeh, “Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama Islam (Kajian terhadap buku karya Annemarie Schimmel; Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam)”..., hal. 351. 
[24] Farhanuddin Sholeh, “Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama Islam (Kajian terhadap buku karya Annemarie Schimmel; Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam)”..., hal. 352. 
[25] Ibid..., hal. 352.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah: TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN

TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah   “Kebijakan dan Kepemimpinan ...