MEMAHAMI JENIS-JENIS PENALARAN
DI DUNIA ISLAM: BAYĀNĪY, IRFĀNĪY & BURHĀNĪY
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu: Topik-Topik Epistemologi”
Dosen Pengampu : Dr. Usman, SS.,
M.A
Disusun
oleh:
Dini
Fauziyati (
17204010156 )
Kelas:
I A
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
BAB II
MEMAHAMI JENIS-JENIS PENALARAN
DI DUNIA ISLAM: BAYĀNĪY, IRFĀNĪY & BURHĀNĪY
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang
berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme,
pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi dapat diartikan
cabang ilmu filsfat yang membicarakan tentang teori ilmu pengetahuan. Cabang
ini berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana ada itu berada.[1] Epistemologi adalah sebuah cabang filsafat yang
mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan, asal dan kaidah. Oleh pemikir Islam
kontemporer ‘Abid al-Jabiri teori ini dijabarkan dengan menawarkan bentuk epistemologi
yang bercirikan Islam.[2]
Muhammad
‘Abid al-Jabiri salah seorang pemikir kontemporer Islam telah berupaya menyusun
konstruksi epistemologi studi keislaman kepada epistemologi bayani, burhani dan
irfani.[3]
Setiap
agama yang integral memiliki dimensi intelektual yang terdiri atas teologi,
gnosis dan filsafat. Islam merupakan agama yang telah mengembangkan kehidupan
keagamaan secara akrab dengan ketiga aktivitas intelektual yang dimiliki
sebagai suatu tradisi milenial. Aktivitas intelektual Islam ini
diklarifikasikan oleh Al-Jabiri secara cerdas pada tiga kelompok istilah
tipikal, yaitu epistemologi Bayani, ‘Irfani dan Burhani.[4]
Al-Jabiri
terkenal sebagai tokoh filsuf pengemban semangat Averroisme dan ahli
Hermetisme, lahir pada tahun 1936 di Maroko. Al-Jabiri berhasil menamatkan
kuliahnya ke tingkat doktor di Fakultas Adab Universitas Muhammad V Rabath pada
tahun 1970.[5]
Al-Jabiri
sangat mengagungkan akal sehingga ia gelisah pada fenomena sikap dan nalar Arab
yang mengarah pada kecenderungan irasionalisme. Kegelisahan Al-Jabiri
diawali dengan melemahnya rasionalisme dan demokrasi yang kemudian tidak
dihargai oleh bangsa Arab. Sementara kultur irasionalisme pada pihak lain
semakin menyebar dan menguat yang mampu menjegal gerakan rasionalisme.
Menurutnya, bangsa Arab kebanyakan tidak mengakui kemampuan akal manusia,
apalagi percaya pada proyek-proyek rasional dan pencarian ilmiah. Mereka lebih
percaya pada produk-produk irasional dan tradisi. Seperti yang ditunjukkan
dalam gerakan masif sebagian bangsa Arab yang kembali pada romantisme tradisi
masa lalu (turats), berpihak kepada tokoh-tokoh yang ada di dalamnya secara
emosional, seraya mencari unsur-unsur kejayaan dan kegemilangan seakan-akan
dalam kesadaran mereka, kekalahan masa kini bisa terobati dan tertutupi oleh
keagungan masa lalu.[6]
Al-Jabiri
mengkritik praktik dan kegemaran membangkitkan warisan spiritual Timur, seperti
tradisi tasawuf atau pemikiran filsuf Islam yang berorientasi pada
spiritualisme. Selain itu, muncul gerakan Islamis yang berorientasi salafi sebagai
counter terhadap kegagalan penguasa Arab dalam membela kepentingan
bangsa Arab menghadapi musuh bersama. Dengan tradisi pemikiran Prancis yang
lebih maju, yaitu tradisi post-strukturalisme dan post-modernis, Al-Jabiri
berupaya mengkritik nalar Arab yang telah mendominasi penganutnya secara tidak
sadar dengan cara merekontruksi. Bagi Al-Jabiri, perubahan struktur nalar
dengan menggantinya dengan nalar lain, tidak akan tercapai tanpa adanya sebuah
praksis, yaitu “praksis rasionalisme” dalam persoalan pemikiran dan kehidupan
terutama praksis, rasionalisme kritis yang ditujukan terhadap tradisi yang
mewarisi segenap otoritas berpikir dalam bentuk bangunan yang tidak sadar,
yaitu otoritas teks, otoritas masa lalu dan otoritas qiyas. Al-Jabiri
terinspirasi oleh semangat kritisisme Ibn Hazm dan Asy-Syathibi serta
rasionalisme Ibn Rusyd, yang merupakan dasar untuk membangun tradisi
rasionalisme. Dengan semangat rasionalisme, Al-Jabiri kemudian membangun proyek
kritiknya.[7]
Al-Jabiri
seorang pemikir Maroko merasakan pentingnya epistemologi dalam upaya mengangkat
kembali posisi umat dalam kehidupan modern. Menurutnya, bangsa Arab Islam tidak
akan bisa maju untuk mampu bersaing dengan bangsa-bangsa Barat jika tidak
mempunyai epistemologi berpikir benar dan disinilah kelemahannya. Selama ini,
pemikiran Arab hanya berkutat upaya mengulang, meringkas dan mensyarah hasil
kajian-kajian ulama klasik sehingga terjebak pada persoalan ideologi dan bukan
pemikiran. Padahal, khazanah intelektual Islam klasik tersebut sebenarnya bisa
dijadikan modal yang sangat besar bagi kebangkitan Arab, jika digali dan
direkonstruksi dengan metode yang tepat.[8]
Al-Jabiri
menuangkan semua gagasannya tentang epistemologi dalam upaya rekonstruksi
khazanah intelektual Islam klasik dalam karyanya Naqd Al-‘Aql Al-‘Arab
(Kritik Pemikiran Arab). Karya ini terdiri atas tiga buku, yaitu Takwin
Al-‘Aql Al-‘Arabu (Formasi Pemikiran Arab), Bunyah Al-Aql Al-‘Arabi
(Struktur Pemikiran Arab) dan Al-Aql As-Siyasi Al-‘Arabi (Pemikiran
Politik Arab).[9]
Menurut
Al-Jabiri, sistem pengetahuan ekspalanatoris ditopang oleh para ahli
bahasa-struktur-balaghah Arab, ushul fiqh dan mutakallimun. Sementara sistem
pengetahuan gnosis ditopang oleh para pengikut tasawuf, filsafat iluminatif dan
ilmu-ilmu kebatinan (‘ulum as-sirriyah). Adapun sistem pengetahuan
demonstratif ditopang oleh para ahli logika dan filsafat. Ketiga sistem ini
mempunyai ciri epistemologi yang berbeda, bahkan dapat bertentangan antara satu
dan lainnya.[10]
Epistemologi
di atas dibedakan berdasarkan segi otoritas penentuan kebenaran. Dalam
epistemologi bayani, otoritas kebenarannya ada pada nash. Termasuk dalam
kategori pola pikir bayani adalah rumpun keilmuan bahasa Arab, ushul fiqh dan
kalam. Titik temu antar berbagai rumpun keilmuan tersebut terletak pada
hubungan antara teks dan pemaknaan teks sebagai ciri esensial. Epistemologi
irfani otoritas kebenarannya ada pada intuisi (kasyf), sedangkan
epistemologi burhani sebagai epistemologi berbeda secara menonjol dari kedua
epistemologi tersebut, yaitu penentuan otoritasnya pada akal an sich.[11]
Secara
metodologis ketiga struktur epistemologi tersebut jelas dapat dibedakan. Bayānīy
misalnya sangat terkait dan terikat dengan teks, irfānīy
bersifat intuitif dan lebih mengutamakan tanggapan rasa, sementara burhānīy
menggunakan pendekatan demonstratif, namun dalam perjalanan sejarah, ketiga
struktur epistemologi tersebut bersinggungan dan saling mempengaruhi pemikiran
Arab-Islam. Ada yang mencoba menggabungkan antara tradisi bayānīy-irfānīy,
bayānīy- burhānīy dan
burhānīy-
irfānīy.
Akan
tetapi, tradisi bayānīy-lah
yang lebih mendominasi wacana pemikiran di dunia Arab sampai saat ini. Hal
ini terlihat bahwa tradisi pemikiran Arab-Islam masih didominasi otoritas teks
dan ashl. Dimana, otoritas teks secara ontologis-aksiologis menjadi sesuatu
yang taken for granted.[12]
Setiap
agama yang integral memiliki dimensi intelektual yang terdiri atas teologi,
gnosis dan filsafat. Islam merupakan agama yang telah mengembangkan kehidupan
keagamaan secara akrab dengan ketiga aktivitas intelektual yang dimiliki
sebagai suatu tradisi milenial. Aktivitas intelektual Islam ini
diklasifikasikan oleh Al-Jabiri secara cerdas pada tiga kelompok istilah
tipikal, yaitu epistemologi bayani, irfani dan burhani.[13]
A.
Epistemologi Bayānīy
Kata
bayānīy berasal
dari bahasa Arab secara harfiah berarti sesuatu yang jauh atau sesuatu
yang terbuka. Bayānīy
adalah
metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash) secara
langsung atau tidak langsung yang dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang
digali lewat inferensi (istidlal).[14]
Berdasarkan
kajian epistemolog, dikutip oleh Ahmad Hasan Ridwan menjelaskan dengan mengacu
pada kamus Lisan Al-Arabi karya Ibn Manzur, Al-Jabiri menyimpulkan bahwa term
al-bayan mengandung empat pengertian, yaitu pemisahan, keterpisahan, jelas dan
penjelasan. Keempat pengertian tersebut dapat diklarifikasikan menjadi dua
kelompok, yaitu al-bayan sebagai metodologi, yang berarti pemisahan dan
penjelasan; dan al-bayan sebagai pandangan dunia, yang berarti
keterpisahan dan jelas. Akan tetapi, pada wilayah konotasi teoritis konseptual,
al bayan sebagai sistem epistemologi mencakup tiga pasangan konsep
dasar, yaitu lafal-makna, asl-far dan substansi-aksidensi.
Konsep pertama dan kedua mencakup aspek metodologis, sedangkan konsep ketiga
mencakup aspek pandangan dunia.[15]
Menurut
Mohammad Muslih, Al-Jabiri memaknai al-bayan secara etimologis, dengan mengacu
kepada kamus Lisan al-Arab karya Ibn Mandzur, yang di dalamnya tersedia
materi-materi bahasa Arab sejak permulaan masa tadwin, yang masih pengertian
lain, karena dari makna asli yang belum tercampuri oleh pengertian lain, karena
dari makna asli tersebut akan diketahui watak dan situasi yang mengitarinya.
Makna al-bayan di sini mengandung empat pengertian, yakni al-fasl wa
al-infishal dan al-dzuhur wa idzhar, atau bila harus disusun secara
hirarkis atas dasar pemilihan antara metode (manhaj) dan visi (ru’yah)
dalam epistemologi bayani, dapat disebutkan bahwa al-bayan
sebagai metode berarti al-fasl wa al-infishal, semantara al-bayan sebagai
visi berarti al-dzuhur wa idzhar.[16]
Sedangkan
secara terminologis kajian bayani terbagi kepada dua, yaitu: aturan-aturan
penafsiran wacana (qawanin al-tafsir al-khithabi) dan syarat-syarat
memproduksi wacana (syurut intaj al-khithabi). Penetapan makna bayan
secara ilmiah (istilah) ini sekaligus menandai tahapan baru, yaitu tidak saja
dipahami sebagai sekedar penjelasan (al-wudhuh/al-idzhar), tetapi lebih
dari itu, sebagai suatu epistemologi keilmuan yang “difinitif”. Walaupun
sebenarnya aktivitas bayani telah ada sejak masa Islam awal, namun baru
merupakan upaya penyebaran upaya ilmiah, dalam arti identifikasi keilmuan dan
peletakan aturan penafsiran tek-teksnya.[17]
Bayani sebagai
pandangan dunia pada awalnya berlandaskan pada gambaran Al-Qur’an tentang
hubungan antara Allah, alam dan manusia. Menurut Al-Qur’an, hubungan Tuhan,
manusia dan alam adalah hubungan yang terpisah; dalam arti bahwa antara
Tuhan-manusia-alam tidak ada media perantara. Jadi, pada awalnya dia murni
merupakan pandangan agama. Akan tetapi, ketika para ahli bayani terutama para
ahli kalam berhadapan dengan musuh mereka para pemeluk agama terdahulu, seperti
penganut Manu, pandangan tersebut mengalami pergeseran dari daratan
epistemologis ke metafisis. Pergeseran tersebut memperoleh bentuk yang semakin
nyata, sekaligus membuat pandangan dunia bayani menjadi semakin komleks setelah
Abu Al-Khudzay Al-‘Allaf mengembangkan teori atomisme sebagai landasan konseptual
dalam menganalisis persoalan-persoalan teologi. Teori atomisme kemudian
berkembang menjadi basis pandangan dunia bayani. Pengembangan teori atomisme
sebagai landasan fundamental pandangan bayani bertolak dari tiga postulat
utama, yaitu tak ada wujud tanpa substansi dan aksidensi, substansi tak
terpisah dari aksidensi dan aksidensi selalu berubah.[18]
Secara
langsung dapat dipahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami
teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski
demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan
maksudnya, tetapi harus berdasarkan teks. Dalam bayānīy, rasio dianggap
tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam
perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayānīy adalah aspek
eksoteris (syariat).[19]
Dengan
berpijak pada prostulat dasar tersebut, Al-Jabiri mencoba menemukan
prinsip-prinsip dasar yang melandasi pandangan dunia bayani dengan menganalisis
dua isu utama yang diduga menjadi muara, sekaligus sumber persoalan metodologis
dari sistem epistemologi bayani, yaitu: (1) pandangan bayani tentang hubungan
antar realitas; dan (2) pandangan bayani tentang hubungan subjek yang
mengetahui (akal) dan objek yang diketahui (realitas).[20]
Dengan
demikian, epistemologi bayānīy pada dasarnya telah digunakan oleh
para fuqohā (pakar fiqih), mutakallimūn (theolog) dan ushulliyūn
(pakar ushul al-fiqh untuk memahami teks guna menemukan makna yang
dikandung dalam lafadz, serta untuk pengkajian hukum-hukum dari al-Qur’an dan
hadis. Dengan demikian, teks sucilah yang menentukan arah kebenaran.[21]
Menurut Abid Al- jabiri, nalar bayani terdapat
dalam kajian ilmu kebahasaan, nahwu, fiqih (yurisprudensi Islam), teologi (ilmu
kalam) dan ilmu balaghah. nalar bayai bekerja menggunakan mekanisme yang sama
berangkat dari dikotomi antara lafadz/al-makna, al- ash/al-far’ dan
al-jauhar/al-ardl. Dikalangan ahli bahasa (al-lughawiyyun) misalnya, mereka
dalam melacak kosa kata (bahasa Arab) dan mengumpulkannya kedalam sebuah kamus,
pertama-tama menghimpun kosa kata Arab dan memilah-milahnya antara makna kosa
kata yang dipakai (al-musta’mal) dan makna kosa kata yang tidak dipakai
(al-muhmal). Ini berarti bahwa kalangan lughawiyun telah menjadikan lafadz
(kata) sebagai hipotesa teoritis untuk menilai kemungkinan dipakai tidaknya
sebuah kosa kata. Kosa kata yang maknanya masih dipakai dijadikan sebagai
‘patokan’ atau asal (al-asl). Jika ditemukan kosa kata yang maknanya tidak
dipakai maka harus dikembalikan kepada bahasa masyarakat Arab melalui apa yang
dikenal dengan sima’iy. Setidaknya, cara seperti inilah yang pernah dilakukan
oleh seorang ahli bahasa Arab semisal Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi.[22]
1.
Perspektif Bayani tentang Relasi antar Realitas
Hubungan antara segala sesuatu membawa konsekuensi
pada problem kausalitas. Unsur pokok dari persoalan kausalitas berkaitan dengan
persoalan konsep ruang dan waktu. Konsep ruang dalam pandangan bayani bersifat
konkret. Ruang selamanya dipahami tidak terpisah dari sesuatu yang
menempatinya. Para ahli bayani menolak asumsi ruang yang bersifat filosofis
bahwa ruang adalah sesuatu yang menggelilingi yang lain dari segala sisinya.
Penolakan ini berdasarkan argumentasi bahwa ahli bahasa tidak mensikapi topi
yang mengelilingi kepala sebagai tempat kepala dan tidak mensikapi baju sebagai
tempat tubuh.[23]
Konsep waktu, seperti halnya konsep ruang, selalu
dikaitkan dengan kejadian tertentu. Konsep absolut waktu yang tidak berawal dan
berakhir mutlak tidak pernah ada dalam pandangan dunia bayani. Konsep waktu
selalu berarti waktu tertentu: musim panas, musim buah, tahun gajah, zaman
Mu’awiyah dan seterusnya. Tegasnya, waktu bersifat diskontinuitas sesuai dengan
diskontinuitas kejadian. Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa gambaran konsep
ruang dan waktu dalam pandangan dunia bayani bersifat atomistik atau dengan
kata lain, berlandaskan sepenuhnya pada prinsip diskontinuitas.[24]
Gambaran konsep ruang dan waktu yang bersifat
atomistik mengantarkan pada persoalan kausalitas. Menurut teori atomisme,
atom-atom (Al-Jauhar Al-Fard) seluruhnya sama dari segi sisi hingga tidak
mungkin sebagian atom memengaruhi pada dua hal yang berbeda, yaitu yang
memengaruhi harus lebih kuat atau dominasinya lebih banyak dari pada
dipengaruhi. Pandangan ini tidak berlaku bagi atom-atom sebab menurut teori
atomisme, atom-atom tersebut sama dan serupa; dan saling mendominasi. Ini jika
dilihat dari satu sisi. Di sisi lain, atom-atom yang secara bersama-sama
membentuk benda, masing-masing tetap terpisah dan independen. Hal ini karena
kumpulan atom bukan bersifat saling bersenyawa, melainkan hanya bersinggungan.[25]
Uraian ini membawa konsekuensi, tidak adanya tempat
bagi kausalitas karena pengaruh kausalitas merupakan penggambaran yang bersifat
azali yang meniscayakan bentuk relasi yang bersifat kontinu dan saling
bersenyawa dan terjadinya perubahan dalam proses keterpengaruhan. Sementara,
konsep atom dalam pandangan dunia bayani tidak saling bersenyawa dan tidak
mengalami perubahan, tetapi tetap sama selama masih ada. Perubahan hanya
terjadi pada aksidensi.[26]
Apakah terdapat tempat bagi kausalitas pada
aksidensi? Sebetulnya, aksidensi selalu berubah. Ia disebut aksidensi karena ia
berubah. Salah satu postulat dasar dari teori atomisme adalah aksidensi tidak
pernah tetap dalam dua waktu. Hanya, perubahan aksidensi dalam pengertian
muncul dan lenyapnya menurut pandangan ahli bayani, tidak terjadi sebagai akibat
dari pengaruh alam. Ahli bayani menolak pemikiran tentang nature dan
pengaruh dari “nature”, demi menegaskan bahwa hanya Allah pelaku dari
segala sesuatu dan Dia senantiasa membuat penciptaan secara terus-menerus.
Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa ketika Tuhan menciptakan suatu
substansi, pada waktu yang sama Tuhan juga menciptakan segala aksidensi yang
dikehendaknya. Karena aksidensi tidak pernah tetap dalam dua waktu, setiap
aksidensi yang diciptakan Tuhan bagi suatu substansi akan hilang dan fana pada
keadaan wujudnya yang kedua, yaitu pada saat kedua bagi waktu adanya substansi.
Pada saat tersebut, Tuhan akan menciptakan aksidensi yang ketiga sebagai ganti
bagi aksidensi yang lenyap. Demikianlah, penciptaan terus berlanjut selama
Tuhan berkehendak untuk memberikan aksidensi pada substansi tersebut.[27]
Apabila Tuhan menghendaki penciptaan aksidensi lain
bagi substansi sebagai ganti dari aksidensi yang pertama (umpamanya putih
menggantikan hitam), Dia akan menciptakannya, Tidak mungkin Tuhan berhenti
dalam menciptakan aksidensi bagi substansi tersebut karena substansi tanpa
aksidensi secara tidak langsung hilang dengan sendirinya sesuai dengan postulat
bahwa substansi tidak akan terpisahkan dari aksidensi.[28]
Jelas bahwa pendapat tentang penciptaan secara kontinu,
seperti yang dijelaskan di atas, secara total menghapus konsep kausalitas.
Bahkan, para ahli kalam, khususnya Asy’ariyah, menegaskan tentang adanya
internalisasi berkelanjutan dari kehendak Tuhan pada tahapan penciptaan
aksidensi (pada gilirannya juga penciptaan substansi dan segala sesuatu di
dunia) untuk menutup pintu bagi pemikiran naturalisme, sebagaimana pemikiran
filsafat lama menggunakan pandangan naluralisme untuk menjelaskan pengaruh
kausalitas dan keniscayaan terhadap ilmu modern.[29]
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa dalam
pandangan dunia bayani, segala sesuatu bersifat atomis dan saling terpisah.
Pandangan atomistik ini berimplikasi pada segala aspek, termasuk persoalan
metodologi pemikiran. Salah satu bentuk implikasi metodologis dari teori ini
adalah kelamahan model qiyas dalam sebagian besar tradisi keilmuan
bayani yang hubungan antara dua terma tidak mewakili yang berkaitan sehingga
tidak menghasilkan konklusi yang niscaya, tetapi konklusi yang cenderung
bersifat kemungkinan. Hal ini disebabkan kedudukan Ilahi lebih berfungsi
sebagai muqarabah. Ini berbeda dengan kedudukan terma tengah dalam
penalaran silogisme yang berpijak pada prinsip identitas.[30]
Teori atomistik didorong oleh keinginan untuk
menegaskan pandangan tentang penciptaan yang berkelanjutan. Para ahli bayani
menegaskan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu tanpa perantara, dengan
konsekuensi, penolakan terhadap relasi kausalitas dan sebaliknya penegasan
terhadap prinsip diskontinuitas dalam segala sesuatu.[31]
Dalam perkembangannya, epistemologi ini mengalami
perkembangan yang signifikan, terutama atas prakarsa al-Syatibi, seorang tokoh
utama madzhab Maliki yang lahir di Kordova, Spanyol yang berusaha memperbaharui
epistemologi bayani. Bagi al-Syatibi, untuk menghasilkan kebenaran yang bisa
dipertanggungjawabkan secara rasional, epistemologi bayani, tidak cukup hanya
dengan memperhatikan kaidah-kaidah bahasa dan proses transmisinya namun juga
harus berpijak pada ‘dalil-dalil’ burhani. Al-Syatibi menawarkan tiga teori
utama, yaitu al-istintaj (qiyas jama’i atau silogisme), istiqra’
(induksi) dan maqasid syari’ah. Untuk lebih jauh memahami aspek
metodologi epistemologi bayani, menurut al-Jabiri ada hal-hal yang harus
diperhatikan, dalam hal ini unsur-unsur yang mengkonstruk sistem pengetahuan
bayani, yaitu pasangan lafadz makna; al-ashl- al-far’; dan al-khabar-
al-qiyas.[32]
2.
Aspek Metodologi
Seperti telah diuraikan di atas bahwa bayani
menjadikan teks sebagai rujukan pokok dan oleh karenanya teks juga merupakan
sumber bagi pengetahuan bayani. Hal ini berarti, untuk mendapatkan pengetahuan,
maka segala potensi akal manusia harus dikerahkan sebagai upaya pemahaman dan
“pembenaran” terhadap rujukan utamanya, yaitu teks. Usaha keras ini disebut
ijtihat dalam disiplin fiqih, khususnya ilmu ushul fiqh berwujud qiyas
(analogi) dan istinbath (penetapan kesimpulan) dan dalam tradisi kalam (teologi
Islam) qiyas seperti ini disebut istidlal (tuntutan mengemukakan alasan/thalab
al-dalil). Istilah istidlal ini selain digunakan dalam bidang kalam,
juga lekat dengan disiplin fiqih. Metode dalam kalam ini kemudian disebut
istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib, sebagai argumen ontologis tentang
masalah-masalah ketuhanan, yaitu penalaran yang berangkat dari yang nyata
(dunia riil) untuk mengukuhkan yang ghaib (masalah-masalah ketuhanan). Ini juga
berlaku dalam studi balaghah dan nahwu, seperti diungkap dalam
salah satu pernyataan al-Jurjani: “al-tasybih qiyas”, bahwa bentuk
perumaan merupakan qiyas juga.[33]
Qiyas merupakan upaya menetapkan keputusan dengan
cara menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash (teks)
dengan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash, disebabkan
kesatuan illat (alasan atau motivasi hukum) antara keduanya. Batasan
tersebut berangkat dari asumsi dasar yang kemudian bergerak menjadi sebuah
prinsip, bahwa “segala peristiwa yang menimpa seorang penganut agama Allah,
niscaya di dalam kitab Allah terdapat dalil sebagai jalan petunjuk.”[34]
Asumsi ini kemudian sangat kuat mewarnai kerangka
bangun berpikir bayani, bahwa apapun yang terjadi dalam pengalaman hidup
manusia di dunia ini, baik yang lampau, kini maupun yang akan datang, tak
satupun yang terlepas dari rangkaian firman Tuhan yang ada dalam nash.
Dengan prinsip ini maka orang yang berpendapat tanpa landasan nash yang pasti,
atau tanpa melalui analogi terhadap nash dan atau hanya bersifat
‘subjektif’, maka ia disebut telah menetapkan hukum melalui hawa nafsu (al-hukm
bi al-tasyahhi) dan karenanya ia lebih dekat dengan dosa.[35]
Metode yang dipakai dalam nalar bayani ini
mendapatkan keselarasan jalannya dengan model argumen yang dipergunakan, yakni
bersifat jadali, yang tidak lagi membutuhkan hal baru dalam pembuktian
keilmuannya karena didukung oleh asumsi yang aksiomatik. Dari model argumen
yang dialektis ini, maka wajar kalau kemudian digunakan untuk menunjukkan otoritas
keilmuannya pada orang awam atau sering digunakan untuk mematahkan dan
mengalahkan lawan dalam adu argumen.[36]
3.
Prinsip-Prinsip Dasar Nalar Bayani
Al-Jabiri mengungkapkan setidaknya ada tiga
karakter utama yang menjadi prinsip pengetahuan bayani yang berakar dari
tradisi Arab jahiliyah pra-Islam. Pertama, prinsip infishal (discontinue).
Prinsip keterpisahan/ ketidaksinambungan ini memandang bahwa alam seisinya ini
masing-masing berdiri sendiri dan tidak berkaitan satu dengan yang lainnya.
Pengaruhnya dalam pemikiran Islam nampak dalam memahami Tuhan dan ciptaan-Nya
yang keduanya dipahami secara terpisah. Hal ini kemudian mengimbas pada
bangunan ilmu dalam pemahaman alam pikiran Arab Islam, bahwa ada ilmu agama dan
ada ilmu non agama. Dan dalam beberapa kasus kemudian lahir pemahaman, bahwa
ilmu yang didasari oleh masing-masing tersebut melahirkan klaim; iman dan
kafir.[37]
Kedua, prinsip al-tjwiz (keserbabolehan). Prinsip
ini kurang memperhatikan atau bahkan mengingkari hukum sebab-akibat (causality).
Kejadian lazim dan tidak lazim masing-masing dipahami secara sama dan tidak
tertarik sama sekali mencari jawabannya mengapa sesuatu itu terjadi. Prinsip
ini, barangkali yang kemudian diadosi oleh kalangan mutakallimin sebagai
prinsip “bila kaifa” jika menghadapi kepelikan masalah ketuhanan. Hal
inilah yang menyebabkan dalam alam pikiran bayani tidak dihasilkan ilmu-ilmu
bersifat eksakta.[38]
Ketiga, prinsip muqarabah. Dalam rangka
mengimbangi prinsip discontinue, tradisi Arab juga menerapkan tradisi
penalaran yang didasarkan pada faktor kedekatan dan keserupaan. Dari sini
kemudian lahir model pemikiran yang bersifat analogis-deduktif dan
kurang memberi peluang pada pendekatan lain dalam membangun ilmu pengetahuan.
Dalam disiplin ilmu ushul fiqh, prinsip ini dilestarikan oleh Imam al-Ayafi’
dengan metode qiyas, yang mempertahankan akal dengan suatu kasus yang
baru (far’), karena adanya faktor kedekatan atau keserupaan pada keduanya.
Menurut al-Syafi’i, inilah satu-satunya metode penalaran yang valid dalam
menetapkan hukum Islam.[39]
SKETSA EPISTEMOLOGI
BAYANI
|
STRUKTUR
FUNDAMENTAL
|
EPISTEMOLOGI
BAYANI
|
|
A.
Origin (Sumber)
|
Nash/Teks/Wahyu (Otoritas Teks) Al-Akhbar,
al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-‘Ilm al-Taufiqi.
|
|
B.
Metode (Proses dan Prosedur)
|
Ijtihadiyyah
Istinbathiyyah/ istintajiyyah/istidlaliyyah/ qiyas Qiyas (Qiyas al-ghaib ‘ala
al-syahid)
|
|
C.
Approach
|
Lughawiyyah (bahasa), Dalalah Lughawiyyah
|
|
D.
Theoritical Framework
|
Al-Ashl –
al-far’ Istinbathiyyah (Pola
pikir deduktif yang berpangkal pada teks), Qiyas al-“Illah (Fikih), Qiyas
al-Dalalah (Kalam), Al-Lafdz-al-Makna, ‘Am-khash, Mustarak,
Haqiqah, Majaz, Muhkam, Mufassar, Zahir, Khazi, Musykil, Mujmal, Mutasyabih.
|
|
E.
Fungsi dan Peran Akal
|
Akal sehat
pengekang/pengatur hawa nafsu (lihat Lisan al-‘Arab Ibn Mandzur),
Justifikasi – Repetitif – Taqlidi (Pengukuh kebenaran / otoritas teks), al-‘Aql
al-Diniy
|
|
F.
Types of Argument
|
Dealektik (Jadaliyyah);
al-‘Uqul al-Mutanafisah Defensif- Apologetik-Polemik-Dogmatik Pengaruh
pola Logika Stoic (bukan logika Aristoteles)
|
|
G.
Tolok Ukur Validitas Keilmuan
|
Keserupaan
/kedekatan antara Teks (Nash) dengan realitas
|
|
H.
Prinsip-Prinsip Dasar
|
Infishal (discontinue) = Atomistik, Tajwiz
(kesebabolehan = tidak ada hukum kausalitas Muqarabah (kedekatan,
keserupaan), Analogi deduktif; Qiyas
|
|
I.
Kelompok Ilmu-Ilmu pendukung
|
Kalam
(Teologi), Fikih (Jurisprodensi)/ Fuqaha; Ushuliyyun, Nahwu (Grammar);
Balaghah
|
|
J.
Hubungan Subjek dan Objek
|
Subjective
(Theistic atau Fideistic Subjectivism)
|
B.
Epistemologi
Irfānīy
Al-‘Irfan dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘arafa dan ma’rifah
satu makna dengan. Kata irfan muncul dari para sufi muslim yang menunjuk pada
satu pengetahuan yang tinggi, tertanam dalam hati dalam bentuk dalam bentuk
ilham. Ilham disini bukan pengertian “ilham” kenabian tapi merupakan intuisi
seketika yang biasanya ditimbulkan oleh praktik-praktik ruhani. Ilham ini
datang dari pusat wujud manusia yang berada di luar batas waktu atau dari
“malaikat”. Dengan kata lain, ilham itu datang dari pancaran akal universal
yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.[40]
Menurut Mohammad Muslih, irfani berasal dari kata
irfan yang dalam bahasa Arab merupakan bentuk dasar (masdar) dari kata ‘arafa,
yang semakna dengan ma’rifat. Dalam bahasa Arab, istilah al-‘irfan berbeda
dengan kata al-‘ilm. Al-‘ilm menunjukkan pemerolehan objek
pengetahuan (al-ma’lumat) melalui transformasi (naql) ataupun
rasionalitas (‘aql), sementara irfan atau ma’rifat
berhubungan dengan pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek
pengetahuan.[41]
Menurutnya sejarahnya, epistemologi ini telah ada
baik di Persia maupun Yunani jauh sebelum datangnya teks-teks keagamaan, baik
yahudi, kristen maupun Islam. Sementara dalam tradisi (sufisme) Islam, ia baru
berkembang sekitar abad ke-3H /9 M dan abad 4 H/10 M, seiring dengan
berkembangnya dokrin ma’rifat (gnosis) yang diyakini sebagai
pengetahuan bathin, terutama tentang Tuhan. Istilah tersebut digunaka
untuk membedakan antara pengetahuan yang diperoleh melalui indra (sense,
al-hissi) dan akal atau keduanya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf
(ketersingkapan), ilham, ‘iyan atau isyraq. Di kalangan mereka,
irfan dimengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman intuitif akibat
persatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui (ittihad al-‘arif wa
al-ma’ruf) yang telah dianggap sebagai pengetahuan tertinggi.[42]
Irfan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan olah
ruhani dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan
pengetahuan langsung kepadanya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk ke
dalam pikiran sebelum dikemukakan kepada orang lain. Dengan demikian, secara
metodologi, pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu
persiapan, penerimaan dan pengungkapan, baik dengan lisan maupun dengan
tulisan.[43]
Kalangan Irfaniyyun dalam dunia Islam menjadikan
istilah dzahir-batin sebagai konsep yang melandasi cara berpikirnya dalam
memandang dunia dan memperlakukan segala sesuatunya. Pola sistem berpikir yang
mereka pakai adalah berangkat dari yang batin menuju yang dzahir: dari makna
menuju lafadz. Batin bagi mereka adalah sumber pengetahuan, karena batin adalah
hakekat, sementara dzahir teks adalah penyinar. Pola sistem berpikir seperti
itu di kalangan irfaniyun, menurut al-Jabiri dapat dirujuk misalnya saja pada
Abu Hamid al-Ghazali, ia menegaskan bahwa makna yang dimiliki oleh qur’an
adalah batinnya, bukan dzahirnya: agar hakekat dapat disingkap, maka makna
harus dijadikan asal sementara lafadz mengikutinya. Demikian halnya
al-Muhasibi, sebagaimana telah dikutip oleh al-Jabiri, pernah mengatakan bahwa
“setiap ayat qur’an ada yang dzahir dan batin.... Adapun yang dzahir adalah
bacaannya (tilawah), sedangkan yang batin adalah ta’wilnya”.[44]
Perlunya kajian-kajian baru dan serius tentang
kerangka berpikir irfani perlu digali dan dikaji ulang agar dapat dipahami
secara praktis fungsional. Agama-agama dunia yang tidak memiliki pola pikir
irfani akan sangat kesulitan menghadapi realitas pluralitas keberagamaan umat
manusia baik internal maupun eksternal. Hanya pola pikir epistemologi irfani
inilah yang mendekatkan hubungan sosial antar umat beragama, meskipun secara
sosiologis mereka tetap saja sah untuk tersekat-sekat dalam entitas dan
identitas sosial kultural mereka sendiri-[45]sendiri lewat tradisi formal-tekstual keagamaanya.
Dalam tradisi epistemologi irfani, istilah “arif” lebih diutamakan daripada
istilah “alim”, karena alim lebih merujuk pada untuk hal-hal yang terkait
dengan kompleksitas pergaulan sosial, budaya dan keagamaan.[46]
Jika sumber pokok (origin) ilmu pengetahuan
dalam epistemologi bayani adalah teks (wahyu), dalam epistemologi irfani ini,
sumber pokoknya adalah experience (pengalaman. Pengalaman hidup yang otentik,
yang sesungguhnya, yang merupakan pelajaran tak ternilai harganya. Ketika
manusia menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan dalam lubuk hatinya yang
terdalam telah dapat mengetahui adanya Zat yang Maha Suci dan Maha Segalanya.
Untuk mengetahui Zat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang tidak perlu
menunggu turunnya “teks”. Pengalaman konkrit pahitnya konflik, kekerasan dan
disintegrasi sosial dan akibat yang ditimbulkannya dapat dirasakan oleh
siapapun , tanpa harus dipersyaratkan mengenal jenis-jenis teks keagamaan yang
biasa dibacanya. Pengalaman-pengalaman bathin yang amat mendalam, otentik,
fitri, hanafiah samhah dan hampir-hampir tak terkatakan oleh logika dan
tak terungkapkan oleh bahasa inilah yang disebut direct experience atau prelogical
knowledge menurut tradisi eksistensialis Barat. Semua pengalaman otentik
tersebut dapat dirasakan secara langsung tanpa harus mengatakannya terlebih
dulu lewat pengungkapan ‘bahasa’ atau ‘logika’.[47]
1.
Penghayatan Intuitif (al-Tajribah al-Bathiniyyah): aspek metodologi
Seperti diuraikan di atas, epistemologi irfani
lebih bersumber pada intuisi, bukan pada teks. Oleh karena itu pendekatan yang
digunakan dalam penggalian ilmu adalah psiko-gnosis, intuisi, ilham, qalb,
dlamir dan semacamnya. Meski dalam sejarahnya, tampak bahwa beberapa hal
tersebut banyak dikembangkan atau bahkan diinstutisionalisasikan menjadi
semacam ‘hak paten’ para pengikut sistem tarekat, dengan wirid-wirid dan
syahadat-syahadat yang mengiringinya. Padahal tarekat ini sebenarnya merupakan institusional
or organizational expression dari tradisi sufistik Islam. Karenanya jika dilakukan
upaya pengembangan atas apistemologi ini diperlukan adanya kejernihan dalam
memandang beberapa aspek, yaitu apa yang disebut: mistical experience, mistical
doktrine, mistical technique dan mistical institution. Tanpa
membedakan terlebih dulu beberapa hal ini, pengembangan pemikiran irfani
sebagai sebuah epistemologi Islam yang utuh, kokoh dan komprehensif akan sulit
dilakukan, lebih-lebih karena ia telah mengalami ‘kecelakaan sejarah’ (bahasa
Amin Abdullah) dalam hal ini karena kedekatannya dengan perkumpulan tarekat.
Sehingga Fazlur Rahman menyebutnya sebagai “religion within religion”.[48]
Dalam proses ma’rifah atau proses penggalian
ilmu, secara umum metode yang digunakan para irfaniyun adalah metode al-dzauqiyah,
al-riyadlah, al-mujadalah, al-‘isyraqiyah, al-laduniyah atau penghayatan
batin, beberapa istilah yang memang khas bagi kaum sufi. Sebagai suatu proses
yang sifatnya spiritual sudah tentu sulit digambarkan bagaimana langkah-langkah
konkritnya. Berbeda misalnya dengan metode al-bahtsiyah, sebagaimana
epistemologi burhani, yang memang menuntut adanya proses-proses teknis. Meski
demikian, langkah-langkah itu kemudian ada yang mengidentifikasi juga, Ada tiga
tahap pendakian spiritual di kalangan kaum sufi; pertama, bagi para pemula,
yaitu mereka yang disebut penyandang waktu. Dalam tahap ini seorang pendaki (salik)
berada dalam kondisi menempati waktu dan dapat berkemungkinan kekosongan waktu
(ghaflah). Waktu dalam term sufi identik dengan aktivitas spiritual.
Kedua, penyandang ahwal, mereka adalah para pendaki papan tengah. Dalam
tahap ini seorang pendaki berada dalam dua kondisi yaitu menempatkan ahwal
dan kebermungkinan menempati waktu. Ketiga, penyandang anfas mereka
adalah yang telah mencapai puncak perjalanan spiritual. Mereka telah terbiasa
dengan pendakian yang begitu melelahkan. Mereka telah mencapai puncak yang
dituju yaitu apa yang disebut “wishal”, mukasyafah (ketersingkapan),
fana (ekstasi), ittihad (penyatuan) dan musyahadah (penyaksian).
Tingkat ketiga ini tidak akan tercapai kecuali oleh para wali.[49]
Adapun metode yang dipergunakan para sufi adalah
metode cita rasa khusus, yaitu pemahaman sensual langsung dan pemahaman
rasional indrawi. Metode ini lazim disebut metode pengetahuan iluminasi.
Pembuktian kebenaran pengetahuan dan metode irfani bersifat intersubjektif
artinya kebenarannya dapat dibuktikan melalui pemahaman atau pengalaman rohani
dari subjek-subjek yang lain mengenai hal yang sama.[50]
Dengan demikian secara metodologis, pengetahuan
irfani tidak diperoleh berdasarkan rasio, tetapi menggunakan kesadaran intuitif
dan spiritual, karenanya pengetahuan yang dihasilkannya adalah pengetahuan yang
sui generis, pengetahuan yang paling dasar dan sederhana. Yaitu
pengetahuan yang tidak tereduksi, bahkan terkadang sampai pada pengetahuan yang
tak terkatakan (unspeakable). Untuk mengetahui bagaimana aspek
metodologi ini, berikut ini akan diuraikan beberapa konsep epistemologi ini
sebagai kerangka dasar dalam proses keilmuannya.[51]
2.
Konsep Dzahir dan Batin
Apabila dalam epistemologi bayani terdapat konsep
lafadz dan makna, dalam irfani terdapat konsep dzahir dan batin sebagai
kerangka dasar atas pandangannya terhadap dunia (world view) dan cara memperlakukannya. Pola
pikir yang pakai kalangan irfaniyun adalah berangkat dari yang batin menuju
yang dzahir, dari makna manuju lafadz. Batin, bagi mereka merupakan sumber
pengetahuan, karena batin adalah hakikat, sementara dzahir teks (al-Qur’an dan
hadis) sebagai pelindung dan penyinar. Irfaniyyun berusaha menjadikan dzahir
nash sebagai bahan.[52]
Pola pikir seperti itu di kalangan irfaniyun telah
banyak ditunjukkan al-Jabiri. Al-Ghazali misalnya menegaskan bahwa makna yang
dimiliki oleh al-Qur’an adalah batinnya bukan dzahirnya. Agar hakekat dapat
disingkap, makna harus dijadikan asal, sedang lafadz mengikutinya. Demikian
halnya al-Muhasibi, sebagaimana dikutip al-Jabiri, menjelaskan bahwa yang dzahir
adalah bacannya (tilawah) dan yang batin adalah ta’wilnya. Ta’wil disini
diartikan sebagai transformasi ungkapan dzahir
ke batin dengan berpedoman pada isyarat (petunjuk batin). Apabila dalam ta’wil
bayani memerlukan susunan bayan seperti wajh syibh (illat) ataupun adanya
pertalian lafadz dan makna (qarinah lafdziyah an al-nawiyyah) maka ta’wil
irfani tidak memerlukan persyaratan dan perataraan. Takwil irfani tidak
berpedoman pada dzahir lafadz, tetapi justru mengalihkannya pada wilayah
pengetahuan yang menurut mereka disebut dengan hakekat melalui isyarat. Dalam
pola pikir seperti ini, pemahaman dihasilkan melalui al-iyan atau al-irfan
dan karenanya bersifat langsung.[53]
Dalam tradisi irfani, jika seorang arif
mengungkapkan makna dan pikiran yang diisyaratkan oleh al-Qur’an di dalam
jiwanya dengan bahasa yang jelas dan sadar, itu disebut takwil. Sementara jika
ia berusaha mengungkapkan “pikiran-pikiran yang saling berlawanan” dan
perasaan-perasaan yang saling berbenturan, yang dirasakan dan ditemukan di
dalam hati secara tidak terduga dan tiba-tiba tidak tunduk pada suatu aturan,
maka disebut syathahat. Singkatnya, takwil adalah mentransformasikan
ungkapan dari yang dzahir menuju pada yang batin dengan berpijak pada isyarat
batin ke dzahir melalui ungkapan. Artinya syathahat merupakan kalimat
yang diterjemahkan oleh lisan mengenai perasaan (al-wajd) yang melimpah
dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan seorang sufi bahwa dirinya telah
menyatu dengan Tuhan.[54]
Dalam kondisi seperti ini seorang sufi bisa menukar
menggantikan dhamir (kata ganti), baik itu ana, anta dan huwa,
mereka sering menyebut Allah dengan kata ganti pertama tunggal (ana),
sebagaimana dialami oleh Abu Yazid al-Bustamy (261 H) dengan ungkapan “maha
suci aku”, dan al-Hallaj (309 H) dengan ungkapannya “saya adalah Tuhan yang
maha benar”. Syathahat memang kurang menghormati kaidah-kaidah rasional
dan tidak terikat oleh akidah sebagaimana ditetapkan dzahir, teks dan syariat.
Itulah sebabnya di kalangan para studi tasawuf menyebutkan sebagai tasawuf
heterodoks, sebagai lawan dari tasawuf ortodoks, yang membatasi dirinya dengan
tradisi syariat yang sering disebut tasawuf sunni. Bagi kaum ortodoks syathahat
harus ditakwilkan. Takwil disini berarti mengembalikan batin ke dzahir atau
mengembalikan haqiqat ke syariat.[55]
Perlu ditambahkan, bahwa pengertuan haqiqat disini
bukan sebagai suatu yang umum dan universal (kully) tetapi sebagai
sesuatu yang subjektif dan situasional spesifik bagi seorang sufi tertentu.
Dengan demikian ‘haqiqat’ yang ada dalam tafsir syar’i merupakan takwil batini,
sedang syathahat adalah ide dan pikiran (khatir) yang terbesit
dalam jiwa ‘berkesesuaian’ dengan hati dan teks (nash) ataupun keadaan
psikologis (al-halah al-wijdaniyah) tertentu. Syathahat juga
dapat dipahami sebagai ungkapan atas pengertian intuitif seorang arif (dalam
wilayah kognitif yang mendalam) yang dibahasakan dengan ungkapan aneh dan
terkesan sangat dipaksakan untuk keluar, tidak tunduk pada ketentuan apapun.
Ketika mutashif sampai pada penghayatan mendalam dan penyatuan dengan
Tuhan, ia meninggalkan dunia dan mengalami pengalaman intuitif yang sangat
dalam, sehingga ungkapannya tidak teratur.[56]
Demikianlah, konsep dualisme dzahir dan batin dalan
memahami teks tidak memiliki dimensi kemanusiaan. Bagi irfaniyun, baik makna
yang dzahir maupun makna yang batin sama-sama berasal dari Tuhan. Yang dzahir
adalah turunnya (tanzil) kitab dari Tuhan melalui para Nabi-Nya, sedang
yang batin adalah turunnya pemahaman (al-fahm) dari Tuhan lewat kalbu
sebagian kaum mukminin, dalam hal ini kaum irfaniyun. Allah menciptakan segala
sesuatu terdiri dari dzahir dan batin, termasuk menciptakan al-Qur’an. Yang
dzahir adalah bentuk yang dapat diindra
(al-shurah al-hissiyah), sementara yang batin sesuatu yang
bersifat ruhiyah. Dengan demikian firman Tuhan secara batin sama dengan hukum
yang bersifat ketuhanan, yang hadir dalam bentuk teks yang dapat diindra inilah
yang oleh Ibn Arabi disebut sebagai i’tibar al-batin.[57]
3.
I’tibar Irfani
Epistemologi bayani menggunakan teks-teks agama
sebagai sumber, sebagaimana fuqaha melakukan istinbath hukum, dalam
epistemologi irfani, kaum sufi maupun Syi’i melakukan hal yang sama. Dari
mereka, khazanah tafsir al-Qur’an mengenal istilah tafsir isyariy. Karenanya
ada yang berpandangan, bahwa isyarat sufistik baik berupa tafsir maupun syathahat
pada hakekatnya merupakan produk dari al-Qur’an. Al-Jabiri mengatakan qiyas
irfan tidak memperhatikan jami’ dan aturan rasional, tetapi
kecenderungan hati; bukan didasarkan pada adanya keserupaan hubungan.[58]
4.
Konsep Wilayah dan Nubuwah
Bila dalam epistemologi bayani terdapat pasangan
asal (al-asl) dan cabang (furu’), dalam irfani terdapat pasangan
wilayah dan nubuwah. Analogi ini bukan analogi yang dapat menyeret para
pendukungnya pada muthabaqat, kesamaan, tetapi analogi yang melampaui
analisa biasa. Hal ini berbeda dengan epistemologi bayani yang menempatkannya
dalam kerangka pikir yang berangkat dari kata ke makna, dalam irfani justru
dari makna ke kata, (dari furu’ ke al-asl; dari batin ke dzahir).[59]
C.
Epistemologi
Burhānīy
Dalam bahasa
Arab al-burhan bersumber dari kata tsulatsiy ((بَرِهَ-
يَبْرَهُ yang berarti kembali sembuh setelah adanya perubahan dari
sakit, kemudian mendapat tambahan hamzah (أَبْرَهَ)
yang berarti datang
dengan membawa bukti atau petunjuk. Bentuk masdarnya (برهان)
berarti bukti atau petunjuk, bukti yang pasti dan penjelas. Bahasa latinnya
berarti demonstratio yang berarti al-isyarah (isyarat/tanda), al-wash
(sifat), al-bayan (penjelasan), al-idzhar (menampakkan). Maka bisa diartikan secara umum bahwa burhānīy adalah pembuktian
untuk pembenaran atas suatu hal. Pendekatan ini, jika dilihat dari triple pendekatan
studi Islam menurut Mukti Ali, yakni naqli, ‘aqli dan kasyf, maka
pendekatan burhānīy termasuk
dalam pendekatan ‘aqli, sedangkan Amin Abdullah mengelompokkan
pendekatan tersebut ke dalam kajian historisitas.[60]
Berbicara masalah penggunaan akal/rasio
untuk memahami studi Islam merupakan hal yang harus dilakukan, meskipun dari
abad akhir klasik sampai awal abad pertengahan, penggunaan rasional filosofis
telah ramai diperdebatkan oleh dua tokoh utama Imam Ghazali dan Ibnu Rusyd.
Terjadinya perdebatan yang sangat sengit itu disalah persepsikan oleh para ahli
pemikiran Islam selanjutnya. Sebenarnya dari keduanya terdapat kesepahaman
bahwa filsafat tetap ada yakni dari hasil deduksi dari apa yang disebut hikmah.
Keduanya juga sepakat bahwa penggunaan akal hanya sebagai satu-satunya cara
untuk membuktikan adanya Tuhan adalah tidak dibenarkan.[61]
Demonstrasi sebagai sebuah aktivitas
kognitif merupakan inferensi rasional yaitu penggalian premis-premis yang
menghasilkan kesimpulan yang bernilai. Sebagai lapangan kognitif, demonstrasi
ini adalah dunia pengetahuan filsafat dan sains yang diderivasikan dari gerakan
transliterasi buku-buku asing, khususnya karya Aristoteles ke dalam peradaban
Arab. Oleh karena penerjemahan buku-buku itu dilatarbelakangi oleh kepentingan
politik untuk mendukung akal retoris melawan serbuan trend akal gnostis,
maka tidak heran kalau dalam prakteknya latarbelakang ini mempunyai pengaruh
yang dominan. Terjadilah hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam tataran
pemikiran teologi/filsafat.[62]
Analisis akulturasi trend ini ke
dalam peradaban Arab menurut perspektif epistemologinya, terbagi dalam dua
poros: Pertama, dalam kaitannya dengan matodologi yaitu dengan menggunakan
pendekatan pasangan epistemologisnya (al-lafdz/al-ma’na) yang sejajar
dengan pasangan pertama dalam trend akal retoris. Kedua, berkaitan
secara khusus dengan pola pandang, yaitu dengan menggunakan pasangan
epistemologis al-ashl/al-far’ dan pasangan al-jauhar/al-‘ardh
dalam trend akal retoris.[63]
Epistemologi burhānīy bersumber
pada realitas, baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan.
Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhānīy disebut ilmu al-husuli, yakni ilmu yang
dikonsep, disusun dan disistemasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq
dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan lewat otoritas
intuisi. Dengan pemahaman premis-premis logika keilmuan yang tersusun melalui
kerjasama antara proses abstraksi dan pengamatan indra yang benar atau dengan
menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indra seperti
alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer yang
mendalam. Peran akal pikiran sangat menentukan disini, karena fungsinya selalu
diarahkan untuk mencari sebab-akibat. Hal ini bertujuan mencari sebab-akibat
yang terjadi pada peristiwa-peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan,
akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan. Untuk lebih memahami
realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keIslaman, menjadi lebih memadai
apabila digunakan pendekatan-pendekatan seperti sosiologi, antropologi,
kebudayaan dan sejarah.[64]
Tolok ukur validitas
keilmuan nalar burhānīy yang
ditekankan adalah korespondensi (al-muthabaqah baina al-‘aql wa nizam
al-thabi’ah) yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal
manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek
koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis) dan upaya yang terus
menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan,
rumus-rumus dari teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah
akal manusia (pragmatik).[65]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Muhammad
‘Abid al-Jabiri salah seorang pemikir kontemporer Islam telah berupaya menyusun
konstruksi epistemologi studi keislaman kepada epistemologi bayani, burhani dan
irfani.
Dalam bayānīy,
rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada
teks. Epistemologi bayānīy pada dasarnya telah digunakan oleh
para fuqohā (pakar fiqih), mutakallimūn (theolog) dan ushulliyūn
(pakar ushul al-fiqh untuk memahami teks guna menemukan makna yang
dikandung dalam lafadz, serta untuk pengkajian hukum-hukum dari al-Qur’an dan
hadis. Dengan demikian, teks sucilah yang menentukan arah kebenaran
Irfan pengetahuan yang diperoleh dengan olah ruhani
dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. Sedangkan epistemologi
burhānīy bersumber
pada realitas, baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan.
B.
Kata Penutup
Puji syukur
kepada Allah atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari tentunya masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat berkontribusi
bagi pembaca.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, Islamic Studies di
Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Andrigo
Wibowo, “Epistemologi Hukum Islam: Bayani, Irfani dan Burhani”, Makalah Mata
Kuliah Ushul Fiqh, Magister Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/4363/Ushul%20Fiqh%201.pdf?sequence=1&isAllowed=y,
Ardi Widodo, Sembodo,
“Nalar Bayani, Irfani dan Burhani”, Jurnal Hermenia Kajian Islam
Interdisipliner, http://digilib.uin-suka.ac.id/8511/1/SEMBODOARDI%20WIDODO%20NALARRAYANI%2C%20%27IRFANI%2C%20DAN%20BURHANIDAN, dalam Google.com
. 2007.
Endraswara, Suwardi,
Filsafat Ilmu (Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah), Yogyakarta:
CAPS Center of Academic Publishing Service, 2017.
Hasan Ridwan, Ahmad
dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam, Bandung: Pustaka
Setia, 2011.
Musliadi,
“Epistemologi Keilmuan dalam Islam: Kajian terhadap Pemikiran M. Amin
Abdullah”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=312502&val=7463&title=EPISTEMOLOGI%20KEILMUAN%20DALAM%20ISLAM:%20KAJIAN%20TERHADAP%20PEMIKIRAN%20M.%20AMIN%20ABDULLAH, Google.com . 2014.
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2016.
Syukur, Suparman,
Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan
Pemahaman Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Zulpa Makiah, Zulpa, “Epistemologi
Bayani, Burhani dan Irfani dalam Memperoleh Pengetahuan tentang Mashlahah”,
Jurnal Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari, https://media.neliti.com/media/publications/30030-ID-epistemologi-bayani-burhani-dan-irfani-dalam
memperoleh-pengetahuan-tentang-mash.pdf,
dalam Google.com.
[1] Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu (Konsep,
Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah), (Yogyakarta: CAPS Center of
Academic Publishing Service, 2017), hal. 110.
[2]Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif
Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hal.
125.
[3] Musliadi,
“Epistemologi Keilmuan dalam Islam: Kajian terhadap Pemikiran M. Amin
Abdullah”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. XIII, No. 2, (Februari 2014), http://download.portalgaruda.org/article.php?article=312502&val=7463&title=EPISTEMOLOGI%20KEILMUAN%20DALAM%20ISLAM:%20KAJIAN%20TERHADAP%20PEMIKIRAN%20M.%20AMIN%20ABDULLAH diakses pada tanggal 18 Maret 2018
pukul 19:19 WIB, hal. 27.
[4] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar
Epistemologi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 332.
[12]Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif
Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual...,
hal. 126.
[14] Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif
Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual...,
hal. 126.
[19]Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif
Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual...,
hal. 126.
[21]Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif
Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual...,
hal. 126.
[22]
Andrigo Wibowo, “Epistemologi
Hukum Islam: Bayani, Irfani dan Burhani”, (Makalah Mata Kuliah Ushul Fiqh, Magister
Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam
Indonesia,Yogyakarta),https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/4363/Ushul%20Fiqh%201.pdf?sequence=1&isAllowed=y, diakses pada tanggal 18 Maret
2018 pukul 18:40 WIB, hal. 5.
[40] Sembodo Ardi Widodo, “Nalar Bayani, Irfani
dan Burhani”, Jurnal Hermenia Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 6 No. 1
(Januari- Juni 2007), http://digilib.uin-suka.ac.id/8511/1/SEMBODOARDI%20WIDODO%20NALARRAYANI%2C%20%27IRFANI%2C%20DAN%20BURHANIDAN, diakses pada tanggal 18 maret 2018 pukul
18:34 WIB, hal. 73.
[43]
Zulpa Makiah, “Epistemologi Bayani,
Burhani dan Irfani dalam Memperoleh Pengetahuan tentang Mashlahah”, Jurnal
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari, https://media.neliti.com/media/publications/30030-ID-epistemologi-bayani-burhani-dan-irfani-dalam
memperoleh-pengetahuan-tentang-mash.pdf,
diakes pada
tanggal 18 Maret 2018 pukul 08:34 WIB, hal.13.
[44]Andrigo Wibowo, “Epistemologi Hukum
Islam: Bayani, Irfani dan Burhani”, (Makalah Mata Kuliah Ushul Fiqh, Magister
Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam
Indonesia,Yogyakarta),https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/4363/Ushul%20Fiqh%201.pdf?sequence=1&isAllowed=y, diakses pada tanggal 18 Maret
2018 pukul 18:40 WIB, hal. 5.
[46] Amin Abdulloh, Islamic Studies di
Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), hal. 211-212.
[60] Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif
Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual...,
hal. 283.
[61] Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif
Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual...,
hal. 284.
[64]Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif
Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual... ,hal. 285.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar