PENDEKATAN
TEOLOGIS-NORMATIF DALAM STUDI ISLAM
Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah
“Pendekatan dalam Pengkajian Islam”
Dosen Pengampu : Prof. Dr.
Hamruni, M.Si.
Disusun
oleh:
Dini Fauziyati ( 17204010156 )
Nomer
Absen 7
Kelas:
I A
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
PENDEKATAN TEOLOGIS-NORMATIF
DALAM STUDI ISLAM
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara
aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama
tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar
disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara
yang paling efektif dalam memecahkan masalah.[1]
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala
pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif
dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara
operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.[2]
Sebagaimana para pengkaji Islam, Charles J. Adams membagi
pendekatan dalam pengkajian Islam kepada dua hal besar : (1) pendekatan
normatif (normative approach) juga disebut dengan pendekatan religius (religious
approach), (2) pendekatan deskriptif (descriptive approach).
Keduanya bukanlah sesuatu yang terpisah tetapi berlanjut dan berkesinambungan (continue).
Yang pertama (normative approach) mengacu pada pendekatan yang mempunyai
basis pada komitmen keagamaan; atau suatu pendekatan yang pada dasarnya
digunakan oleh mereka yang mengkaji Islam (atau agama lain) dengan tujuan
pokoknya adalah mencoba mempengaruhi orang lain agar tertarik kepada agamanya (with
the of proselytizing). Sedangkan yang kedua (descriptive) adalah pendekatan
yang bersifat “netral”, yang dalam perkembangan selanjutnya dikenal dengan
“studi ilmiah tentang agama” (Scientific Study of Religion, atau Religionsswissenchaft).[3] Karakter
yang ada dalam pendekatan teologis normatif mengacu pada klaim agama tertentu,
munculnya sifat loyal terhadap kelompok sendiri dan biasanya menggunakan bahasa
subjektif.[4]
Dalam makalah ini hanya berfokus pada pendekatan normatif (normative
approach). Pendekatan tersebut meliputi; (1) pendekatan misionaris
tradisional (traditional missionary approach), (2) pendekatan apologetik
kalangan muslim (muslim apologetic approach) dan (3) pendekatan simpati
(irenic approach) yang dilakukan peneliti di Barat. Saat ini pendekatan
dalam pengkajian Islam telah berkembang sedemikian rupa dengan nama yang cukup
variatif, namun dari perkembangan tersebut dapat dikembalikan pada salah satu
model pendekatan yang telah digariskan dalam karya Charles J. Adams.[5]
A.
Pendekatan Normatif atau Religius Perspektif
Ilmuwan Barat
Pendekatan ini digagas oleh Charles Joseph Adams. Charles
Joseph Adams lahir pada tanggal 24 April 1924 di Houston, Texas. Pendidikan
dasarnya diperoleh melalui sistem sekolah umum. Pada permulaan belajar di
sekolah dasar ini Adams telah menunjukkan kegemaran menulis. Setelah lulus dari
Sekolah Menengah Atas John H. Reagen pada tahun 1941, dia meneruskan di Baylor
University di Waco, Texas. Adams juga pernah bergabung dengan Angkatan Udara
Amerika Serikat dari tahun 1942 sampai dengan 1945 sebagai operator radio dan
mekanis.[6]
Setelah perang, tahun 1947 Adams memperoleh gelar Sarjana
dan pada tahun yang sama memasuki Graduate School di Universitas Chicago
bersama dengan Joachim Wach. Karir akademisi Adams adalah profesor dalam bidang
Islamic Studies dan pada tahun 1963 diangkat menjadi director
Institute of Islamic Studies McGill University selama 20 tahun. Adams
menerima Ph. D dalam History of Religion dari University of Chicago
pada tahun 1955 dengan disertasi berjudul “Nathan Soderblom as an Historian
of Religions”.[7]
Adams telah menulis banyak tentang Islam, salah satu
karya terbesarnya yang dijadikan teks penting bagi dosen dan mahasiswa agama
adalah A Reader’s Guide to the Great Religions (1977). Adams juga
menjadi kontributor artikel untuk The Encyclopedia Britannica, dan the
World Book Encyclopedia, dan Encyclopedia Americana. Beberapa karya
lainnya adalah The Encyclopedia of Religion (1987), “The Authority of the
Prophetic Hadith in the Eye of Some Modern Muslims, in Essays on Islamic
civilization presented to Niyazi Berkes
(1976), the Ideology of Maulana Maududi, in South Asian Politics and
Religion, Ed. Donald E. Smith (1966), dan Islamic Religious Tradition, dalam
Leonard Binder, The Study of the Middle East, Ed. (1976).[8]
1.
Pendekatan Misionaris Tradisional
Pada dasarnya,
pendekatan ini berkembang subur pada masa penjajahan dunia Barat terhadap dunia
Islam. Pada waktu itu, sejumlah ahli agama, terutama Kristen, mendompleng para
penjajah mendatangi dunia Islam, tujuan utamanya menyebarkan agama Kristen
sekaligus menunjukkan kehebatan peradaban Barat. Sebagai bekal guna
memperlancar tujuannya, mereka mulai mencoba memahami ajaran dan masyarakat
Islam. Harus diakui bahwa studi Islam inilah yang menjadi embrio studi-studi
Islam yang berkembang selanjutnya di dunia Barat hingga saat ini. Dalam hal ini
penulis menemukan prakteknya, mereka mencoba menunjukkan kesalahan-kesalahan
yang terdapat pada ajaran dan masyarakat Islam. Hal ini dilakukan dengan cara
melakukan studi perbandingan antara Islam dengan Kristen. Melalui cara
demikian, mereka mencoba mempengaruhi masyarakat Islam setempat untuk beralih menjadi
penganut agama Kristen.[9]
Misionaris
berasal dari kata misi. Dengan sangat sederhana, namun mendalam, misi merupakan
hal yang untuknya komunitas Kristen diutus melakukannya, dimulai dari tempat
dimana ia tinggal. Walaupun dijalankan dengan berbagai cara sesuai keadaan
setempat yang khas, keharusan misi adalah sama dimanapun komunitas itu
didirikan. [10] Dengan demikian, upaya Kristenisasi bukan sekedar
isapan jempol tetapi merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dinafikan oleh
siapapun.[11] Menurut Karen Amstrong, orang Kristen harus beradaptasi
dengan perubahan keadaan. Mereka harus menemukan cara untuk mengajari banjir
mualaf baru yang mengajukan diri mereka untuk pembaptisan, sebagiannya, tak
diragukan lagi, dengan niat meraih peluang yang paling menguntungkan.[12]
Diantara topik
penting dalam studi Islam di Barat adalah berupa pertanyaan tentang asal usul,
autentisitas dan orisinalitas sejumlah institusi atau ajaran yang terdapat Islam.
Sebagian penulis kemudian, menunjukkan betapa banyak ajaran Islam yang sebenarnya
berasal dari agama-agama lain (Yahudi atau Kristen) sehingga seolah-olah Islam
tidak mempunyai kontribusi terhadap budaya dan peradaban dunia. Karya Judith
Romney Wegner tentang asal-usul sumber hukum Islam sebagaimana dikenal berasal
dari Imam Syafi’i, G.H.A. Junyboll tentang autentisitas Hadis dan John
Wansbrough tentang Judaic-Cristian tradition terhadap al-Qur’an merupakan segelintir
contoh dalam hal ini. Bahkan sebagian mereka menyebut agama Islam dengan
Muhammadenisme (Muhammadanism) dan bukan agama Islam, paling tidak inilah yang
terlihat pada karya H.A.R. Gibb, Josep Schacht, S.V. Fitzgerald dan Asaf A.A.
Fyzee.[13]
Singkatnya,
pendekatan ini muncul dan digunakan pada abad ke-19 pada saat semaraknya
aktivitas misionaris di kalangan gereja dan sekte Kristen dalam rangka merespon
perkembangan pengaruh politik, ekonomi dan militer negara Eropa di beberapa
bagian Asia dan Afrika. Para misionaris tertarik mengetahui dan mengkaji Islam
dengan tujuan untuk mempermudah
meng-kristen-kan orang beragama lain(proselytizing). Metode yang digunakan
adalah komperatif antara keyakinan Islam dengan keyakinan Kristen yang
senantiasa merugikan Islam. Harus diakui kontribusi para misionaris adalah
sebagai kontributor awal untuk pertumbuhan ilmu Islam.[14]
2.
Pendekatan Apologetik
Pendekatan ini amat subur pada awal abad
ke-20 dan lahir di tengah-tengah masyarakat Islam sebagai respon terhadap
pendekatan misionaris tradisional. Pendekatan ini juga lahir dalam rangka
menghadapi kolonialisasi Barat yang disertai misi Kristenisasi yang dipandang
berdampak negatif terhadap umat Islam bahkan merusak. Sebagai sebuah respon
maka bisa dipahami jika pendekatan ini didominasi oleh kebenaran Islam
dibandingkan dengan agama apapun termasuk Kristen. Tidak hanya itu, Islam juga
digambarkan sebagai agama yang mampu membangun peradaban yang lebih baik dari
peradaban-peradaban yang pernah ada, termasuk peradaban Barat. Islam
digambarkan sebagai agama rasional, sejalan dengan ilmu pengetahuan, bersifat
progresif, bersifat moderat dan menawarkan kesejahteraan bagi umat manusia. Manusia sebagai makhluk berpikir, memiliki kebebasan
untuk melakukan berbagai aktivitas apa saja dengan nalar. Nalar manusia akan
membangun agama yang rasional. Teologi yang rasional, tentu akan memudahkan
manusia memahami hidup secara komprehensif dan proporsional.[15]
Pada waktu yang sama, misi yang dikemukakan adalah dalam rangka membangun
identitas baru bagi generasi muda yang bangga terhadap warisan Islam masa lalu.
Sebagaimana yang terjadi pada kaum misionaris Kristen, pemikir Islam apologetik
terjebak pada kajian-kajian Islam yang jauh dari obyektivitas-ilmiah.[16]
Karya-karya yang lahir hampir-hampir
semuanya diselimuti oleh distorsi data, pilihan-pilihan yang memihak dan
penekanan-penekanan tertentu yang sebenarnya tidak sesuai dengan realitas.
Karya-karya tersebut juga seringkali terjebak pada romantisisme masa lalu
dengan menggambarkan kehebatan ajaran dan peradaban Islam masa lalu, bersifat
tendensius, bersifat membela diri, bersifat polemik dalam rangka menghadapi
Kristen dan Barat. Tidak jarang terdapat pula, karya-karya perbandingan antara
Islam dan Kristen dengan tujuan menunjukkan kelemahan Kristen sekaligus
kelebihan Islam. Menurut Charles J. Adams, diantara pemikiran Islam yang
apologetik ini bisa dibaca dalam karya Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam
in India dan juga Islam in Modern History. Barangkali tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa karya-karya yang bersifat apologetik ini masih
kita rasakan hingga kini. Jika karya-karya yang demikian dimaksudkan untuk
membela Islam tentu amat baik, namun jika pembelaan itu tidak didasarkan pada
realitas yang sesungguhnya justru akan merugikan Islam itu sendiri. Barangkali
inilah salah satu makna terdalam dari ungkapan Muhammad Abduh: al-Islam
ya’lu wa-la yu’la alaih, wakinal Islam mahjubun bil-muslimin. Ungkapan
tersebut berarti, Islam itu mulia dan tidak ada yang lebih mulia, namun
kemuliaan Islam itu justru banyak tertutup oleh perilaku umat Islam itu
sendiri.[17]
Ciri dan karakter
pemikiran Muslim pada abad ke-20 adalah pendekatan apologetik. Pendekatan
apologetik muncul sebagai respon umat Islam terhadap situasi modern. Dihadapkan
pada situasi modern, Islam ditampilkan sebagai agama yang sesuai dengan
modernitas, agama peradaban seperti peradaban Barat. Pendekatan apologetik
merupakan salah satu cara untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat terhadap
dunia modern dengan menyatakan bahwa Islam mampu membawa umat Islam ke dalam
abad baru yang cerah dan modern. Tema seperti ini menjadi fokus kajian para
penulis buku dari kalangan Islam atau Barat seperti Sayyid Amir Ali dengan
bukunya The Spirit of Islam (1922), W.C. Smith, Modern Islam in India (1946),
dan Islam in Modern History (1957).[18]
Kontribusi para pengkaji Islam dengan
pendekatan apologetik tersebut adalah melahirkan pemahaman tentang identitas
baru terhadap Islam bagi generasi Islam dan terbentuknya kebanggaan yang kuat
bagi mereka. Kajian apologetik ini telah dapat menemukan kembali berbagai aspek
sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat terlupakan oleh masyarakat. Hasilnya
dapat dilihat dalam banyak aktifitas penelitian dan karya tulis yang menekankan
pada warisan intelektual, kultural, dan agama Islam sendiri.[19]
3.
Pendekatan Simpati
Pendekatan ini dibangun berdasarkan
pengalaman sejumlah sarjana Barat dalam mengkaji Islam dan komunikasi mereka
dengan sejumlah tokoh dan masyarakat Islam. Tujuan utamanya adalah semakin
memperkuat apresiasi terhadap Islam sekaligus memperkuat sikap baru yang
bersifat simpati terhadap Islam dan masyarakat Islam. Tidak hanya itu,
upaya-upaya serius dilakukan dalam rangka menghilangkan sifat dan sikap negatif
umat Kristiani dan masyarakat Barat pada umumnya terhadap Islam dan umat Islam,
seperti sifat prejudis, antagonistik dan sekaligus mencairkan sikap-sikap
negatif lainnya masyarakat Barat, terutama kaum Kristen terhadap Islam dan
tradisi orang Islam. Melalui pendekatan ini sejumlah sarjana Barat yang
mengkaji Islam mencoba membangun dialog dengan umat Islam dengan harapan bisa
terbangun jembatan yang mampu memfasilitasi dialog, saling simpati dan saling
percaya antara tradisi-tradisi keagamaan dan juga antar bangsa dari sini sikap
kritis dalam studi agama (juga terhadap agama yang dianutnya) mulai bersemi
bahkan berkembang yang melahirkan sikap simpati antar penganut agama yang
berbeda atau antar masyarakat dari bangsa yang berbeda.[20]
Gerakan tersebut bertujuan memberikan
apresiasi yang besar terhadap keberagamaan Islam dan memelihara sikap baru
terhadap Is- lam. Upaya tersebut dalam rangka menghilangkan sikap negatif
kalangan Barat Kristen seperti prasangka, perlawanan, dan merendahkan terhadap
tradisi Islam. Pada waktu yang bersamaan terjadi dialog dengan orang Islam
dengan harapan membangun jembatan bagi terwujudnya sikap saling simpati antara
tradisi agama dan bangsa. Pendekatan ini tetap memperoleh kritikan dari
kalangan intelektual. Mereka menghadapi kesulitan luar biasa dalam mempererat
hubungan dengan orang Islam disebabkan
kecurigaan di kalangan Muslim pada masa lampau.[21]
Menurut Prof.
Faisal Ismail dewasa ini dialog antar umat
beragama di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, memperlihatkan
intensitasnya yang semakin luas dan melibatkan berbagai komunitas agama. Ini
merupakan suatu hal yang sangat dan perlu terus ditingkatkan dan digalakkan
agar tujuan dialog yang hendak dicapai dapat diwujudkan. Bentuk-bentuk dialog
ini dapat dilihat dalam kerangka Kinball yang mengajukan model-model dialog yang
dapat komunitas-komunitas.[22]
Pertama, dialog parlementer. Forum dialog
jenis ini melibatkan ratusan peserta. Contoh yang paling awal adalah World’s
Parliament of Religions yang dilaksanakan di Chicago (Amerika Serikat) pada
tahun 1893. Dalam dasawarsa 1980-an, dialog parlementer ini semakin sering
diselenggarakan di bawah pengawasan organisasi multiagama seperti Conference
on Religions and Peace dan The World Congress of Faiths.
Ratusan peserta hadir dalam pertemuan-pertemuan parlementer ini dengan tujuan
untuk mengembangkan kerja sama yang lebih baik dan sekaligus untuk menggalang
perdamaian di antara para pemeluk agama. Dalam dialog parlemen ini, wakil-wakil
Indonesia dari berbagai agama mengambil bagian baik sebagai peserta atau
sebagai penyaji makalah.[23]
Kedua, dialog kelembagaan. Yakni dialog
antara wakil-wakil institusi dari berbagai organisasi agama. Bentuk dialog ini
dilaksanakan untuk mendiskusikan dan memecahkan persoalan-persoalan mendesak
yang dihadapi oleh komunitas agama yang berbeda. Selain itu, bentuk dialog ini
juga berupaya mengembangkan komunikasi di antara wakil-wakil kelembagaan dari
organisasi-organisasi berbagai agama yang diakui oleh pemerintah, seperti MUI
(Majelis Ulama Indonesia), PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia), KWI
(Konferensi Wali Gereja Indonesia), PHDI (Parisadha Hindu Darma Indonesia),
Walubi (Perwakilan Umat Budha Indonesia) dan Matakin (Majelis Tinggi Agama
Konghuju Indonesia).[24]
Ketiga,
diaolog teologi yang formatnya antara lain berbentuk pertemuan-pertemuan, baik
reguler, untuk membahas persoalan-persoalan teologis dan filosofis. Tema-tema
yang pernah diangkat dalam dialog ini antara lain pemahaman kaum Muslimin dan
Kristen tentang Tuhan masing-masing, sifat wahyu Ilahi, tanggung jawab manusia
dalam hidup bermasyarakat. Jangkauan lebih luas dalam dialog model ini,
misalnya makna tradisi keagamaan seseorang dalam konteks pluralisme keagamaan,
dapat dimasukkan dalam dialog teologis ini. Pada umumnya, dialog teologis ini
dilakukan di kalangan intelektual atau organisasi-organisasi yang dibentuk
untuk mengembangkan dialog antar umat beragama seperti institut Dian (Dialog
Antar Iman), Paramadina, MADIA dan lain-lain.[25]
Keempat, dialog dalam masyarakat dan dialog
kehidupan. Pada umumnya, bentuk dialog ini bertujuan untuk menggarap dan
menyelesaikan hal-hal praktis dan aktual dalam kehidupan yang menjadi fokus
perhatian bersama. Misalnya, hubungan yang lebih patut antara agama dan negara,
hak-hak minoritas agama, kemiskinan, masalah-masalah yang timbul dari
perkawinan antar umat beragama, pendekatan yang lebih pantas dalam penyebaran
agama atau nilai-nilai agama dalam pendidikan. Bentuk-bentuk dialog seperti ini
pada umumnya dilaksanakan oleh organisasi-organisasi agama yang bergerak di
bidang dialog dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Kelima, dialog kerohanian
yang bertujuan untuk mengambangkan dan memperdalam kehidupan spiritual diantara
seperti yang diusulkan oleh Schuon, Schimmel, Falaturi dan Sayyed Hoesuin Nasr
dalam buku-buku mereka. Bentuk dan format dialog seperti ini banyak diminati
dan terasa lebih bisa diterima.[26]
Pendekatan simpati ini antara lain bisa
dilihat dalam karya-karya seorang tokoh Kristen bernama Bishop Kenneth Cragg.
Dalam karya-karyanya, Cragg mencoba menyampaikan misinya kepada dua arah
sekaligus: pertama kepada masyarakat Barat dan umat Kristen kemudian kepada
umat Islam. Kepada masyarakat Barat dan umat Kristen, Cragg menunjukkan
elemen-elemen baik dan indah dalam nilai-nilai ajaran Islam sekaligus mengajak
masyarakat Barat dan Kristen untuk berbuka terhadap nilai-nilai luhur tersebut.
Ini dilakukan antara lain dengan menunjukkan bahwa Islam menghadapi problem
fundamental yang sama sebagaimana Kristen tetapi menyelesaikannya dengan
langkah-langkah prioritas berbeda berdasarkan pemahaman ajaran agama dan
pengalaman mereka. Sedangkan kepada umat Islam, Cragg menyampaikan misinya
dengan menyatakan bahwa makna terdalam dari keyakinan Islam terletak pada
realisasi dan pengalaman ajaran Kristen. Jika dicermati secara seksama,
realisasi keimanan Islam itu sejalan dan terdapat pada substansi ajaran
Kristen, menurut Cragg. Singkatnya, orang Islam itu adalah orang Kristen yang
belum mengembangkan pengalaman keagamaannya secara jauh mendalam.[27]
Charles J. Adams mengkritik tajam pandangan
Cragg. Walaupun sudah lebih maju dari mereka yang menggunakan dua pendekatan
sebelumnya, tegas Charles J. Adams, Cragg pada intinya sama. Cragg mencoba
menjembatani hubungan Islam dan Kristen (Barat) dan mengajak umat Kristiani
untuk bersimpati terhadap ajaran Islam dan umat Islam, tetapi pada akhirnya
secara tegas Cragg menunjukkan bahwa orang Islam yang benar adalah orang Islam
yang telah menjadi Kristen (murtad). Dan hanya dengan menjadi Kristen
itulah seseorang bisa disebut sebagai orang Islam dalam arti sebenarnya. Jadi,
menurutnya Kristen adalah agama yang paling benar (in the final analysis
Cragg’s purpose remains evangelical). Di sinilah keslahan Gragg yang
tergolong fatal, karena mengidentikkan Islam dengan Kristen. Padahal menurut
Charles J. Adams, Islam dan Kristen adalah Kristen, keduanya telah berjalan dan
berkembang dengan tradisinya masing-masing. Karena itu, Islam hanya bisa
dipahami melalui ajaran dan tradisi Islam itu sendiri secara integral dan
menyeluruh.[28]
Pendekatan simpati yang secara genuin dan
penuh melepaskan diri dari pemihakan terhadap Kristen dan upaya Kristenisasi (evalengical
motives) bisa dibaca dalam karya-karya Wilfred Cantwell Smith. Melalui karyanya
The Faith of Other Men, misalnya, substansi misi Smith adalah mencoba
memahami keyakinan orang lain sebagaimana adanya dan bukan mencoba
mentransformasi keyakinan seseorang pada orang lain yang berkeyakinan berbeda
dan hal tersebut menyangkut masalah keagamaan sekaligus menjadi kewajiban moral
bagi setiap orang. Dengan demikian, dalam karya-karya Smith terkandung elemen
teologi dan religi yang mendalam tetapi tanpa motif pembenaran satu agama
tertentu (not evangelical motivation).[29]
Secara umum, karya-karya Smith didasarkan
pada satu asumsi dasar berikut: kehidupan keagamaan, yang beraneka ragam
merupakan karakteristik mendasar dari kehidupan manusia dan eksklusivitas
keagamaan juga merupakan karakteristik mendasar bagi mereka yang telah menerima
ajaran satu agama tertentu. Dengan asumsi dasar ini, Smith kemudian menawarkan
tiga pertanyaan fundamental yang perlu diajukan sekaligus disadari oleh para
pengkaji agama, termasuk Islam. Pertama berupa pertanyaan ilmiah: elemen
penting apa saja yang terdapat dalam keanekaragaman tersebut; bagaimana dan mengapa
keanekaragaman itu hadir? Kedua pertanyaan teologis: bagaimana masing-masing
kelompok agama mempertimbangkan eksistensi dirinya berdasarkan kerangka ajaran
normatif agama yang dianutnya dan pada waktu yang sama menyadari akan adanya
pihak lain yang tidak menganut keyakinan yang sama? Terakhir pertanyaan moral:
bagaimana seseorang harus bersikap terhadap orang lain yang berkeyakinan
berbeda?[30]
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat
dominan dalam karya-karya Smith, yang kemudian terefleksi melalui studi
perbandingan agama yang menjadi disiplin inti baginya. Ini didasarkan pada
keyakinan Smith bahwa salah satu persoalan mendasar dihadapi umat manusia
adalah membangun masyarakat dunia berdasarkan dialog, sikap saling simpati dan
penuh toleransi; dan bagaimana pula cara mencapai masyarakat dunia yang ideal
dunia yang seperti itu. Ia juga mencoba meyakinkan para pengkaji Islam (juga
agama lain) bahwa pra kondisi yang harus ada dan dimiliki sebelum membangun
masyarakat dunia yang ideal itu adalah adanya pemahaman yang simpatik terhadap
nilai-nilai dasar yang menjadi pondasi kebudayaan dan peradaban dunia. Dan
nilai-nilai fundamental ini tidak bisa didapatkan kecuali dari dan terdapat
pada keyakinan keagamaan umat manusia. Karena itu, dalam pandangan Smith, studi
perbandingan agama menjadi suatu yang paling urgen dan mendesak bagi umat
manusia. Dengan demikian, pemikiran Smith mempunyai implikasi jauh dan melampaui
batas-batas kajian Islam dalam artian sempit dan dorongan serta motif yang
mendasari kajian yang demikian itu lebih bersifat teologis dan religius, bukan
yang lain. Dalam karya-karya berikutnya, Smith menunjukkan ketertarikannya
terhadap isu-isu yang lebih luas dan global dalam studi perbandingan agama,
terutama menyangkut aplikasi teologis dan religius terhadap para sarjana yang
menekuni studi Islam. Tidak berlebihan jika dikatakan, karya-karya Smith
kemudian menjadi rujukan standar tentang studi Islam (dan juga agama lain) pada
masa-masa berikutnya yang dikenal dengan studi ilmiah tentang agama-agama
dunia. Pemikiran Smith yang demikian inilah yang menjadi landasan dan dasar
ketika ia mendirikan The Institute of Islamic Studies, McGill University
di Montreal-Kanada yang sekaligus menjadi institut pertama di Amerika Utara
dengan misi yang mulia itu. Barangkali karena landasan yang seperti itulah maka
Pemerintah Iran dan juga Pemerintah Indonesia mengirim tenaga pengajarnya ke
institut tersebut. Untuk Indonesia, pemikiran Smith ini kemudian banyak
diperkenalkan oleh A. Mukti Ali melalui pemikirannya tentang perbandingan agama
dan juga penelitian agama.[31]
Menurut Charles J. Adams, karya Bishop
Kenneth Cragg dan Wilfred Cantwell Smith dikemukakan sebagai contoh terutama
untuk menunjukkan eksistensi pendekatan simpati (irenic approach) dan
variasi yang ada di dalamnya dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk menafikan
sumbangan sarjana lain yang lain yang bernuansa sama. Karya-karya W. Montgomery
Watt dan Geoffrey Parrinder bisa digolongkan pada barisan yang sama. Dalam
konteks ini barangkali kita bisa menambah karya-karya John L. Esposito, David
S. Power, Maxim Rodinson, Wael B. Hallaq, Nabia Abbott, R.B. Sejeant, Issa J.
Boulata dan Edward W. Said. Sedangkan karya-karya yang mungkin bisa dikatakan
lebih bernuansa sebaliknya bisa dibaca pada karya-karya William Muir, Patricia
Crone, Michael Cook, John Wansbrough, Andrew Rippin, Bernard Lewis, Judith Romney
Wegner dan G.H.A. Juynboll.[32]
Dari pembahasan tentang pendekatan normatif
atau pendekatan religius (normative or religious approach), ada dua hal
yang perlu digarisbawahi. Pertama, pendekatan ini terbagi kepada tiga
pendekatan yang lebih rinci, masing-masing mempunyai karakteristik
sendiri-sendiri. Pendekatan Misionaris Tradisional lebih merupakan sikap Barat
dan Kristen yang menekan akan kebenaran Kristen sekaligus kesalahan Islam.
Pendekatan apolegetik merupakan respon terhadap pendekatan pertama yang pada
intinya berusaha menunjukkan kehebatan Islam dibandingkan dengan agama-agama
lain terutama Kristen dan juga peradaban Barat. Sedangkan pendekatan simpati
mencoba menjembatani kedua pendekatan sebelumnya, dengan membangun saling
pengertian, sikap saling simpati dan sikap saling percaya antara penganut agama
yang berbeda. Kedua, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan pada ketiga model
pendekatan tersebut, namun ketiganya diikat dengan satu hal yang secara
fundamental sama: melihat Islam (juga agama lain) berdasarkan kerangka berpikir
teologis dan religius. Inilah yang menjadi karakteristik pokok dalam pendekatan
normatif atau religius, yang sekaligus membedakannnya dengan
pendekatan-pendekatan lain sebagaimana akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.[33]
Tapi ada satu hal yang perlu digarisbawahi
pada bagian akhir ini, terutama tentang karakteristik yang amat berbeda dari
pemikiran Wilfred Cantwell Smith dibandingkan dengan para pemikir lainnya dalam
pendekatan normatif atau religius tersebut. Bagi Smith, norma ajaran Islam
(agama pada umumnya) itu amat penting untuk dipahami dan norma tersebut perlu
dikaji bukan untuk saling menjatuhkan pihak atau agama lain tetapi justru harus
menjadi fondasi kuat untuk membuka dialog dengan pihak lain. Dengan kata lain, seseorang
bisa menghargai pengikut agama lain tanpa kehilangan identitas agama yang
dianutnya. Melalui studi perbandingan agama pada umumnya yang berkembang pada
masa-masa berikutnya, yang dalam perkembangan selanjutnya dikenal dengan studi
ilmiah tentang agama (scienitfic study of religion atau saintific
approach to religion).[34]
B.
Pendekatan Teologis-Normatif Perspektif
Abuddin Nata
Istilah teologi dikemukakan oleh Virgilius dikutip oleh Dede Ahmad
Ghazali menjelaskan bahwa teologi berasal dari bahasa Yunani dari kata theos
yang berarti Tuhan dan logos yang berarti studi atau ilmu. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa secara sederhana teologi berarti studi
masalah-maslaah Tuhan dan kaitan Tuhan dengan dunia realitas. Sementara itu,
dalam pengertian yang lebih luas, teologi merupakan suatu cabang filsafat yang
memiliki lapangan khusus yang berkenaan dengan masalah ketuhanan. Ada juga yang
mengartikan teologi sebagai theoritical expression of a particular religion,
atau ekspresi teoritis tentang suatu tertentu. Kemudian dalam perkembangan
berikutnya ada sebutan Teologi Kristen, Yahudi, Islam dan lain sebagainya.[35] Pendekatan
teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai
upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak
dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai
yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Dikutip oleh Abuddin Nata,
Amin Abdulloh mengatakan bahwa teologi sebagaimana diketahui, tidak bisa tidak
pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri,
komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat
subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan
ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang
partikularistik maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen-Katolik,
teologi Kristen-Protestan dan begitu seterusnya. Dan jika diteliti lebih
mendalam lagi, dalam umat beragama tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai
paham atau sekte keagamaan. Dikutip oleh Abuddin Nata, menurut informasi yang
diberikan The Encyclopaedia of American Religion, bahwa di Amerika
Serikat saja terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte
Davidian yang pada bulan April 1993 dimana pemimpin sekti Davidian bersama 80
orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan
kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam sendiri, secara tradisional
dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dan
sebelumnya terdapat pula teologi yang bernama Khawarij dan Murji’ah. Dikutip
oleh Abuddin Nata, menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer
ini ada 4 prototip pemikiran keagamaan Islam yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis,
modernis misianis dan tradisionalis. Keempat prototip pemikiran
keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah untuk disatukan dengan begitu
saja. Masing-masing mempunyai “keyakinan” teologi yang seringkali sulit untuk
didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah “teologi” di sini, tetapi
menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham
ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu
adalah juga bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru.[36]
Dari pemikiran tersebut diatas, dapat diketahui bahwa pendekatan
teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk
forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau
simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar
sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik
bahwa paham miliknya lah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga
memandang bahwa orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya.
Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesatdan kafir itupun menuduh kepada
lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah
proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian
antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling
menghargai. Yang ada hanya ketertutupan (ekslusifisme). Sehingga yang
terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak. Dalam kaitan ini Amin Abdulloh
mengatakan, “yang menarik perhatian sekaligus perlu dikaji lebih lanjut adalah
mengapa ketika archetype atau form keberagaman (religiosity)
manusia telah terpecah dan termanifestasikan dalam “wadah” formal teologi atau
agama tertentu, lalu “wadah” tersebut menuntut bahwa hanya “kebenaran” yang
dimilikinyalah yang paling unggul dan paling benar. Fenomena ini, sebenarnya
yang disebutkan di atas dengan mengklaim kebenaran (truth claim), yang
menjadi sifat dasar teologi, sudah barang tentu mengandung implikasi
pembentukan mode of thought yang bersifat partikularistik, eksklusif dan
seringkali intoleran. Oleh penganut agama, kecenderungan ini dianggap tidak
atau kurang kondusif untuk melihat rumah tangga penganut agama lain secara
bersahabat, sejuk dan ramah. Mode of thought seperti ini lebih
menonjolkan segi-segi “perbedaan”, dengan menutup serapat-rapatnya segi-segi
“persamaan” yang mungkin teranyam di antara berbagai kelompok penganut teologi
dan agama tertentu. Adalah tugas mulia bagi para teolog dari berbagai agama
untuk memperkecil kecenderungan tersebut dengan cara memformulasikan kembali
khazanah pemikiran teologi mereka untuk lebih mengacu pada titik temu antar
umat beragama.[37]
Berkenaan
dengan pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan
teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama
saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi
kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa dokrin teologi, pada dasarnya memang
tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan
sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi,
sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah
mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Bercampur
aduknya dokrin teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang
menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat
beragama. Tapi, justru keterlibatan institusi dan pranata sosial kemasyarakatan
dalam wilayah keberagamaan manusia itulah yang kemudian menjadi bahan subur
bagi peneliti agama. Dari situ, kemudian muncul terobosan baru untuk melihat
pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam “budaya” tertentu secara lebih
obyektif lewat pengamatan empirik faktual, serta pranata-pranata sosial
kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.
Berkenaan
dengan hal di atas, maka saat ini muncul apa yang disebut dengan istilah
teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan
imannya atau penghayatan agamanya, suatu penafsiran atas sumber-sumber aslinya
dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini. Yaitu teologi yang
bergerak antara dua kutub, yaitu teks dan situasi, masa lampau dan masa kini.
Hal yang demikian mesti ada dalam setiap agama meskipun dalam bentuk dan
fungsinya yang berbeda-beda.[38]
Salah
satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap kritis ini
ditujukan pertama-tama pada agamanya sendiri (agama sebagai institusi sosial dan
kemudian juga kepada situasi yang dihadapinya). Teologi sebagai kritik agama
berarti antara lain mengungkapkan berbagai kecenderungan dalam institusi agama
yang menghambat panggilannya, menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.[39]
Teologi
kritis bersikap kritis pula terhadap lingkungannya. Hal ini hanya dapat terjadi
kalau agama terbuka juga terhadap ilmu-ilmu sosial dan memanfaatkan ilmu
tersebut bagi pengembangan teologinya. Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam
teologi merupakan fenomena baru dalam teologi. Lewat ilmu-ilmu sosial itu dapat
diperoleh gambaran mengenai situasi yang ada. Melalui analisis ini dapat
diketahui berbagai faktor yang menghambat ataupun yang mendukung realisasi
keadilan sosial dan emansipasi. Dengan perkata lain ilmu-ilmu sosial membantu
untuk mengkaji akar ketidakadilan dan kemiskinan. Dengan demikian teologi ini
bukan hanya berhenti pada pemahaman mengenai ajaran agama, tetapi mendorong
terjadinya transformasi sosial. Maka beberapa kalangan menyebut teologi
kepedulian sosial itu teologi transformatif.[40]
Dengan
memperhatikan uraian tersebut di atas, terlihat bahwa pendekatan teologi dalam
memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog, parsial, saling
menyalahkan, saling mengkafirkan, yang pada akhirnya terjadi pengkotak-kotakan
umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepeduluan sosial. Dengan
pendekatan demikian, maka agama cenderung hanya merupakan keyakinan dan
pembentuk sikap keras. Melalui pendekatan teologi ini agama menjadi buta
terhadap masalah-masalah sosial dan cenderung menjadi lambang atau identitas
yang tidak memiliki makna.[41]
Uraian
di atas bukan berarti tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami agama,
karena tanpa adanya pendekatan teologis, keagamaan seseorang akan mudah cair
dan tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku
keagamaan melalui mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi
jelas diperlukan antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga
berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun
masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Tetapi ketika tradisi agama secara
sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bisa jadi spirit agama
yang paling “hanif” lalu terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan
dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri. Pada tarif ini sangat mungkin
orang lalu tergelincir menganut dan meyakini agama yang mereka buat sendiri,
bukan lagi agama yg asli, meskipun yang bersangkutan tidak menyadari.[42]
Tradisi
studi keagamaan yang banyak kita saksikan selama ini yang lebih dominan adalah
orang yang cenderung membatasi pada pendalaman terhadap agama yang dipeluknya
tanpa melakukan komparasi kritis dan apresiatif terhadap agama orang lain. Mungkin
saja hal ini disebabkan oleh terbatasnya waktu dan fasilitas yang diperlukan.
Sebab lain bisa jadi karena studi agama di luar yang dipeluknya bertahun-tahun
yang diwarisi dari orangtua.[43]
Sikap
eksklusivisme teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama
sebagaimana tersebut di atas tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi juga
merugikan diri sendiri karena sikap semacam itu sesungguhnya mempersempit bagi
masuknya kebenaran-kebenaran baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang dan
lebih kaya dengan nuansa. Tidak bisa mengingkari adanya kemungkinan bahwa dalam
perkembangannya sebuah agama mengalami deviasi atau penyimpangan dalam hal
dokrin dan prakteknya. Tatapi arogansi teologis yang memandang agama lain
sebagai sesat sehingga harus dilakukan pertobatan dan jika tidak berarti pasti
masuk neraka, merupakan sikap yang jangan-jangan malah menjauhkan dari
substansi sikap keberagamaan yang serba kasih dan santun dalam mengajak kepada
jalan kebenaran. Arogansi teologis ini terjadi tidak saja dihadapkan pada
pemeluk agama lain tetapi juga terjadi secara internal dalam suatu komunitas
seagama. Baik dalam Yahudi, Kristen maupun Islam, sejarah membuktikan bagaimana
kerasnya bentrokan yang terjadi antara satu aliran teologi dengan aliran lain.
Bentrokan semacam ini menjadi semakin seru ketika ternyata yang muncul dan yang
mengendalikan isu secara kuat adalah kepentingan politiknya. Tidak jelas mana
yang benar, apakah berawal dari politik, kemudian timbul perpecahan yang
kemudian perpecahan tersebut memperoleh pembenaran teologis dan normatif yakni
ajaran yang diyakini paling benar. Atau sebaliknya, berawal dari pemahaman
teologi kemudian masuklah unsur-unsur politis di dalamnya.[44]
Simbiose
pandangan politis-teologis ini yang selalu cenderung mengarah pada konspirasi
ekslusif dan potensial bagi munculnya tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan
Kebenaran Suci. Untuk itu di masa depan memerlukan paradigma teologi baru yang
lebih memungkinkan untuk melakukan hubungan dialogis dan cerdas baik antar umat
beragama maupun antara umat beragama dengan kaum humanis sekuler. Bukankah
dalam banyak hal mereka yang mengaku humanis sekuler itu telah berjasa bagi
para pemeluk agama maupun kemanusiaan secara umum?[45]
Perbedaan
dalam bentuk forma teologis yang terjadi di antara berbagai mazhab dan aliran
teologi keagamaan adalah merupakan realitas dan telah menyejarah. Namun
puralitas dalam perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka saling
bermusuhan dan selalu menonjolkan segi-segi perbedaannya masing-masing secara
arogan, tetapi sebaiknya dicarikan titik persamaannya untuk menuju pada
substansi dan misi agama yang paling suci antara lain mewujudkan rahmat bagi
seluruh alam yang dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan, kebersamaan,
kemitraan, saling menolong, saling mewujudkan kedamaian dan seterusnya. Jika
misi tersebut dapat dirasakan maka
fungsi agama bagi kehidupan manusia segera dapat dirasakan maka fungsi agama
bagi kehidupan manusia segera dapat dirasakan.[46]
Pendekatan
teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara
berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya,
karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu
dipertanyakan lebih dulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya
diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis sebagaimana
disebutkan di atas telah menunjukkan adanya kekurangan antara lain bersifat
ekslusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain dan sebagainya. Kekurangan
ini dapat diatas dengan cara melengkapinya dengan pendekatan sosiologis
sebagaimana telah diuraikan di atas. Sedangkan kelebihannya, melalui pendekatan
teologis normatif ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama,
yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa
memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan pendekatan yang demikian
seseorang akan memilih sikap fanatis terhadap agama yang dianutnya.[47]
Pendekatan
teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu
pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari
Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Pendekatan
normatif merupakan pendekatan yang lebih menekankan aspek normatif dalam ajaran
Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an maupun sunah.[48] Maksud
pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut
legal-formal dan atau normatifnya. Maksud legal formal adalah hubungannya
dengan halal dan haram, boleh dan tidak dan sejenisnya. Sementara normatif
adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan
normatif mempunyai cakupan yang luas.[49] Dalam
pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari
Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan nampak bersikap ideal. Dalam kaitan
ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama
Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur.
Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan,
kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat
dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan,
kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan,
agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi
yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian
pula untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan
sebagainya agama tampil sangat ideal dan dibangun berdasarkan dalil-dalil yang
terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.[50]
Adapun ciri-ciri pendekatan teologis sebagai
berikut :[51]
1.
Loyalitas terhadap diri sendiri timbul bila
kebenaran keagamaan dimaknai dengan kebenaran sebagaimana dipahami oleh pibadi
itu sendiri. Kebenaran sebagaimana diyakini oleh seseorang merupakan kebenaran
yang tidak bisa diungkit-ungkit. Sebagai
konsekuensinya, kebenaran yang ditunjukkan oleh orang lain dianggap kurang benar
atau salah sama sekali.
2.
Komitmen Pendekatan nomatif-teologis
menghasilkan individu yang berkomitmen tinggi terhadap kepercayaan. Individu
yang meyakini suatu kebenaran akan siap berjuang mempertahankannya, serta siap
menghadapi tantangan dari pihak- pihak lain yang mencoba menyerang kebenaran
yang telah diyakini secara mutlak.
3.
Dedikasi hasil dari loyalitas dan
komitmen yang besar akan menghasilkan dedikasi yang tinggi dari penganut agama
sesuai dengan kebenaran yang diyakini. Dedikasi itu diwujudkan dalam bentuk
ketaatan terhadap ritual keagamaan, antusias dalam menjalankan keyakinan dan
menyebarkannya, serta kerelaan untuk berkorban demi pengembangan keyakinan yang
dianut.[52]
Kemudian
ada tiga pendekatan Teologi jika ditinjau dalam konteks pluralisme beragama
yaitu :[53]
a.
Pendekatan Teologi Normatif
Pendekatan teologi normatif dalam memahami
agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan
menggunakan ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan dalam wujud empirik
dari suatu agama yang dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan
yang lainnya.
b.
Pendekatan Teologi Dialogis
Pendekatan
teologi dialogis merupakan metode pendekatan terhadap agama melalui dialog
nilai-nilai normatif masing-masing aliran agama. Oleh karena itu, perlu adanya
keterbukaan antara satu agama dengan agama lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk
menemukan saling pengertian di antara pemeluk agama.
c.
Pendekatan Teologis Konvergensi
Pendekatan
teologi konvergensi adalah upaya untuk memahami agama dengan melihat intisari
persamaan atau titik temu dari masing-masing agama untuk dapat diintegrasikan.[54]
KESIMPULAN
Charles J. Adams membagi pendekatan
dalam pengkajian Islam kepada dua hal besar : (1) pendekatan normatif (normative
approach) juga disebut dengan pendekatan religius (religious approach),
(2) pendekatan deskriptif (descriptive approach). Dalam makalah ini
hanya berfokus pada pendekatan normatif (normative approach). Pendekatan
tersebut meliputi; (1) pendekatan misionaris tradisional (traditional
missionary approach), (2) pendekatan apologetik kalangan muslim (muslim
apologetic approach) dan (3) pendekatan simpati (irenic approach)
yang dilakukan peneliti di Barat.
Adapun menurut Abuddin Nata,
pendekatan teologis Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara
berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang
diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah
pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu, melainkan dimulai
dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan
argumentasi. Pendekatan teologis dalam
memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang
berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran
yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan
lebih dulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan
dalil-dalil dan argumentasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ghazali,
Dede dan Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar Pendekatan
Interdisipliner, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015.
Amstrong,
Karen, Masa Depan Tuhan (Sanggahan terhadap Fundamentalis dan Ateisme),
Bandung: Mizan, 2013.
Endraswara,
Suwardi, Filsafat Ilmu (Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah),
Yogyakarta: PT Buku Seru, 2017.
Fikri Zuhriyah, Luluk, “Metode dan Pendekatan dalam Studi Islam
Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”, Jurnal Islamica, Vol. 2 nomer 1, (1
September 2007), https://doaj.org/article/25b3c5737b1e4cf5bad2065b6e5f98aa,
dalam Google.com.
Hasanah,
Hasyim, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Ombak, 2013.
Ismail,
Faisal, Dinamika Kerukunan antar Umat Beragama (Konflik, Rekonsiliasi dan
Harmoni), Bandung: Rosdakarya, 2014.
Kirk,
J. Andrew, APA ITU MISI? Suatu Penelusuran Teologis, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012.
Minhaji, Ahmad,
Sejarah Sosial dalam Studi Islam Teori, Metodologi dan Implementasi,
Yogyakarta: Suka Press, 2013.
Muqowim, dkk, Pengantar
Studi Islam, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Nasution, Khoiruddin, Pengantar
Studi Islam, Yogyakarta: Academia,
2010.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi
Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1999.
Zulaiha, Siti,
“Pendekatan Metodologis dan Teologis Bagi Pengembangan dan Peningkatan Kualitas Guru MI”, Jurnal Ar-Riayah Bengkulu,
file:///E:/KULIAH%20ES%20LORO/Pendekatan%20dlm%20studi%20Islam/JURNAL/220-693-1
PB%20(1).pdf, dalam Google.com.
[3]Ahmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam Teori, Metodologi dan Implementasi, (Yogyakarta: Suka Press, 2013),
hal. 63.
[6] Luluk Fikri Zuhriyah, “Metode dan Pendekatan dalam Studi
Islam Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”, Jurnal Islamica, Vol. 2 nomer
1, (1 September 2007), https://doaj.org/article/25b3c5737b1e4cf5bad2065b6e5f98aa,
diakses pada tanggal 14 Maret 2018 pukul 5:30 WIB, hal. 27.
[8]
Luluk Fikri Zuhriyah, “Metode dan
Pendekatan dalam Studi Islam Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”...,
hal. 28.
[10]
J. Andrew Kirk, APA ITU MISI?
Suatu Penelusuran Teologis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hal. 27.
[11]
Ahmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam Teori, Metodologi dan Implementasi..., hal. 66.
[12]Karen Amstrong, Masa Depan
Tuhan (Sanggahan terhadap Fundamentalis dan Ateisme), (Bandung: Mizan,
2013), hal. 195.
[13]
Ahmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam Teori, Metodologi dan Implementasi..., hal. 66.
[14]
Luluk Fikri Zuhriyah, “Metode dan
Pendekatan dalam Studi Islam Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”...,
hal. 29.
[15]Suwardi Endraswara, Filsafat
Ilmu (Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah), (Yogyakarta: PT Buku
Seru, 2017), hal. 249.
[16]
Ahmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam Teori, Metodologi dan Implementasi..., hal. 66.
[17]
Ahmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam Teori, Metodologi dan Implementasi..., hal. 67.
[18]
Luluk Fikri Zuhriyah, “Metode dan
Pendekatan dalam Studi Islam Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”...,
hal. 29.
[20]
Ahmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam Teori, Metodologi dan Implementasi..., hal. 68.
[21]
Luluk Fikri Zuhriyah, “Metode dan
Pendekatan dalam Studi Islam Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”...,
hal. 30.
[22]
Faisal Ismail, Dinamika
Kerukunan antar Umat Beragama (Konflik, Rekonsiliasi dan Harmoni), (Bandung:
Rosdakarya, 2014), hal. 137.
[23]
Faisal Ismail, Dinamika
Kerukunan antar Umat Beragama (Konflik, Rekonsiliasi dan Harmoni)..., hal.
138.
[27]
Ahmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam Teori, Metodologi dan Implementasi..., hal. 69.
[28]
Ahmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam Teori, Metodologi dan Implementasi..., hal. 70.
[30]
Ahmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam Teori, Metodologi dan Implementasi..., hal. 71.
[33]
Ahmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam Teori, Metodologi dan Implementasi..., hal. 74.
[34] Ahmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi
Islam Teori, Metodologi dan Implementasi..., hal. 75.
[35]Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan, Studi
Islam Suatu Pengantar Pendekatan Interdisipliner, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2015), hal. 65.
[48]
Muqowim, dkk, Pengantar Studi Islam,
(Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal. 108.
[51] Siti Zulaiha,
“Pendekatan Metodologis dan Teologis Bagi Pengembangan dan Peningkatan Kualitas Guru MI”, Jurnal Ar-Riayah : Jurnal Pendidikan Dasar vol.1 no. 01, 2017
STAIN Curup Bengkulu, file:///E:/KULIAH%20ES%20LORO/Pendekatan%20dlm%20studi%20Islam/JURNAL/220-693-1
PB%20(1).pdf,diakses pada
tanggal 25 maret 2018 pukul 16:28 WIB, hal. 54-55.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar