Selasa, 24 Juli 2018

Makalah Filsafat Ilmu: Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani


MEMAHAMI JENIS-JENIS PENALARAN
DI DUNIA ISLAM: BAYĀNĪY, IRFĀNĪY & BURHĀNĪY
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
 “Filsafat Ilmu: Topik-Topik Epistemologi”
Dosen Pengampu : Dr. Usman, SS., M.A



http://fairuzelsaid.files.wordpress.com/2010/08/logo-uin-suka-baru-warna.jpg



Disusun oleh:
Dini Fauziyati             ( 17204010156 )

Kelas: I A
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018




BAB II
MEMAHAMI JENIS-JENIS PENALARAN
DI DUNIA ISLAM: BAYĀNĪY, IRFĀNĪY & BURHĀNĪY
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi dapat diartikan cabang ilmu filsfat yang membicarakan tentang teori ilmu pengetahuan. Cabang ini berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana ada itu berada.[1] Epistemologi adalah sebuah cabang filsafat yang mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan, asal dan kaidah. Oleh pemikir Islam kontemporer ‘Abid al-Jabiri teori ini dijabarkan dengan menawarkan bentuk epistemologi yang bercirikan Islam.[2] Muhammad ‘Abid al-Jabiri salah seorang pemikir kontemporer Islam telah berupaya menyusun konstruksi epistemologi studi keislaman kepada epistemologi bayani, burhani dan irfani.[3]
Setiap agama yang integral memiliki dimensi intelektual yang terdiri atas teologi, gnosis dan filsafat. Islam merupakan agama yang telah mengembangkan kehidupan keagamaan secara akrab dengan ketiga aktivitas intelektual yang dimiliki sebagai suatu tradisi milenial. Aktivitas intelektual Islam ini diklarifikasikan oleh Al-Jabiri secara cerdas pada tiga kelompok istilah tipikal, yaitu epistemologi Bayani, ‘Irfani dan Burhani.[4]
Al-Jabiri terkenal sebagai tokoh filsuf pengemban semangat Averroisme dan ahli Hermetisme, lahir pada tahun 1936 di Maroko. Al-Jabiri berhasil menamatkan kuliahnya ke tingkat doktor di Fakultas Adab Universitas Muhammad V Rabath pada tahun 1970.[5]
Al-Jabiri sangat mengagungkan akal sehingga ia gelisah pada fenomena sikap dan nalar Arab yang mengarah pada kecenderungan irasionalisme. Kegelisahan Al-Jabiri diawali dengan melemahnya rasionalisme dan demokrasi yang kemudian tidak dihargai oleh bangsa Arab. Sementara kultur irasionalisme pada pihak lain semakin menyebar dan menguat yang mampu menjegal gerakan rasionalisme. Menurutnya, bangsa Arab kebanyakan tidak mengakui kemampuan akal manusia, apalagi percaya pada proyek-proyek rasional dan pencarian ilmiah. Mereka lebih percaya pada produk-produk irasional dan tradisi. Seperti yang ditunjukkan dalam gerakan masif sebagian bangsa Arab yang kembali pada romantisme tradisi masa lalu (turats), berpihak kepada tokoh-tokoh yang ada di dalamnya secara emosional, seraya mencari unsur-unsur kejayaan dan kegemilangan seakan-akan dalam kesadaran mereka, kekalahan masa kini bisa terobati dan tertutupi oleh keagungan masa lalu.[6]
Al-Jabiri mengkritik praktik dan kegemaran membangkitkan warisan spiritual Timur, seperti tradisi tasawuf atau pemikiran filsuf Islam yang berorientasi pada spiritualisme. Selain itu, muncul gerakan Islamis yang berorientasi salafi sebagai counter terhadap kegagalan penguasa Arab dalam membela kepentingan bangsa Arab menghadapi musuh bersama. Dengan tradisi pemikiran Prancis yang lebih maju, yaitu tradisi post-strukturalisme dan post-modernis, Al-Jabiri berupaya mengkritik nalar Arab yang telah mendominasi penganutnya secara tidak sadar dengan cara merekontruksi. Bagi Al-Jabiri, perubahan struktur nalar dengan menggantinya dengan nalar lain, tidak akan tercapai tanpa adanya sebuah praksis, yaitu “praksis rasionalisme” dalam persoalan pemikiran dan kehidupan terutama praksis, rasionalisme kritis yang ditujukan terhadap tradisi yang mewarisi segenap otoritas berpikir dalam bentuk bangunan yang tidak sadar, yaitu otoritas teks, otoritas masa lalu dan otoritas qiyas. Al-Jabiri terinspirasi oleh semangat kritisisme Ibn Hazm dan Asy-Syathibi serta rasionalisme Ibn Rusyd, yang merupakan dasar untuk membangun tradisi rasionalisme. Dengan semangat rasionalisme, Al-Jabiri kemudian membangun proyek kritiknya.[7]
Al-Jabiri seorang pemikir Maroko merasakan pentingnya epistemologi dalam upaya mengangkat kembali posisi umat dalam kehidupan modern. Menurutnya, bangsa Arab Islam tidak akan bisa maju untuk mampu bersaing dengan bangsa-bangsa Barat jika tidak mempunyai epistemologi berpikir benar dan disinilah kelemahannya. Selama ini, pemikiran Arab hanya berkutat upaya mengulang, meringkas dan mensyarah hasil kajian-kajian ulama klasik sehingga terjebak pada persoalan ideologi dan bukan pemikiran. Padahal, khazanah intelektual Islam klasik tersebut sebenarnya bisa dijadikan modal yang sangat besar bagi kebangkitan Arab, jika digali dan direkonstruksi dengan metode yang tepat.[8]
Al-Jabiri menuangkan semua gagasannya tentang epistemologi dalam upaya rekonstruksi khazanah intelektual Islam klasik dalam karyanya Naqd Al-‘Aql Al-‘Arab (Kritik Pemikiran Arab). Karya ini terdiri atas tiga buku, yaitu Takwin Al-‘Aql Al-‘Arabu (Formasi Pemikiran Arab), Bunyah Al-Aql Al-‘Arabi (Struktur Pemikiran Arab) dan Al-Aql As-Siyasi Al-‘Arabi (Pemikiran Politik Arab).[9]
Menurut Al-Jabiri, sistem pengetahuan ekspalanatoris ditopang oleh para ahli bahasa-struktur-balaghah Arab, ushul fiqh dan mutakallimun. Sementara sistem pengetahuan gnosis ditopang oleh para pengikut tasawuf, filsafat iluminatif dan ilmu-ilmu kebatinan (‘ulum as-sirriyah). Adapun sistem pengetahuan demonstratif ditopang oleh para ahli logika dan filsafat. Ketiga sistem ini mempunyai ciri epistemologi yang berbeda, bahkan dapat bertentangan antara satu dan lainnya.[10]
Epistemologi di atas dibedakan berdasarkan segi otoritas penentuan kebenaran. Dalam epistemologi bayani, otoritas kebenarannya ada pada nash. Termasuk dalam kategori pola pikir bayani adalah rumpun keilmuan bahasa Arab, ushul fiqh dan kalam. Titik temu antar berbagai rumpun keilmuan tersebut terletak pada hubungan antara teks dan pemaknaan teks sebagai ciri esensial. Epistemologi irfani otoritas kebenarannya ada pada intuisi (kasyf), sedangkan epistemologi burhani sebagai epistemologi berbeda secara menonjol dari kedua epistemologi tersebut, yaitu penentuan otoritasnya pada akal an sich.[11]
Secara metodologis ketiga struktur epistemologi tersebut jelas dapat dibedakan. Bayānīy misalnya sangat terkait dan terikat dengan teks, irfānīy bersifat intuitif dan lebih mengutamakan tanggapan rasa, sementara burhānīy menggunakan pendekatan demonstratif, namun dalam perjalanan sejarah, ketiga struktur epistemologi tersebut bersinggungan dan saling mempengaruhi pemikiran Arab-Islam. Ada yang mencoba menggabungkan antara tradisi bayānīy-irfānīy, bayānīy- burhānīy dan burhānīy- irfānīy. Akan tetapi, tradisi bayānīy-lah yang lebih mendominasi wacana pemikiran di dunia Arab sampai saat ini. Hal ini terlihat bahwa tradisi pemikiran Arab-Islam masih didominasi otoritas teks dan ashl. Dimana, otoritas teks secara ontologis-aksiologis menjadi sesuatu yang taken for granted.[12]
Setiap agama yang integral memiliki dimensi intelektual yang terdiri atas teologi, gnosis dan filsafat. Islam merupakan agama yang telah mengembangkan kehidupan keagamaan secara akrab dengan ketiga aktivitas intelektual yang dimiliki sebagai suatu tradisi milenial. Aktivitas intelektual Islam ini diklasifikasikan oleh Al-Jabiri secara cerdas pada tiga kelompok istilah tipikal, yaitu epistemologi bayani, irfani dan burhani.[13]

A.    Epistemologi Bayānīy 
Kata bayānīy berasal dari bahasa Arab secara harfiah berarti sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Bayānīy adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash) secara langsung atau tidak langsung yang dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal).[14]
Berdasarkan kajian epistemolog, dikutip oleh Ahmad Hasan Ridwan menjelaskan dengan mengacu pada kamus Lisan Al-Arabi karya Ibn Manzur, Al-Jabiri menyimpulkan bahwa term al-bayan mengandung empat pengertian, yaitu pemisahan, keterpisahan, jelas dan penjelasan. Keempat pengertian tersebut dapat diklarifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu al-bayan sebagai metodologi, yang berarti pemisahan dan penjelasan; dan al-bayan sebagai pandangan dunia, yang berarti keterpisahan dan jelas. Akan tetapi, pada wilayah konotasi teoritis konseptual, al bayan sebagai sistem epistemologi mencakup tiga pasangan konsep dasar, yaitu lafal-makna, asl-far dan substansi-aksidensi. Konsep pertama dan kedua mencakup aspek metodologis, sedangkan konsep ketiga mencakup aspek pandangan dunia.[15]
Menurut Mohammad Muslih, Al-Jabiri memaknai al-bayan secara etimologis, dengan mengacu kepada kamus Lisan al-Arab karya Ibn Mandzur, yang di dalamnya tersedia materi-materi bahasa Arab sejak permulaan masa tadwin, yang masih pengertian lain, karena dari makna asli yang belum tercampuri oleh pengertian lain, karena dari makna asli tersebut akan diketahui watak dan situasi yang mengitarinya. Makna al-bayan di sini mengandung empat pengertian, yakni al-fasl wa al-infishal dan al-dzuhur wa idzhar, atau bila harus disusun secara hirarkis atas dasar pemilihan antara metode (manhaj) dan visi (ru’yah) dalam epistemologi bayani, dapat disebutkan bahwa al-bayan sebagai metode berarti al-fasl wa al-infishal, semantara al-bayan sebagai visi berarti al-dzuhur wa idzhar.[16]
Sedangkan secara terminologis kajian bayani terbagi kepada dua, yaitu: aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin al-tafsir al-khithabi) dan syarat-syarat memproduksi wacana (syurut intaj al-khithabi). Penetapan makna bayan secara ilmiah (istilah) ini sekaligus menandai tahapan baru, yaitu tidak saja dipahami sebagai sekedar penjelasan (al-wudhuh/al-idzhar), tetapi lebih dari itu, sebagai suatu epistemologi keilmuan yang “difinitif”. Walaupun sebenarnya aktivitas bayani telah ada sejak masa Islam awal, namun baru merupakan upaya penyebaran upaya ilmiah, dalam arti identifikasi keilmuan dan peletakan aturan penafsiran tek-teksnya.[17]
Bayani sebagai pandangan dunia pada awalnya berlandaskan pada gambaran Al-Qur’an tentang hubungan antara Allah, alam dan manusia. Menurut Al-Qur’an, hubungan Tuhan, manusia dan alam adalah hubungan yang terpisah; dalam arti bahwa antara Tuhan-manusia-alam tidak ada media perantara. Jadi, pada awalnya dia murni merupakan pandangan agama. Akan tetapi, ketika para ahli bayani terutama para ahli kalam berhadapan dengan musuh mereka para pemeluk agama terdahulu, seperti penganut Manu, pandangan tersebut mengalami pergeseran dari daratan epistemologis ke metafisis. Pergeseran tersebut memperoleh bentuk yang semakin nyata, sekaligus membuat pandangan dunia bayani menjadi semakin komleks setelah Abu Al-Khudzay Al-‘Allaf mengembangkan teori atomisme sebagai landasan konseptual dalam menganalisis persoalan-persoalan teologi. Teori atomisme kemudian berkembang menjadi basis pandangan dunia bayani. Pengembangan teori atomisme sebagai landasan fundamental pandangan bayani bertolak dari tiga postulat utama, yaitu tak ada wujud tanpa substansi dan aksidensi, substansi tak terpisah dari aksidensi dan aksidensi selalu berubah.[18]
Secara langsung dapat dipahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus berdasarkan teks. Dalam bayānīy, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayānīy adalah aspek eksoteris (syariat).[19]
Dengan berpijak pada prostulat dasar tersebut, Al-Jabiri mencoba menemukan prinsip-prinsip dasar yang melandasi pandangan dunia bayani dengan menganalisis dua isu utama yang diduga menjadi muara, sekaligus sumber persoalan metodologis dari sistem epistemologi bayani, yaitu: (1) pandangan bayani tentang hubungan antar realitas; dan (2) pandangan bayani tentang hubungan subjek yang mengetahui (akal) dan objek yang diketahui (realitas).[20]
Dengan demikian, epistemologi bayānīy pada dasarnya telah digunakan oleh para fuqohā (pakar fiqih), mutakallimūn (theolog) dan ushulliyūn (pakar ushul al-fiqh untuk memahami teks guna menemukan makna yang dikandung dalam lafadz, serta untuk pengkajian hukum-hukum dari al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, teks sucilah yang menentukan arah kebenaran.[21]
Menurut Abid Al- jabiri, nalar bayani terdapat dalam kajian ilmu kebahasaan, nahwu, fiqih (yurisprudensi Islam), teologi (ilmu kalam) dan ilmu balaghah. nalar bayai bekerja menggunakan mekanisme yang sama berangkat dari dikotomi antara lafadz/al-makna, al- ash/al-far’ dan al-jauhar/al-ardl. Dikalangan ahli bahasa (al-lughawiyyun) misalnya, mereka dalam melacak kosa kata (bahasa Arab) dan mengumpulkannya kedalam sebuah kamus, pertama-tama menghimpun kosa kata Arab dan memilah-milahnya antara makna kosa kata yang dipakai (al-musta’mal) dan makna kosa kata yang tidak dipakai (al-muhmal). Ini berarti bahwa kalangan lughawiyun telah menjadikan lafadz (kata) sebagai hipotesa teoritis untuk menilai kemungkinan dipakai tidaknya sebuah kosa kata. Kosa kata yang maknanya masih dipakai dijadikan sebagai ‘patokan’ atau asal (al-asl). Jika ditemukan kosa kata yang maknanya tidak dipakai maka harus dikembalikan kepada bahasa masyarakat Arab melalui apa yang dikenal dengan sima’iy. Setidaknya, cara seperti inilah yang pernah dilakukan oleh seorang ahli bahasa Arab semisal Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi.[22]
1.      Perspektif Bayani tentang Relasi antar Realitas
Hubungan antara segala sesuatu membawa konsekuensi pada problem kausalitas. Unsur pokok dari persoalan kausalitas berkaitan dengan persoalan konsep ruang dan waktu. Konsep ruang dalam pandangan bayani bersifat konkret. Ruang selamanya dipahami tidak terpisah dari sesuatu yang menempatinya. Para ahli bayani menolak asumsi ruang yang bersifat filosofis bahwa ruang adalah sesuatu yang menggelilingi yang lain dari segala sisinya. Penolakan ini berdasarkan argumentasi bahwa ahli bahasa tidak mensikapi topi yang mengelilingi kepala sebagai tempat kepala dan tidak mensikapi baju sebagai tempat tubuh.[23]
Konsep waktu, seperti halnya konsep ruang, selalu dikaitkan dengan kejadian tertentu. Konsep absolut waktu yang tidak berawal dan berakhir mutlak tidak pernah ada dalam pandangan dunia bayani. Konsep waktu selalu berarti waktu tertentu: musim panas, musim buah, tahun gajah, zaman Mu’awiyah dan seterusnya. Tegasnya, waktu bersifat diskontinuitas sesuai dengan diskontinuitas kejadian. Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa gambaran konsep ruang dan waktu dalam pandangan dunia bayani bersifat atomistik atau dengan kata lain, berlandaskan sepenuhnya pada prinsip diskontinuitas.[24]
Gambaran konsep ruang dan waktu yang bersifat atomistik mengantarkan pada persoalan kausalitas. Menurut teori atomisme, atom-atom (Al-Jauhar Al-Fard) seluruhnya sama dari segi sisi hingga tidak mungkin sebagian atom memengaruhi pada dua hal yang berbeda, yaitu yang memengaruhi harus lebih kuat atau dominasinya lebih banyak dari pada dipengaruhi. Pandangan ini tidak berlaku bagi atom-atom sebab menurut teori atomisme, atom-atom tersebut sama dan serupa; dan saling mendominasi. Ini jika dilihat dari satu sisi. Di sisi lain, atom-atom yang secara bersama-sama membentuk benda, masing-masing tetap terpisah dan independen. Hal ini karena kumpulan atom bukan bersifat saling bersenyawa, melainkan hanya bersinggungan.[25]
Uraian ini membawa konsekuensi, tidak adanya tempat bagi kausalitas karena pengaruh kausalitas merupakan penggambaran yang bersifat azali yang meniscayakan bentuk relasi yang bersifat kontinu dan saling bersenyawa dan terjadinya perubahan dalam proses keterpengaruhan. Sementara, konsep atom dalam pandangan dunia bayani tidak saling bersenyawa dan tidak mengalami perubahan, tetapi tetap sama selama masih ada. Perubahan hanya terjadi pada aksidensi.[26]
Apakah terdapat tempat bagi kausalitas pada aksidensi? Sebetulnya, aksidensi selalu berubah. Ia disebut aksidensi karena ia berubah. Salah satu postulat dasar dari teori atomisme adalah aksidensi tidak pernah tetap dalam dua waktu. Hanya, perubahan aksidensi dalam pengertian muncul dan lenyapnya menurut pandangan ahli bayani, tidak terjadi sebagai akibat dari pengaruh alam. Ahli bayani menolak pemikiran tentang nature dan pengaruh dari “nature”, demi menegaskan bahwa hanya Allah pelaku dari segala sesuatu dan Dia senantiasa membuat penciptaan secara terus-menerus. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa ketika Tuhan menciptakan suatu substansi, pada waktu yang sama Tuhan juga menciptakan segala aksidensi yang dikehendaknya. Karena aksidensi tidak pernah tetap dalam dua waktu, setiap aksidensi yang diciptakan Tuhan bagi suatu substansi akan hilang dan fana pada keadaan wujudnya yang kedua, yaitu pada saat kedua bagi waktu adanya substansi. Pada saat tersebut, Tuhan akan menciptakan aksidensi yang ketiga sebagai ganti bagi aksidensi yang lenyap. Demikianlah, penciptaan terus berlanjut selama Tuhan berkehendak untuk memberikan aksidensi pada substansi tersebut.[27]
Apabila Tuhan menghendaki penciptaan aksidensi lain bagi substansi sebagai ganti dari aksidensi yang pertama (umpamanya putih menggantikan hitam), Dia akan menciptakannya, Tidak mungkin Tuhan berhenti dalam menciptakan aksidensi bagi substansi tersebut karena substansi tanpa aksidensi secara tidak langsung hilang dengan sendirinya sesuai dengan postulat bahwa substansi tidak akan terpisahkan dari aksidensi.[28]
Jelas bahwa pendapat tentang penciptaan secara kontinu, seperti yang dijelaskan di atas, secara total menghapus konsep kausalitas. Bahkan, para ahli kalam, khususnya Asy’ariyah, menegaskan tentang adanya internalisasi berkelanjutan dari kehendak Tuhan pada tahapan penciptaan aksidensi (pada gilirannya juga penciptaan substansi dan segala sesuatu di dunia) untuk menutup pintu bagi pemikiran naturalisme, sebagaimana pemikiran filsafat lama menggunakan pandangan naluralisme untuk menjelaskan pengaruh kausalitas dan keniscayaan terhadap ilmu modern.[29]
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa dalam pandangan dunia bayani, segala sesuatu bersifat atomis dan saling terpisah. Pandangan atomistik ini berimplikasi pada segala aspek, termasuk persoalan metodologi pemikiran. Salah satu bentuk implikasi metodologis dari teori ini adalah kelamahan model qiyas dalam sebagian besar tradisi keilmuan bayani yang hubungan antara dua terma tidak mewakili yang berkaitan sehingga tidak menghasilkan konklusi yang niscaya, tetapi konklusi yang cenderung bersifat kemungkinan. Hal ini disebabkan kedudukan Ilahi lebih berfungsi sebagai muqarabah. Ini berbeda dengan kedudukan terma tengah dalam penalaran silogisme yang berpijak pada prinsip identitas.[30]
Teori atomistik didorong oleh keinginan untuk menegaskan pandangan tentang penciptaan yang berkelanjutan. Para ahli bayani menegaskan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu tanpa perantara, dengan konsekuensi, penolakan terhadap relasi kausalitas dan sebaliknya penegasan terhadap prinsip diskontinuitas dalam segala sesuatu.[31]
Dalam perkembangannya, epistemologi ini mengalami perkembangan yang signifikan, terutama atas prakarsa al-Syatibi, seorang tokoh utama madzhab Maliki yang lahir di Kordova, Spanyol yang berusaha memperbaharui epistemologi bayani. Bagi al-Syatibi, untuk menghasilkan kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional, epistemologi bayani, tidak cukup hanya dengan memperhatikan kaidah-kaidah bahasa dan proses transmisinya namun juga harus berpijak pada ‘dalil-dalil’ burhani. Al-Syatibi menawarkan tiga teori utama, yaitu al-istintaj (qiyas jama’i atau silogisme), istiqra’ (induksi) dan maqasid syari’ah. Untuk lebih jauh memahami aspek metodologi epistemologi bayani, menurut al-Jabiri ada hal-hal yang harus diperhatikan, dalam hal ini unsur-unsur yang mengkonstruk sistem pengetahuan bayani, yaitu pasangan lafadz makna; al-ashl- al-far’; dan al-khabar- al-qiyas.[32]
2.      Aspek Metodologi
Seperti telah diuraikan di atas bahwa bayani menjadikan teks sebagai rujukan pokok dan oleh karenanya teks juga merupakan sumber bagi pengetahuan bayani. Hal ini berarti, untuk mendapatkan pengetahuan, maka segala potensi akal manusia harus dikerahkan sebagai upaya pemahaman dan “pembenaran” terhadap rujukan utamanya, yaitu teks. Usaha keras ini disebut ijtihat dalam disiplin fiqih, khususnya ilmu ushul fiqh berwujud qiyas (analogi) dan istinbath (penetapan kesimpulan) dan dalam tradisi kalam (teologi Islam) qiyas seperti ini disebut istidlal (tuntutan mengemukakan alasan/thalab al-dalil). Istilah istidlal ini selain digunakan dalam bidang kalam, juga lekat dengan disiplin fiqih. Metode dalam kalam ini kemudian disebut istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib, sebagai argumen ontologis tentang masalah-masalah ketuhanan, yaitu penalaran yang berangkat dari yang nyata (dunia riil) untuk mengukuhkan yang ghaib (masalah-masalah ketuhanan). Ini juga berlaku dalam studi balaghah dan nahwu, seperti diungkap dalam salah satu pernyataan al-Jurjani: “al-tasybih qiyas”, bahwa bentuk perumaan merupakan qiyas juga.[33]
Qiyas merupakan upaya menetapkan keputusan dengan cara menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash (teks) dengan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash, disebabkan kesatuan illat (alasan atau motivasi hukum) antara keduanya. Batasan tersebut berangkat dari asumsi dasar yang kemudian bergerak menjadi sebuah prinsip, bahwa “segala peristiwa yang menimpa seorang penganut agama Allah, niscaya di dalam kitab Allah terdapat dalil sebagai jalan petunjuk.”[34]
Asumsi ini kemudian sangat kuat mewarnai kerangka bangun berpikir bayani, bahwa apapun yang terjadi dalam pengalaman hidup manusia di dunia ini, baik yang lampau, kini maupun yang akan datang, tak satupun yang terlepas dari rangkaian firman Tuhan yang ada dalam nash. Dengan prinsip ini maka orang yang berpendapat tanpa landasan nash yang pasti, atau tanpa melalui analogi terhadap nash dan atau hanya bersifat ‘subjektif’, maka ia disebut telah menetapkan hukum melalui hawa nafsu (al-hukm bi al-tasyahhi) dan karenanya ia lebih dekat dengan dosa.[35]
Metode yang dipakai dalam nalar bayani ini mendapatkan keselarasan jalannya dengan model argumen yang dipergunakan, yakni bersifat jadali, yang tidak lagi membutuhkan hal baru dalam pembuktian keilmuannya karena didukung oleh asumsi yang aksiomatik. Dari model argumen yang dialektis ini, maka wajar kalau kemudian digunakan untuk menunjukkan otoritas keilmuannya pada orang awam atau sering digunakan untuk mematahkan dan mengalahkan lawan dalam adu argumen.[36]
3.      Prinsip-Prinsip Dasar Nalar Bayani
Al-Jabiri mengungkapkan setidaknya ada tiga karakter utama yang menjadi prinsip pengetahuan bayani yang berakar dari tradisi Arab jahiliyah pra-Islam. Pertama, prinsip infishal (discontinue). Prinsip keterpisahan/ ketidaksinambungan ini memandang bahwa alam seisinya ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak berkaitan satu dengan yang lainnya. Pengaruhnya dalam pemikiran Islam nampak dalam memahami Tuhan dan ciptaan-Nya yang keduanya dipahami secara terpisah. Hal ini kemudian mengimbas pada bangunan ilmu dalam pemahaman alam pikiran Arab Islam, bahwa ada ilmu agama dan ada ilmu non agama. Dan dalam beberapa kasus kemudian lahir pemahaman, bahwa ilmu yang didasari oleh masing-masing tersebut melahirkan klaim; iman dan kafir.[37]
Kedua, prinsip al-tjwiz (keserbabolehan). Prinsip ini kurang memperhatikan atau bahkan mengingkari hukum sebab-akibat (causality). Kejadian lazim dan tidak lazim masing-masing dipahami secara sama dan tidak tertarik sama sekali mencari jawabannya mengapa sesuatu itu terjadi. Prinsip ini, barangkali yang kemudian diadosi oleh kalangan mutakallimin sebagai prinsip “bila kaifa” jika menghadapi kepelikan masalah ketuhanan. Hal inilah yang menyebabkan dalam alam pikiran bayani tidak dihasilkan ilmu-ilmu bersifat eksakta.[38]
Ketiga, prinsip muqarabah. Dalam rangka mengimbangi prinsip discontinue, tradisi Arab juga menerapkan tradisi penalaran yang didasarkan pada faktor kedekatan dan keserupaan. Dari sini kemudian lahir model pemikiran yang bersifat analogis-deduktif dan kurang memberi peluang pada pendekatan lain dalam membangun ilmu pengetahuan. Dalam disiplin ilmu ushul fiqh, prinsip ini dilestarikan oleh Imam al-Ayafi’ dengan metode qiyas, yang mempertahankan akal dengan suatu kasus yang baru (far’), karena adanya faktor kedekatan atau keserupaan pada keduanya. Menurut al-Syafi’i, inilah satu-satunya metode penalaran yang valid dalam menetapkan hukum Islam.[39]
SKETSA EPISTEMOLOGI BAYANI
STRUKTUR FUNDAMENTAL
EPISTEMOLOGI BAYANI
A.    Origin (Sumber)
Nash/Teks/Wahyu (Otoritas Teks) Al-Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-‘Ilm al-Taufiqi.
B.     Metode (Proses dan Prosedur)
 Ijtihadiyyah Istinbathiyyah/ istintajiyyah/istidlaliyyah/ qiyas Qiyas (Qiyas al-ghaib ‘ala al-syahid)
C.     Approach
Lughawiyyah (bahasa), Dalalah Lughawiyyah
D.    Theoritical Framework
Al-Ashl – al-far’ Istinbathiyyah (Pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks), Qiyas al-“Illah (Fikih), Qiyas al-Dalalah (Kalam), Al-Lafdz-al-Makna, ‘Am-khash, Mustarak, Haqiqah, Majaz, Muhkam, Mufassar, Zahir, Khazi, Musykil, Mujmal, Mutasyabih.
E.     Fungsi dan Peran Akal
Akal sehat pengekang/pengatur hawa nafsu (lihat Lisan al-‘Arab Ibn Mandzur), Justifikasi – Repetitif – Taqlidi (Pengukuh kebenaran / otoritas teks), al-‘Aql al-Diniy
F.      Types of Argument
Dealektik (Jadaliyyah); al-‘Uqul al-Mutanafisah Defensif- Apologetik-Polemik-Dogmatik Pengaruh pola Logika Stoic (bukan logika Aristoteles)
G.    Tolok Ukur Validitas Keilmuan
Keserupaan /kedekatan antara Teks (Nash) dengan realitas
H.    Prinsip-Prinsip Dasar
Infishal (discontinue) = Atomistik, Tajwiz (kesebabolehan = tidak ada hukum kausalitas Muqarabah (kedekatan, keserupaan), Analogi deduktif; Qiyas
I.       Kelompok Ilmu-Ilmu pendukung
Kalam (Teologi), Fikih (Jurisprodensi)/ Fuqaha; Ushuliyyun, Nahwu (Grammar); Balaghah
J.       Hubungan Subjek dan Objek
Subjective (Theistic atau Fideistic Subjectivism)

B.     Epistemologi Irfānīy
Al-‘Irfan dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘arafa dan ma’rifah satu makna dengan. Kata irfan muncul dari para sufi muslim yang menunjuk pada satu pengetahuan yang tinggi, tertanam dalam hati dalam bentuk dalam bentuk ilham. Ilham disini bukan pengertian “ilham” kenabian tapi merupakan intuisi seketika yang biasanya ditimbulkan oleh praktik-praktik ruhani. Ilham ini datang dari pusat wujud manusia yang berada di luar batas waktu atau dari “malaikat”. Dengan kata lain, ilham itu datang dari pancaran akal universal yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.[40]
Menurut Mohammad Muslih, irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa Arab merupakan bentuk dasar (masdar) dari kata ‘arafa, yang semakna dengan ma’rifat. Dalam bahasa Arab, istilah al-‘irfan berbeda dengan kata al-‘ilm. Al-‘ilm menunjukkan pemerolehan objek pengetahuan (al-ma’lumat) melalui transformasi (naql) ataupun rasionalitas (‘aql), sementara irfan atau ma’rifat berhubungan dengan pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek pengetahuan.[41]
Menurutnya sejarahnya, epistemologi ini telah ada baik di Persia maupun Yunani jauh sebelum datangnya teks-teks keagamaan, baik yahudi, kristen maupun Islam. Sementara dalam tradisi (sufisme) Islam, ia baru berkembang sekitar abad ke-3H /9 M dan abad 4 H/10 M, seiring dengan berkembangnya dokrin ma’rifat (gnosis) yang diyakini sebagai pengetahuan bathin, terutama tentang Tuhan. Istilah tersebut digunaka untuk membedakan antara pengetahuan yang diperoleh melalui indra (sense, al-hissi) dan akal atau keduanya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf (ketersingkapan), ilham, ‘iyan atau isyraq. Di kalangan mereka, irfan dimengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman intuitif akibat persatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui (ittihad al-‘arif wa al-ma’ruf) yang telah dianggap sebagai pengetahuan tertinggi.[42]
Irfan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan olah ruhani dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk ke dalam pikiran sebelum dikemukakan kepada orang lain. Dengan demikian, secara metodologi, pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan, baik dengan lisan maupun dengan tulisan.[43]
Kalangan Irfaniyyun dalam dunia Islam menjadikan istilah dzahir-batin sebagai konsep yang melandasi cara berpikirnya dalam memandang dunia dan memperlakukan segala sesuatunya. Pola sistem berpikir yang mereka pakai adalah berangkat dari yang batin menuju yang dzahir: dari makna menuju lafadz. Batin bagi mereka adalah sumber pengetahuan, karena batin adalah hakekat, sementara dzahir teks adalah penyinar. Pola sistem berpikir seperti itu di kalangan irfaniyun, menurut al-Jabiri dapat dirujuk misalnya saja pada Abu Hamid al-Ghazali, ia menegaskan bahwa makna yang dimiliki oleh qur’an adalah batinnya, bukan dzahirnya: agar hakekat dapat disingkap, maka makna harus dijadikan asal sementara lafadz mengikutinya. Demikian halnya al-Muhasibi, sebagaimana telah dikutip oleh al-Jabiri, pernah mengatakan bahwa “setiap ayat qur’an ada yang dzahir dan batin.... Adapun yang dzahir adalah bacaannya (tilawah), sedangkan yang batin adalah ta’wilnya”.[44]
Perlunya kajian-kajian baru dan serius tentang kerangka berpikir irfani perlu digali dan dikaji ulang agar dapat dipahami secara praktis fungsional. Agama-agama dunia yang tidak memiliki pola pikir irfani akan sangat kesulitan menghadapi realitas pluralitas keberagamaan umat manusia baik internal maupun eksternal. Hanya pola pikir epistemologi irfani inilah yang mendekatkan hubungan sosial antar umat beragama, meskipun secara sosiologis mereka tetap saja sah untuk tersekat-sekat dalam entitas dan identitas sosial kultural mereka sendiri-[45]sendiri lewat tradisi formal-tekstual keagamaanya. Dalam tradisi epistemologi irfani, istilah “arif” lebih diutamakan daripada istilah “alim”, karena alim lebih merujuk pada untuk hal-hal yang terkait dengan kompleksitas pergaulan sosial, budaya dan keagamaan.[46]
Jika sumber pokok (origin) ilmu pengetahuan dalam epistemologi bayani adalah teks (wahyu), dalam epistemologi irfani ini, sumber pokoknya adalah experience (pengalaman. Pengalaman hidup yang otentik, yang sesungguhnya, yang merupakan pelajaran tak ternilai harganya. Ketika manusia menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan dalam lubuk hatinya yang terdalam telah dapat mengetahui adanya Zat yang Maha Suci dan Maha Segalanya. Untuk mengetahui Zat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang tidak perlu menunggu turunnya “teks”. Pengalaman konkrit pahitnya konflik, kekerasan dan disintegrasi sosial dan akibat yang ditimbulkannya dapat dirasakan oleh siapapun , tanpa harus dipersyaratkan mengenal jenis-jenis teks keagamaan yang biasa dibacanya. Pengalaman-pengalaman bathin yang amat mendalam, otentik, fitri, hanafiah samhah dan hampir-hampir tak terkatakan oleh logika dan tak terungkapkan oleh bahasa inilah yang disebut direct experience atau prelogical knowledge menurut tradisi eksistensialis Barat. Semua pengalaman otentik tersebut dapat dirasakan secara langsung tanpa harus mengatakannya terlebih dulu lewat pengungkapan ‘bahasa’ atau ‘logika’.[47]
1.      Penghayatan Intuitif (al-Tajribah al-Bathiniyyah): aspek metodologi
Seperti diuraikan di atas, epistemologi irfani lebih bersumber pada intuisi, bukan pada teks. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam penggalian ilmu adalah psiko-gnosis, intuisi, ilham, qalb, dlamir dan semacamnya. Meski dalam sejarahnya, tampak bahwa beberapa hal tersebut banyak dikembangkan atau bahkan diinstutisionalisasikan menjadi semacam ‘hak paten’ para pengikut sistem tarekat, dengan wirid-wirid dan syahadat-syahadat yang mengiringinya. Padahal tarekat ini sebenarnya merupakan institusional or organizational expression dari tradisi sufistik Islam. Karenanya jika dilakukan upaya pengembangan atas apistemologi ini diperlukan adanya kejernihan dalam memandang beberapa aspek, yaitu apa yang disebut: mistical experience, mistical doktrine, mistical technique dan mistical institution. Tanpa membedakan terlebih dulu beberapa hal ini, pengembangan pemikiran irfani sebagai sebuah epistemologi Islam yang utuh, kokoh dan komprehensif akan sulit dilakukan, lebih-lebih karena ia telah mengalami ‘kecelakaan sejarah’ (bahasa Amin Abdullah) dalam hal ini karena kedekatannya dengan perkumpulan tarekat. Sehingga Fazlur Rahman menyebutnya sebagai “religion within religion”.[48]
Dalam proses ma’rifah atau proses penggalian ilmu, secara umum metode yang digunakan para irfaniyun adalah metode al-dzauqiyah, al-riyadlah, al-mujadalah, al-‘isyraqiyah, al-laduniyah atau penghayatan batin, beberapa istilah yang memang khas bagi kaum sufi. Sebagai suatu proses yang sifatnya spiritual sudah tentu sulit digambarkan bagaimana langkah-langkah konkritnya. Berbeda misalnya dengan metode al-bahtsiyah, sebagaimana epistemologi burhani, yang memang menuntut adanya proses-proses teknis. Meski demikian, langkah-langkah itu kemudian ada yang mengidentifikasi juga, Ada tiga tahap pendakian spiritual di kalangan kaum sufi; pertama, bagi para pemula, yaitu mereka yang disebut penyandang waktu. Dalam tahap ini seorang pendaki (salik) berada dalam kondisi menempati waktu dan dapat berkemungkinan kekosongan waktu (ghaflah). Waktu dalam term sufi identik dengan aktivitas spiritual. Kedua, penyandang ahwal, mereka adalah para pendaki papan tengah. Dalam tahap ini seorang pendaki berada dalam dua kondisi yaitu menempatkan ahwal dan kebermungkinan menempati waktu. Ketiga, penyandang anfas mereka adalah yang telah mencapai puncak perjalanan spiritual. Mereka telah terbiasa dengan pendakian yang begitu melelahkan. Mereka telah mencapai puncak yang dituju yaitu apa yang disebut “wishal”, mukasyafah (ketersingkapan), fana (ekstasi), ittihad (penyatuan) dan musyahadah (penyaksian). Tingkat ketiga ini tidak akan tercapai kecuali oleh para wali.[49]
Adapun metode yang dipergunakan para sufi adalah metode cita rasa khusus, yaitu pemahaman sensual langsung dan pemahaman rasional indrawi. Metode ini lazim disebut metode pengetahuan iluminasi. Pembuktian kebenaran pengetahuan dan metode irfani bersifat intersubjektif artinya kebenarannya dapat dibuktikan melalui pemahaman atau pengalaman rohani dari subjek-subjek yang lain mengenai hal yang sama.[50]
Dengan demikian secara metodologis, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan rasio, tetapi menggunakan kesadaran intuitif dan spiritual, karenanya pengetahuan yang dihasilkannya adalah pengetahuan yang sui generis, pengetahuan yang paling dasar dan sederhana. Yaitu pengetahuan yang tidak tereduksi, bahkan terkadang sampai pada pengetahuan yang tak terkatakan (unspeakable). Untuk mengetahui bagaimana aspek metodologi ini, berikut ini akan diuraikan beberapa konsep epistemologi ini sebagai kerangka dasar dalam proses keilmuannya.[51]
2.      Konsep Dzahir dan Batin
Apabila dalam epistemologi bayani terdapat konsep lafadz dan makna, dalam irfani terdapat konsep dzahir dan batin sebagai kerangka dasar atas pandangannya terhadap dunia (world  view) dan cara memperlakukannya. Pola pikir yang pakai kalangan irfaniyun adalah berangkat dari yang batin menuju yang dzahir, dari makna manuju lafadz. Batin, bagi mereka merupakan sumber pengetahuan, karena batin adalah hakikat, sementara dzahir teks (al-Qur’an dan hadis) sebagai pelindung dan penyinar. Irfaniyyun berusaha menjadikan dzahir nash sebagai bahan.[52]
Pola pikir seperti itu di kalangan irfaniyun telah banyak ditunjukkan al-Jabiri. Al-Ghazali misalnya menegaskan bahwa makna yang dimiliki oleh al-Qur’an adalah batinnya bukan dzahirnya. Agar hakekat dapat disingkap, makna harus dijadikan asal, sedang lafadz mengikutinya. Demikian halnya al-Muhasibi, sebagaimana dikutip al-Jabiri, menjelaskan bahwa yang dzahir adalah bacannya (tilawah) dan yang batin adalah ta’wilnya. Ta’wil disini diartikan  sebagai transformasi ungkapan dzahir ke batin dengan berpedoman pada isyarat (petunjuk batin). Apabila dalam ta’wil bayani memerlukan susunan bayan seperti wajh syibh (illat) ataupun adanya pertalian lafadz dan makna (qarinah lafdziyah an al-nawiyyah) maka ta’wil irfani tidak memerlukan persyaratan dan perataraan. Takwil irfani tidak berpedoman pada dzahir lafadz, tetapi justru mengalihkannya pada wilayah pengetahuan yang menurut mereka disebut dengan hakekat melalui isyarat. Dalam pola pikir seperti ini, pemahaman dihasilkan melalui al-iyan atau al-irfan dan karenanya bersifat langsung.[53]
Dalam tradisi irfani, jika seorang arif mengungkapkan makna dan pikiran yang diisyaratkan oleh al-Qur’an di dalam jiwanya dengan bahasa yang jelas dan sadar, itu disebut takwil. Sementara jika ia berusaha mengungkapkan “pikiran-pikiran yang saling berlawanan” dan perasaan-perasaan yang saling berbenturan, yang dirasakan dan ditemukan di dalam hati secara tidak terduga dan tiba-tiba tidak tunduk pada suatu aturan, maka disebut syathahat. Singkatnya, takwil adalah mentransformasikan ungkapan dari yang dzahir menuju pada yang batin dengan berpijak pada isyarat batin ke dzahir melalui ungkapan. Artinya syathahat merupakan kalimat yang diterjemahkan oleh lisan mengenai perasaan (al-wajd) yang melimpah dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan seorang sufi bahwa dirinya telah menyatu dengan Tuhan.[54]
Dalam kondisi seperti ini seorang sufi bisa menukar menggantikan dhamir (kata ganti), baik itu ana, anta dan huwa, mereka sering menyebut Allah dengan kata ganti pertama tunggal (ana), sebagaimana dialami oleh Abu Yazid al-Bustamy (261 H) dengan ungkapan “maha suci aku”, dan al-Hallaj (309 H) dengan ungkapannya “saya adalah Tuhan yang maha benar”. Syathahat memang kurang menghormati kaidah-kaidah rasional dan tidak terikat oleh akidah sebagaimana ditetapkan dzahir, teks dan syariat. Itulah sebabnya di kalangan para studi tasawuf menyebutkan sebagai tasawuf heterodoks, sebagai lawan dari tasawuf ortodoks, yang membatasi dirinya dengan tradisi syariat yang sering disebut tasawuf sunni. Bagi kaum ortodoks syathahat harus ditakwilkan. Takwil disini berarti mengembalikan batin ke dzahir atau mengembalikan haqiqat ke syariat.[55]
Perlu ditambahkan, bahwa pengertuan haqiqat disini bukan sebagai suatu yang umum dan universal (kully) tetapi sebagai sesuatu yang subjektif dan situasional spesifik bagi seorang sufi tertentu. Dengan demikian ‘haqiqat’ yang ada dalam tafsir syar’i merupakan takwil batini, sedang syathahat adalah ide dan pikiran (khatir) yang terbesit dalam jiwa ‘berkesesuaian’ dengan hati dan teks (nash) ataupun keadaan psikologis (al-halah al-wijdaniyah) tertentu. Syathahat juga dapat dipahami sebagai ungkapan atas pengertian intuitif seorang arif (dalam wilayah kognitif yang mendalam) yang dibahasakan dengan ungkapan aneh dan terkesan sangat dipaksakan untuk keluar, tidak tunduk pada ketentuan apapun. Ketika mutashif sampai pada penghayatan mendalam dan penyatuan dengan Tuhan, ia meninggalkan dunia dan mengalami pengalaman intuitif yang sangat dalam, sehingga ungkapannya tidak teratur.[56]
Demikianlah, konsep dualisme dzahir dan batin dalan memahami teks tidak memiliki dimensi kemanusiaan. Bagi irfaniyun, baik makna yang dzahir maupun makna yang batin sama-sama berasal dari Tuhan. Yang dzahir adalah turunnya (tanzil) kitab dari Tuhan melalui para Nabi-Nya, sedang yang batin adalah turunnya pemahaman (al-fahm) dari Tuhan lewat kalbu sebagian kaum mukminin, dalam hal ini kaum irfaniyun. Allah menciptakan segala sesuatu terdiri dari dzahir dan batin, termasuk menciptakan al-Qur’an. Yang dzahir adalah bentuk yang dapat diindra  (al-shurah al-hissiyah), sementara yang batin sesuatu yang bersifat ruhiyah. Dengan demikian firman Tuhan secara batin sama dengan hukum yang bersifat ketuhanan, yang hadir dalam bentuk teks yang dapat diindra inilah yang oleh Ibn Arabi disebut sebagai i’tibar al-batin.[57]
3.      I’tibar Irfani
Epistemologi bayani menggunakan teks-teks agama sebagai sumber, sebagaimana fuqaha melakukan istinbath hukum, dalam epistemologi irfani, kaum sufi maupun Syi’i melakukan hal yang sama. Dari mereka, khazanah tafsir al-Qur’an mengenal istilah tafsir isyariy. Karenanya ada yang berpandangan, bahwa isyarat sufistik baik berupa tafsir maupun syathahat pada hakekatnya merupakan produk dari al-Qur’an. Al-Jabiri mengatakan qiyas irfan tidak memperhatikan jami’ dan aturan rasional, tetapi kecenderungan hati; bukan didasarkan pada adanya keserupaan hubungan.[58]
4.      Konsep Wilayah dan Nubuwah
Bila dalam epistemologi bayani terdapat pasangan asal (al-asl) dan cabang (furu’), dalam irfani terdapat pasangan wilayah dan nubuwah. Analogi ini bukan analogi yang dapat menyeret para pendukungnya pada muthabaqat, kesamaan, tetapi analogi yang melampaui analisa biasa. Hal ini berbeda dengan epistemologi bayani yang menempatkannya dalam kerangka pikir yang berangkat dari kata ke makna, dalam irfani justru dari makna ke kata, (dari furu’ ke al-asl; dari batin ke dzahir).[59]
C.    Epistemologi Burhānīy
Dalam bahasa Arab al-burhan bersumber dari kata tsulatsiy ((بَرِهَ- يَبْرَهُ yang berarti kembali sembuh setelah adanya perubahan dari sakit, kemudian mendapat tambahan hamzah (أَبْرَهَ)  yang berarti datang dengan membawa bukti atau petunjuk. Bentuk masdarnya (برهان) berarti bukti atau petunjuk, bukti yang pasti dan penjelas. Bahasa latinnya berarti demonstratio yang berarti al-isyarah (isyarat/tanda), al-wash (sifat), al-bayan (penjelasan), al-idzhar (menampakkan). Maka bisa diartikan secara umum bahwa burhānīy adalah pembuktian untuk pembenaran atas suatu hal. Pendekatan ini, jika dilihat dari triple pendekatan studi Islam menurut Mukti Ali, yakni naqli, ‘aqli dan kasyf, maka pendekatan burhānīy termasuk dalam pendekatan ‘aqli, sedangkan Amin Abdullah mengelompokkan pendekatan tersebut ke dalam kajian historisitas.[60]
Berbicara masalah penggunaan akal/rasio untuk memahami studi Islam merupakan hal yang harus dilakukan, meskipun dari abad akhir klasik sampai awal abad pertengahan, penggunaan rasional filosofis telah ramai diperdebatkan oleh dua tokoh utama Imam Ghazali dan Ibnu Rusyd. Terjadinya perdebatan yang sangat sengit itu disalah persepsikan oleh para ahli pemikiran Islam selanjutnya. Sebenarnya dari keduanya terdapat kesepahaman bahwa filsafat tetap ada yakni dari hasil deduksi dari apa yang disebut hikmah. Keduanya juga sepakat bahwa penggunaan akal hanya sebagai satu-satunya cara untuk membuktikan adanya Tuhan adalah tidak dibenarkan.[61]
Demonstrasi sebagai sebuah aktivitas kognitif merupakan inferensi rasional yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan kesimpulan yang bernilai. Sebagai lapangan kognitif, demonstrasi ini adalah dunia pengetahuan filsafat dan sains yang diderivasikan dari gerakan transliterasi buku-buku asing, khususnya karya Aristoteles ke dalam peradaban Arab. Oleh karena penerjemahan buku-buku itu dilatarbelakangi oleh kepentingan politik untuk mendukung akal retoris melawan serbuan trend akal gnostis, maka tidak heran kalau dalam prakteknya latarbelakang ini mempunyai pengaruh yang dominan. Terjadilah hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam tataran pemikiran teologi/filsafat.[62]
Analisis akulturasi trend ini ke dalam peradaban Arab menurut perspektif epistemologinya, terbagi dalam dua poros: Pertama, dalam kaitannya dengan matodologi yaitu dengan menggunakan pendekatan pasangan epistemologisnya (al-lafdz/al-ma’na) yang sejajar dengan pasangan pertama dalam trend akal retoris. Kedua, berkaitan secara khusus dengan pola pandang, yaitu dengan menggunakan pasangan epistemologis al-ashl/al-far’ dan pasangan al-jauhar/al-‘ardh dalam trend akal retoris.[63]
Epistemologi burhānīy bersumber pada realitas, baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhānīy disebut ilmu al-husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistemasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan lewat otoritas intuisi. Dengan pemahaman premis-premis logika keilmuan yang tersusun melalui kerjasama antara proses abstraksi dan pengamatan indra yang benar atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indra seperti alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer yang mendalam. Peran akal pikiran sangat menentukan disini, karena fungsinya selalu diarahkan untuk mencari sebab-akibat. Hal ini bertujuan mencari sebab-akibat yang terjadi pada peristiwa-peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan. Untuk lebih memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keIslaman, menjadi lebih memadai apabila digunakan pendekatan-pendekatan seperti sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah.[64]
Tolok ukur validitas keilmuan nalar burhānīy yang ditekankan adalah korespondensi (al-muthabaqah baina al-‘aql wa nizam al-thabi’ah) yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis) dan upaya yang terus menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan, rumus-rumus dari teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah akal manusia (pragmatik).[65]
























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Muhammad ‘Abid al-Jabiri salah seorang pemikir kontemporer Islam telah berupaya menyusun konstruksi epistemologi studi keislaman kepada epistemologi bayani, burhani dan irfani.
Dalam bayānīy, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Epistemologi bayānīy pada dasarnya telah digunakan oleh para fuqohā (pakar fiqih), mutakallimūn (theolog) dan ushulliyūn (pakar ushul al-fiqh untuk memahami teks guna menemukan makna yang dikandung dalam lafadz, serta untuk pengkajian hukum-hukum dari al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, teks sucilah yang menentukan arah kebenaran
Irfan pengetahuan yang diperoleh dengan olah ruhani dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Sedangkan epistemologi burhānīy bersumber pada realitas, baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan.
                 
B.     Kata Penutup
Puji syukur kepada Allah atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari tentunya masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat berkontribusi bagi pembaca.









Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Andrigo Wibowo, “Epistemologi Hukum Islam: Bayani, Irfani dan Burhani”, Makalah Mata Kuliah Ushul Fiqh, Magister Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/4363/Ushul%20Fiqh%201.pdf?sequence=1&isAllowed=y,
Ardi Widodo, Sembodo, “Nalar Bayani, Irfani dan Burhani”, Jurnal Hermenia Kajian Islam Interdisipliner, http://digilib.uin-suka.ac.id/8511/1/SEMBODOARDI%20WIDODO%20NALARRAYANI%2C%20%27IRFANI%2C%20DAN%20BURHANIDAN, dalam Google.com . 2007.

Endraswara, Suwardi, Filsafat Ilmu (Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah), Yogyakarta: CAPS Center of Academic Publishing Service, 2017.

Hasan Ridwan, Ahmad dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Musliadi, “Epistemologi Keilmuan dalam Islam: Kajian terhadap Pemikiran M. Amin Abdullah”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=312502&val=7463&title=EPISTEMOLOGI%20KEILMUAN%20DALAM%20ISLAM:%20KAJIAN%20TERHADAP%20PEMIKIRAN%20M.%20AMIN%20ABDULLAH, Google.com . 2014.

Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2016.

Syukur, Suparman, Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Zulpa Makiah, Zulpa, “Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani dalam Memperoleh Pengetahuan tentang Mashlahah”, Jurnal Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari, https://media.neliti.com/media/publications/30030-ID-epistemologi-bayani-burhani-dan-irfani-dalam memperoleh-pengetahuan-tentang-mash.pdf, dalam Google.com.





[1] Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu (Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah), (Yogyakarta: CAPS Center of Academic Publishing Service, 2017), hal. 110. 
[2]Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hal. 125.
[3] Musliadi, “Epistemologi Keilmuan dalam Islam: Kajian terhadap Pemikiran M. Amin Abdullah”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. XIII, No. 2, (Februari 2014), http://download.portalgaruda.org/article.php?article=312502&val=7463&title=EPISTEMOLOGI%20KEILMUAN%20DALAM%20ISLAM:%20KAJIAN%20TERHADAP%20PEMIKIRAN%20M.%20AMIN%20ABDULLAH diakses pada tanggal 18 Maret 2018 pukul 19:19 WIB, hal. 27.
[4] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 332.
[5] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 329. 
[6] Ibid..., hal. 329. 
[7] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 330.
[8] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 333.
[9] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 334.
[10] Ibid..., hal, 334.
[11] Ibid..., hal, 334.
[12]Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual..., hal. 126.
[13] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 332.
[14] Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual..., hal. 126.
[15] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 335.
[16] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 146.
[17]  Ibid..., hal, 146.
[18]  Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 335.

[19]Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual..., hal. 126.
[20] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 336.
[21]Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual..., hal. 126.
[22] Andrigo Wibowo, “Epistemologi Hukum Islam: Bayani, Irfani dan Burhani”, (Makalah Mata Kuliah Ushul Fiqh, Magister Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia,Yogyakarta),https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/4363/Ushul%20Fiqh%201.pdf?sequence=1&isAllowed=y, diakses pada tanggal 18 Maret 2018 pukul 18:40 WIB, hal. 5.
[23] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 336.
[24]  Ibid..., hal, 336.
[25]  Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 337.
[26]  Ibid..., hal, 337.
[27]  Ibid..., hal, 337.
[28]  Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 338.
[29] Ibid..., hal, 338.
[30] Ibid..., hal, 338.
[31] Ibid..., hal, 338.
[32]  Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 150.
[33] Ibid..., hal, 150.
[34] Ibid..., hal, 150.
[35] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 151.
[36]  Ibid..., hal, 151.
[37]  Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 159.
[38]  Ibid..., hal, 159.
[39]  Ibid..., hal, 159.
[40] Sembodo Ardi Widodo, “Nalar Bayani, Irfani dan Burhani”, Jurnal Hermenia Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 6 No. 1 (Januari- Juni 2007), http://digilib.uin-suka.ac.id/8511/1/SEMBODOARDI%20WIDODO%20NALARRAYANI%2C%20%27IRFANI%2C%20DAN%20BURHANIDAN, diakses pada tanggal 18 maret 2018 pukul 18:34 WIB, hal. 73.
[41]  Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 160.
[42]  Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 161.
[43] Zulpa Makiah, “Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani dalam Memperoleh Pengetahuan tentang Mashlahah”, Jurnal Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari, https://media.neliti.com/media/publications/30030-ID-epistemologi-bayani-burhani-dan-irfani-dalam memperoleh-pengetahuan-tentang-mash.pdf, diakes pada tanggal 18 Maret 2018 pukul 08:34 WIB, hal.13.
[44]Andrigo Wibowo, “Epistemologi Hukum Islam: Bayani, Irfani dan Burhani”, (Makalah Mata Kuliah Ushul Fiqh, Magister Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia,Yogyakarta),https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/4363/Ushul%20Fiqh%201.pdf?sequence=1&isAllowed=y, diakses pada tanggal 18 Maret 2018 pukul 18:40 WIB, hal. 5.

[46] Amin Abdulloh, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 211-212.
[47] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 161.
[48]  Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 162-163.
[49]  Ibid..., hal, 163.
[50] Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam..., hal. 348-350.        
[51] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 164.
[52]  Ibid..., hal, 164.
[53]  Ibid..., hal, 164.
[54]  Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 164.
[55]  Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 165.
[56] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 166.
[57]  Ibid..., hal, 166.
[58]  Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2016), hal. 168.
[59]  Ibid..., hal, 168.
[60] Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual..., hal. 283.
[61] Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual..., hal. 284.
[62] Ibid..., hal, 284. 
[63] Ibid..., hal, 284. 
[64]Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran, Perkembangan dan Pemahaman Kontekstual... ,hal. 285.
[65] Ibid..., hal, 284. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah: TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN

TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah   “Kebijakan dan Kepemimpinan ...