HAKIKAT PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah
“Filsafat Pendidikan Islam”
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H.
Maragustam, M.A
Disusun
oleh:
Dini
Fauziyati (
17204010156 )
Kelas:
I A
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Pendidik
Menurut Maragustam, hakikat pendidik dalam Islam adalah
orang-orang yang bertanggung jawab dalam pengambangan peserta didik dengan
mengaktualisasikan seluruh potensinya, baik potensi spiritual, afektif,
kognitif maupun potensi psikomotor ke arah yang lebih baik secara seimbang
sesuai dengan nilai-nilai Islam.[1]
Pendidik yang hakiki menurut penulis merupakan sosok
berjasa yang pernah ada, Ibu dan Ayah. Orangtua merupakan kedua malaikat yang
dikirim Allah ke bumi untuk menjadi guru agung manusia. Ibu sebagai madrasatul
ula bagi anak-anaknya. Bahkan Rosul sampai menyuruh kita mengutamakan ibu
sampai tiga kali diulangi dalam sabdanya. Ayah, the best man in the world sebagai cinta
terakhir bagi Ibu dan cinta pertama bagi anak perempuannya yang menjadi guru
teladan sepanjang zaman yang pernah ada.
Dalam istilah bahasa Arab kata pendidik berasal dari
tarbiyah diartikan sebagai pendidikan, dan murobbi sebagai pendidik.
Asal kata robba , yurobbi, tarbiyatan. Robbun
memiliki tiga makna paling tidak yang perlu dipahami; (1) menumbuhkan atau
mengembangkan potensi peserta didik (menggali), (2) merawat atau dalam Islam
dikenal dengan makna merawat dari yang fitri sehingga tidak menyimpang
(merawat sesuatu yang suci sehingga tidak kotor), (3) melindungi peserta didik
sehingga terhindar dari sesuatu yang membahayakan.
Orangtua yang hakiki tidak akan menjerumuskan anaknya ke
dalam keburukan. Orangtua disini tidak hanya berarti sempit, bahkan dapat
diartikan luas. Orang tua mahasiswa di kampus mempunyai panggilan khas “bapak/
ibu dosen”. Orangtua peserta didik di sekolah mempunyai panggilan sayang “cikgu
atau bapak/ ibu guru”. Orangtua santri di pesantren mempunyai panggilan hormat
“kyai/ ustadz”. Bahkan orangtua dalam arti sempit pun memiliki banyak panggilan
sayang bagi seorang anak, sebagai baktinya pada mereka. Misalnya panggilan
selain ibu; mamah, emak, biyung, bunda
dan umi. Bapak juga tak kalah dengan ibu, bapak mempunyai banyak nama
panggilan; ayah, abah, romo, dan lain sebagainya.
Pendidik yang hakiki merupakan guru bangsa juga. Guru
bangsa adalah orang yang dengan keluasan ilmunya, pengetahuannya, keteguhan
komitmen, kebesaran jiwa dan pengaruh serta keteladanannya dapat mencerahkan
bangsa dari kegelapan. Guru bangsa dapat lahir dari ulama atau agamawan, intelektual,
pengusaha pejuang, birokrat dan lain-lain. Pendek kata, dalam istilah pendidik
/guru mengandung nilai, kedudukan dan peranan mulia.[2]
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama,
memiliki peran yang dahsyat pada kehidupan seorang muslim apabila mampu
menerjemahkan firman Tuhan pada kehidupan bermasyarakat. Dalam aspek pendidikan
khususnya, banyak pelajaran yang bisa diambil sekaligus rujukan yang valid dari
ayat-ayat Allah. Terdapat pula pengertian pendidik yang termaktub dalam
al-Qur’an.
Pengertian
pendidik dalam al-Qur’an ada 4 yang dapat diartikan menjadi pendidik, yaitu 1)
Allah SWT, 2) Nabi Muhammad SAW, 3) Orangtua dan 4) guru/pendidik, sebagai
berikut :[3]
1.
Allah SWT (Sebagai
Pendidik Utama)
Allah SWT merupakan Tuhan yang Maha Agung pemilik
skenario jagad raya. Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut
antara lain apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang
berpendapat bahwa kata “Allah” tidak terambil dari satu akar kata tertentu,
tetapi hal itu merupakan nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya,
yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan dan yang kepada-Nya seharusnya
seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat bahwa
kata “Allah” asalnya adalah “Ilāh”, yang dibubuhi huruf alif
dan lām dan dengan demikian Allah merupakan nama khusus yang tidak
dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan Ilāh adalah
nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural) Ā
lihah. Dalam bahasa Inggris baik yang bersifat umum maupun khusus, keduanya
diterjemahkan dengan tuhan, tetapi cara penulisannya dibedakan. Yang
bersifat umum ditulis dengan huruf kecil god/ tuhan dan yang bermakna
khusus ditulis dengan huruf besar God/ Tuhan.[4]
Menurut Maragustam dalam bukunya yang berjudul Filsafat
Pendidikan Islam, dijelaskan bahwa Allah sebagai pendidik utama karena Dia
paling tahu tentang hakikat manusia, sebagaimana dalam Q.S Ar-Rahman : 1-4 “Tuhan
yang Maha pemurah (1) yang telah mengajarkan Al-Qur’an (2) menciptakan
manusia (3) mengajarkannya pandai berbicara (4).” Dikutip oleh
Maragustam, menurut Maraghi, (1989) ayat ini menerangkan bahwa Allah telah
mengajari Nabi Muhammad mengajarkannya pada umatnya. Dia (Allah) telah
menciptakan umat manusia ini untuk mengajarinya mengungkapkan apa yang
terlintas dalam hatinya dan terpetik dalam sanubarinya. Sekiranya demikian,
maka Nabi Muhammad SAW tidak akan dapat mengajarkan Al-Qur’an pada umatnya.
Oleh karena itu manusia sebagai makhluk sosial menurut tabiatnya tak bisa hidup
kecuali bermasyarakat dengan sesamanya, maka haruslah ada bahasa yang digunakan
untuk saling memaafkan sesamanya dan untuk saling menulis dengan sesamanya yang
berada di tempat jauh, disamping untuk memelihara ilmu-ilmu yang terdahulu,
supaya dapat diambil manfaatnya oleh generasi berikutnya dan supaya ilmu itu
dapat ditambah oleh generasi mendatang atas hasil usaha yang diperoleh oleh
generasi lalu.[5]
Dari berbagai ayat al-Qur’an membicarakan tentang
kedudukan Allah sebagai pendidik dapat dipahami dalam firman-firman yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, salah satunya: Firman Allah dalam Q.S al-Fātihah/1: 2.
اَلْحَمْدُ
لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (2)
Q.S
al-Baqarah/2: 31.
وَعَلَّمَ آدَمَ
اْلأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلآَئِكَةِ فَقَالَ
اَنْبِئُوْنِيْ بِاَسْمآَءِ هَآؤُلاَءِ اِنْكُنْتُمْ صَادِقِيْنَ (31)
Dan Dia ajarkan kepada
Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat,
seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang
benar!”[7]
Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah SWT
sebagai pendidik bagi manusia. Allah sebagai pendidik mengetahui segala
kebutuhan manusia yang dididiknya sebab Dia adalah Sang Pencipta. Perhatian
Allah tidak terbatas hanya terhadap manusia saja, tetapi memperhatikan dan
mendidik seluruh alam semesta.[8]
Selain itu, dapat dilihat perbedaan dari aspek proses
pengajaran. Allah SWT memberikan bimbingan kepada manusia secara tidak
langsung. Allah SWT mendidik manusia melalui wahyu yang disampaikan dengan
peraturan malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW, dan selanjutnya Nabi
membimbing umatnya dengan peraturan wahyu. [9]
2.
Nabi Muhammad SAW
Kedudukan Rasulullah SAW sebagai pendidik ditunjuk
langsung oleh Allah SWT. Kedudukan Rasulullah sebagai pendidik ideal dapat
dilihat dalam dua hal, yaitu Rasulullah sebagai pendidik pertama dalam
pendidikan Islam dan keberhasilan yang dicapai Rasulullah dalam melaksanakan
pendidikan. Rasulullah berhasil mendidik manusia menjadi manusia berkualitas baik
lahir maupun batin.[10]
Nabi sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai
pendidik. Nabi menerima wahyu al-Qur’an yang bertugas menyampaikan petunjuk
kepada seluruh umat Islam, kemudian selanjutnya mengajarkan kepada manusia
ajaran-ajaran Allah SWT yang tercantum dalam al-Quran tertuang dalam penggalan
surat al-A’raf ayat 158.[11]
قُلْ يَآَيُّهَا النَّاسُ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّهِ
اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا ... (158)
Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku
ini utusan Allah bagi kamu semua.[12]
QS. al-An’am ayat 92
وَهَاذَا كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُّصَدِّقُ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ
الْقُرَآ وَمَنْ حَوْلَهَا قلى وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَهُمْ
عَلَى صَلَا تِهِمْ يُحَافِظُوْنَ (92)
Dan ini (al-Qur’an), kitab yang telah Kami turunkan
dengan penuh berkah: membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelum dan agar
engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang
yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman kepada (kehidupan) akhirat
tentu beriman kepadanya (al-Qur’an) dan mereka selalu memelihara shalatnya.[13]
Keberhasilan Rosulullah SAW sebagai pendidik merupakan
kombinasi kekuatan antara kemampuan kepribadian, wahyu dan aplikasi ilmu di
lapangan. Ilmu-ilmu yang dimiliki diajarkan kepada para sahabat, sebagai
pendidik Rasulullah memiliki kepribadian yang pantas dijadikan al-uswah
al-hasanah bagi umat manusia.[14]
Saat ini, seribu empat ratus tahun lebih setelah kematiannya,
kekuatan risalah dan pengajarannya terus mempengaruhi perjalanan umat manusia
seiring perjalanan waktu. Tidak seorang pun yang mampu mempengaruhi pikiran,
pemikiran, gagasan dan nasib
3.
Orangtua
Setelah anak lahir maka yang pertama kali dikenalnya
ialah orangtuanya. Peranan orangtua sangat dominan dalam mendidik anak. Dalam
sabda Rosul dikatakan “Setiap anak lahir atas dasar fitrah, ibu bapaknyalah
yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Bukhori Muslim).[15]
Menurut Hassan Langgulung dikutip oleh Sukring,
mengatakan bahwa keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam
perkembangan seseorang. Bahwa pembentukan kepribadian peserta didik bermula
dari lingkungan keluarga. Menurutnya fungsi keluarga adalah menanamkan sifat
kasih sayang secara serasi, keluarga juga berfungsi menjaga kesehatan jasmani,
kejiwaan, spiritual, akhlak, intelektual, emosional dan sosial.[16]
Pendidik menurut Islam adalah setiap individu yang
bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik. Pendidikan pertama dan
utama adalah keluarga. Tugas mendidik sebenarnya berada di pundak orangtua
sebab dari merekalah proses kelahiran anak terjadi, orangtua adalah pihak yang
paling dekat dengan anak dan paling berkepentingan terhadap anak-anaknya
sehingga mereka diberi amanah dan tanggungjawab untuk mengembangkan
anak-anaknya. Setiap orangtua memiliki tugas pendidikan. Setiap orangtua
memiliki kepentingan terhadap anak-anaknya, yaitu: a) anak sebagai generasi
penerus keturunan, b) anak merupakan kebanggan dan belaian kasih orangtua dan
c) doa anak merupakan investasi bagi orangtua setelah mereka wafat.[17]
Apabila seseorang meninggal, maka putuslah semua amalnya
kecuali tiga hal; ilmu yang bermanfaat, amal jariyah yang selalu mengalir dan
doa anak sholeh/sholehah untuk orangtuanya. Sebagai calon orangtua khususnya,
pendidikan yang pertama yaitu memilih pasangan. Karena, sangat menentukan pola
asuh dan pendidikan terhadap anak-anaknya nanti. Seperti pepatah, buah jatuh
tak jauh dari pohonnya.
Orangtua adalah orang yang paling berjasa pada setiap
anak semenjak awal kelahirannya di muka bumi. Setiap anak melibatkan peran
penting orangtuanya, seperti peran pendidikan, peran tersebut menjadi kebutuhan
orangtua untuk menemukan eksistensi dirinya sebagai makhluk yang sehat secara
aktivitas yang banyak menyebabkan melimpahkan pendidikan anaknya kepada pihak
ketiga yaitu guru (pendidik).[18]
Allah SWT memerintahkan orang Islam untuk menjaga
keluarganya dari api neraka sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an surat
at-Tahrim ayat 6.
يَآَيٌّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قُوْآ اَنْفُسَكُمْ
وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَآئِكةٌ
غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّايَعْصُوْنَ اللّهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ
مَايُوْمَرُوْنَ (6)
Wahai
orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya, malaikat-malaikat yang
kasar dan keras yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia
perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[19]
Tampak bahwa
apa yang disebut dalam al-Qur’an mengenai adanya pendidik menggambarkan adanya
perkembangan masyarakat. Misalnya dari sejak zaman Nabi Adam AS, tetapi setelah
Nabi maka tugas tersebut diwakilkan kepada orangtua masing-masing. Setelah
masyarakat berkembang luas, maka tugas mendidik dibagi lagi kepada orang lain
yang secara khusus dipersiapkan untuk menjadi guru/pendidik dalam hal
guru/pendidik di sekolah.[20]
4.
Guru/Pendidik
Dalam kamus
besar bahasa Indonesia guru merupakan orang yang kerjanya mengajar; sekolah,
gedung tempat belajar.[21]
Dalam konteks pendidikan Islam pendidik sering disebut dengan ustaż, murabbi, mū’allim, mū’addib, mudarris dan mursyid.
Menurut peristilahan mempunyai tempat tersendiri dan mempunyai tugas
masing-masing.[22]
|
No
|
PENDIDIK
|
KARAKTERISTIK DAN TUGAS
|
|
1
|
Ustaż
|
Seorang guru yang
dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengamban tugasnya.
|
|
2
|
Murabbi
|
Orang yang mendidik dan
menyiapkan peserta didik agar mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya
untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam
sekiranya.
|
|
3
|
Mū’allim
|
Orang yang menguasai
ilmu dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan,
menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya sekaligus melakukan transfer
ilmu pengetahuan, internalisasi serta implementasi.
|
|
4
|
Mū’addib
|
Orang yang mempu
menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban
yang berkualitas di masa depan.
|
|
5
|
Mudarris
|
Orang yang memiliki
kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan
keahliannya secara berkelanjutan dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya,
memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat,
minat dan kemampuannya.
|
|
6
|
Mursyid
|
Orang yang mampu menjadi model atau sentral
identifikasi diri atau menjadi pusat panutan, teladan dan konsultan bagi
peserta didiknya.
|
Seperti dikatakan
al-Ghazali yang dikutip oleh Sukring, bahwa pendidik merupakan pelita segala
zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya
keilmiahannya. Andaikata dunia tidak ada pendidik, niscaya manusia lebih jelek
dari binatang, sebab pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat
kebinatangan (baik binatang buas maupun binatang jinak) didik. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa dalam Islam orang yang paling bertanggungjawab tersebut adalah
orangtua (ayah ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan
sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama, karena kodrat, yaitu karena orangtua
ditakdirkan bertanggungjawab mendidik anaknya; kedua, karena kepentingan kedua
orangtua, yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya,
sukses anaknya adalah sukses orangtua juga.[24]
Selanjutnya dalam beberapa literatur
kependidikan pada umumnya, istilah pendidik sering diwakili oleh istilah guru.
Istilah guru sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata
menurut Hadari Nawawi guru adalah
orang yang mengajar atau memberikan pelajaran di kelas. Secara lebih khusus
lagi, ia mengatakan bahwa guru berarti orang yang bekerja dalam bidang
pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggungjawab dalam membantu anak-anak
mencapai kedewasaan masing-masing. Guru dalam pengertian tersebut menurutnya
bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi
pengetahuan tertentu, akan tetapi adalah anggota masyarakat yang harus ikut
aktif dan berjiwa bebas serta kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak
didiknya untuk menjadi anggota masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa
bebas serta kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi
anggota masyarakat sebagai orang dewasa. Dalam pengertian ini terkesan adanya
tugas yang demikian berat, yang harus dipikul oleh seorang pendidik khususnya
guru. Tugas tersebut, selain memberikan di depan kelas, juga membantu
mendewasakan anak didik. [25]
Dari uraian tersebut nampak ketika menjelaskan
pengertian guru atau pendidik selalu dikaitkan dengan bidang tugas atau
pekerjaan yang harus dilakukannya. Ini menunjukkan bahwa pada akhirnya pendidik
itu adalah profesi atau keahlian tertentu yang melekat pada seseorang yang
tugasnya berkaitan dengan pendidikan. [26]
Pengertian tersebut jika dilihat pada era
global sekarang sedikit berbeda. Karena saat ini kurikulum yang terbaru
menggembor-gemborkan pendidikan yang berpusat pada peserta didik (student
center), tidak melulu guru yang menjadi pusat (teacher center). Jadi
dalam konteks sekarang lebih dominan pada peserta didik, guru sebagai
fasilitator pembelajaran. Kalau meminjam istilahnya John Dewey, ia mengartikan
pendidikan sebagai upaya pendewasaan.
B.
Hakikat Peserta Didik
Anak didik merupakan
salah satu dari komponen pendidikan yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan
pendidikan. Tanpa anak didik, pengajaran tidak akan ada dan pendidikan tidak
akan terjadi. Sebagai salah satu komponen pendidikan, anak didik mendapat
perhatian yang serius dari para ahli pendidikan. Untuk keberhasilan pencapaian
tujuan pengajaran khususnya dan pendidikan pada umumnya anak didik harus
diperlakukan sebagai subjek dan objek.[27]
Istilah yang sering
digunakan untuk menunjukkan term students (siswa); yaitu tilmidh, (jamak
talamidh, talamidha) yang berarti murid dan talib (seeker
of knowledge) (jamak talaba, tullab) yang berarti orang yang
menuntut ilmu-ilmu (agama) pelajar atau mahasiswa.[28]
Menurut Maragustam,
peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan menjadi manusia yang mempunyai
ilmu, iman-takwa serta berakhlak mulia sehingga mampu menjalankan fungsinya
sebagai pengabdi/beribadah kepada Allah dan sebagai khalifah.[29]
Pembahasan berikut ini
berusaha menyajikan uraian tentang kehidupan siswa di masa Islam klasik
mencakup karakteristik (orang yang paling menonjol) dalam kehidupan penuntut
ilmu itu (murid dan mahasiswa) yakni perihal biaya, waktu dan lama belajar
serta pola sosial kehidupan mereka. [30]
1.
Kehidupan Para Siswa di
Masa Klasik
a.
Karakteristik Murid
1)
Pengertian dan Batasan
Murid
Murid adalah anak sedang berguru, yang memperoleh
pendidikan dasar dari satu lembaga pendidikan. Di awal perkembangan Islam, para
penuntun ilmu tidak ada perbedaan. Ketika Rosulullah masih hidup, semua sahabat
diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman
tentang ajaran Islam dari Rasulullah SAW. Dalam kenyataannya, tidak semua
sahabat dapat memanfaatkan kesempatan untuk menimba dari beliau. Hal ini bisa
dipahami karena para sahabat mempunyai pekerjaan dan aktivitas yang beraneka.[31]
Kegiatan pendidikan pada permulaan Islam di rumah
Al-Arqom bin Abi Al-Arqam, selanjutnya berpindah ke masjid. Dalam
perkembangannya kemudian, kaum Muslim memerlukan tempat khusus untuk kegiatan
belajar anak-anak mereka. Mereka menjadikan kuttab sebagai tempat
pendidikan dasar.[32]
Di kuttab, para murid mendapatkan pengajaran
berupa keterampilan dasar, seperti membaca dan menulis al-Qur’an dan
dasar-dasar agama. Dikutip dalam bukunya Abuddin Nata, menurut Hodgson,
pendidikan Islam tingkat dasar adalah tempat bagi murid untuk belajar membaca
dan menulis. Sementara menurut Stanton dikutip dalam bukunya Abuddin Nata, pada abad pertama Hijriah, pelajaran di
sekolah tingkat rendah difokuskan pada pelajaran menulis dan membaca. Kemudian
pada abad berikutnya, pelajaran berkembang dengan diajarkannya ilmu keagamaan,
aritmatika, tata bahasa, syair dan sejarah.[33]
Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa perkembangan
mata pelajaran yang berikan, sesuai dengan kebutuhan waktu itu. Pada permulaan
Islam, belajar membaca dan menulis adalah kebutuhan mendesak. Karena itu, fokus
pemberian pelajaran adalah keterampilan membaca dan menulis. Setelah Islam
berkembang dan kontak dengan dunia luar semakin intens, pelajaran dasar
tidak cukup dengan hanya membaca dan menulis tetapi pelajaran baru pun
dimasukkan. [34]
Pada masa
klasik tidak ada ketentuan pasti tentang batasan umur bagi seseorang yang mau
belajar di kuttab. Para murid yang memasuki lembaga pendidikan dasar ini
bervariasi. Ada murid yang mulai memasuki kuttab berumur lima tahun, ada
yang berumur tujuh tahun dan bahkan ada yang berumur sepuluh tahun.
Bervariasinya umur murid yang memasuki kuttab, tampaknya terkait dengan
persiapan mereka. Kesiapan itu bukan saja dari segi fisik dan mental, tetapi
juga dari segi ekonomi.[35]
2)
Biaya dan Lama Belajar
Biaya selama belajar di kuttab pada dasarnya dibebankan
kepada keluarga murid. Orangtua murid membayar dengan sejumlah uang yang
dibayar pada setiap minggu atau setiap bulan. Terkadang pembayaran itu
dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang. Bagi murid yang
berasal dari keluarga miskin, diberikan kesempatan belajar secara cuma-cuma.
Selain itu, ada pula orangtua yang menitipkan anaknya kepada seornag guru dan
untuk biaya selama anaknya belajar, dia memberikan kepada guru tersebut
sejumlah harta/biaya. Dalam kasus terakhir ini dialami oleh al-Ghazali dan
saudaranya.[36]
Lama belajar di kuttab tergantung pada kemampuan
anak didik. Murid yang cerdas dan rajin dapat menyelesaikan belajarnya dalam waktu
relatif singkat. Sebaliknya, anak yang kurang cerdas dan malas di kuttab kurang
lebih lima tahun. Ukuran yang dijadikan dasar untuk kelulusan adalah kemampuan
murid menghafal al-Qur’an.
3)
Keadaan Murid
Menurut Mahmud Yunus,
dikutip dalam bukunya Abuddin Nata, para murid di kuttab belajar enam
hari dalam seminggu. Pelajaran dimulai pada hari sabtu dan berakhir pada hari
kamis. Waktu belajar dimulai pada pagi hari dan berakhir setelah sholat ashar.
Biasanya sehabis sholat dhuhur para murid pulang ke rumah untuk makan.[37]
Dari uraian tersebut
dapat dikatakan bahwa para murid pada siang hari lebih banyak bergaul dengan
guru dan para murid lainnya di kuttab. Adapun murid yang berada dalam pemeliharaan
seorang guru, pergaulannya dengan seorang guru lebih lama dari murid-murid lain
yang harus pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. Karena itu, dapat
diasumsikan bahwa guru yang mengajar di kuttab adalah orang yang
terdekat selain orangtua.[38]
Apakah pendidikan dasar
di kuttab hanya diikuti oleh murid lelaki saja? Anak-anak perempuan pun
memperoleh hak yang sama dengan anak laki-laki dalam belajar, karena menuntut
ilmu adalah wajib bagi orang Islam. Walaupun begitu, keikutsertaan perempuan
belajar secara terbuka diperselisihkan. Menurut Sjalaby dikutip oleh Abuddin
Nata, ia menolak adanya murid perempuan ikut secara langsung belajar dengan
murid lelaki di kuttab, meskipun dia mengakui adanya pengajaran
untuk perempuan dan anak-anak perempuan.[39]
b.
Karakteristik Mahasiswa
1)
Pembagian Mahasiswa
Mahasiswa adalah pelajar pada perguruan tinggi. Mereka
belajar di perguruan tinggi harus melewati pendidikan dasar dan menengah.
Berbeda dengan sekarang, di masa klasik seorang mahasiswa cukup menyelesaikan pelajaran
di lembaga pendidikan dasar. Mahasiswa ditujukan pada mereka yang belajar di halaqah-
halaqah dalam masjid atau di madrasah sebagai kalanjutan dari kuttab
atau pendidikan dasar.[40]
Pada masa klasik ini, mahasiswa diklarifikasikan ke
dalam: (1) tingkat mahasiswa relatif, (2) penerima beasiswa, (3) mahasiswa
inti/pilar dan (4) peserta di kelas.[41]
Tingkat mahasiswa relatif terbagi kepada pemula (mubtadi),
pertengahan (mutawassit) dan tertinggi (muntahin). Sementara
mahasiswa inti/pilar (foundationer) dibagi ke dalam mutafaqqih
dan faqih. Mutafaqqih adalah mahasiswa yang berada di tingkat akhir (muntahun)
dalam kelas reguler. Sedangkan faqih adalah mahasiswa yang sudah selesai
di tingkat akhir dan mendapat persetujuan (licence) untuk mengajar fiqih
dan memberi fatwa resmi. [42]
Pembagian mahasiswa oleh Makdisi ini tampaknya dilihat
dari berbagai sudut pandang. Ada pembagian mahasiswa dilihat dari berbagai
sudut pandang dilihat dari tingkat sebagaimana pembagian pada umumnya. Ada
pembagian mahasiswa dilihat dari jumlah beasiswa yang diperoleh dan ada
pembagian mahasiswa dilihat dari keaktifan mereka mengikuti perkuliahan.[43]
2)
Waktu dan Lama Belajar
Waktu belajar empat hari
dalam seminggu. Tiga hari lainnya yaitu selasa, jumat dan sabtu sebagai hari
libur. Jadwal kegiatan hari-hari normal di madrasah dan masjid akademi dimulai
pada pagi hari dan berakhir pada malam hari. Pagi hari sampai tengah hari diisi
oleh mu’id (mahasiswa paling senior) dan mufid (mahasiswa senior
yang membantu mahasiswa pemula). Mu’id dan mufid mengulangi
materi yang diajarkan syaikh sebelumnya.[44]
Lama belajar bagi
mahasiswa untuk menyelesaikan bidang hukum, selama empat tahun. Selanjutnya
untuk mempelajari bidang studi lain sampai mereka mendapat ijazah mengajar
memerlukan waktu yang berbeda bagi setiap mahasiswa. Ibn Wahab (197/813)
belajar dengan Malik bin Anas selama 20 tahun. Ali bin Isa Al-Raba’i
(410/1019), belajar di bawah asuhan Abu Ali Al-Fahrisi selama 20 tahun. Sharif
Abu Ja’far belajar dengan Qadi Abu Ya’la kurang lebih 23 tahun.[45]
Ada juga sebagian
mahasiswa yang belajar di bawah asuhan guru besar yang berbeda. Ibn Al-Banna
misalnya, dia belajar fiqih di bawah asuhan Abu Tahir bin Al-Ghubari
(432/1014), Abu Ali bin Musa (428/1037), Abu Al-Fadl (410/1019) dan Abu Faraj
Al-Tamimi (425/1034). Abd Al-Ghafir Al-Farisi belajar dengan pamannya, kemudian
belajar dengan Abd Al-Razzaq Al-Mani’i, setelah itu dia belajar dengan imam Al-Haramain
Al-Juwaini selama empat tahun.[46]
Dari uraian di atas dapat
dipahami bahwa berbedanya alam belajar untuk satu orang mahasiswa terkait
dengan mata kuliah yang diambil, dosen (syaikh) yang mengajar dan kemampuan
mahasiswa itu sendiri. Dikutip dalam bukunya Abuddin Nata, Hanun Asrohah
menyatakan, alasan mengapa batas waktu juga harus ditempuh oleh mahasiswa tidak
seragam adalah:[47]
·
Karena guru-guru, bahkan
lembaga-lembaga pendidikan tidak pernah menawarkan pelajaran khusus yang harus
diselesaikan pada waktu tertentu; dan
·
Sudah menjadi ciri sistem
pendidikan Islam di masa klasik, bahwa pelajar diberi kebebasan untuk belajar
kepada siapa saja dan kapan saja ia menyelesaikan pelajarannya.[48]
3)
Keadaan Mahasiswa
Tidak terbatasnya waktu yang ditempuh oleh seseorang
mahasiswa untuk memperdalam satu bidang studi memberikan kesempatan kepada
mahasiswa menjaid orang yang ahli dalam bidangnya. Seorang mahasiswa juga bebas
memilih dosen yang disukai dan berganti dengan dosen lain yang diinginkan.[49]
Kebebasan ini memberikan
kesempatan kepada mahasiswa memiliki jaringan guru dengan aneka pengalaman yang
didapat. Dikutip dalam bukunya Abuddin Nata, menurut Ahmed para mahasiswa
membuat daftar para dosen yang pernah mengajarnya. Daftar ini sebagai bukti
bahwa dia belajar kepada guru/ulama (dosen) yang terkenal. Tampaknya bagi
mahasiswa tertentu belajar dengan beberapa dosen memberikan kebanggaan
tersendiri.[50]
Mahasiswa pada masa
klasik, terbagi kepada mahasiswa yang belajar di Masjid Jami’ secara
halaqah dan mahasiswa yang belajar di madrasah-madrasah. Mahasiswa yang belajar
di Masjid Jami’ ada yang tinggal di rumah-rumah dekat masjid dan ada
pula yang tinggal di asrama. Mereka pada umumnya belajar secara cuma-cuma.
Berbeda dengan mahasiswa yang khusus belajar di rumah dosen tertentu, mahasiswa
ini harus membayar sesuai kesepakatan dengan dosen tersebut. Sementara itu,
mahasiswa yang belajar di madrasah bisa mengajukan beasiswa dan fasilitas
asrama.[51]
Para mahaisiswa yang belajar,
mereka duduk mengelilingi seorang syaikh (dosen). Mahasiswa yang memiliki
pengetahuan lebih tinggi duduk di depan. Beberapa di antaranya menjadi shubbab
(persahabatan), mereka ini memiliki pergaulan yang akrab dengan dosen. Bahkan
ada diantara mereka ada yang diangkat menjadi mu’id atau mufid. Mu’id
dan mufid ini membantu dosen untuk membimbing para mahasiswa pada
sore hari.[52]
C.
Tugas dan Peran Pendidik
1.
Masa Klasik
a.
Pranata Sosial dan Guru
1)
Guru-guru yang mengajar
sekolah kanak-kanak (mu’allim al-kuttab)
Para mu’allim al-kuttab (guru sekolah kanak-kanak)
mempunyai status sosial yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan
mereka yang dangkal dan kurang berbobot. Mereka dituduh menyebabkan lahirnya
kesan yang kurang baik terhadap profesi guru. Di kota Palermo terdapat kurang
lebih 300 orang guru sekolah kanak-kanak (mu’allim al-kuttab) yang
kebanyakan di antara mereka menderita sakit sawan, ceroboh dan bodoh. Namun
demikian, tidak semua mu’allim al-kuttab ceroboh dan bodoh. Ada sebagian
mereka yang ahli dalam bidang sastra, khat dan fuqaha’. Mereka inilah
golongan guru mu’allim al-kuttab yang dihormati dan dihargai seperti al-
Hajaja, Al-Kumait, Abdul Hamid Al-Katib, Atha’ bin Abi Rabah dan lain-lain.[53]
2)
Para guru yang mengajar
pada putra mahkota (muaddib)
Berbeda dengan mu’allim al-kuttab, para muaddib
(pendidik putera mahkota) mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak
sedikit para ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib. Hal
ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat,
di antaranya adalah alim, berakhlak mulia dan dikenal masyarakat. Diantara muaddib
yang terkenal adalah Al-Dhohhak ibnu Muzahhim Amir Asl-Sya’bi (pendidikan
putra-putra Khalifah Abdul Malik ibnu Marwan), Al-Ja’du ibnu Adham (pendidik
Marwan ibnu Muhammad), Yahya ibnu Chalid Al-Barmaki, Al-Kisai (pendidikan Harun
al-Rasyid), Al-Ahmar (pendidik Al-Amin), Al-Jazidi (pendidik al-Makmun) dan
lain sebagainya.[54]
3)
Para guru yang memberikan
pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah
Guru-guru dari golongan
ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi di hadapan
masyarakat. Hal ini disebabkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan yang
begitu mendalam (rasikh) dan berbobot. Diantara mereka adalah guru ilmu
syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan lain-lain. Banyak para guru yang dibunuh
pada masa Khalifah Abdul Malik Ibnu Marwan karena menganut paham Khawarij.
Namun ada beberapa guru yang berhaluan khawarij selamat dari pembantaian karena
keilmuan yang ia miliki.
Terdapat beberapa guru
dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat, diantaranya adalah Abul
Aswad Al-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wada’ah, Syuarik Al-Qadhi, Muhammad ibnu
Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud dan lain sebagainya.[55]
b.
Peranan Guru dalam
Kehidupan Masyarakat
Keberadaan guru tidak diragukan lagi dalam kehidupan
masyarakat mempunyai arti yang penting. Sosok jiwa yang bersih sepi ing
pamrih senantiasa menjadi dambaan masyarakat. Guru-guru pada masa klasik
selalu dikelilingi oleh para siswa yang datang dari berbagai pelosok wilayah
dunia yang bertujuan mendengarkan langsung kajian yang dibawakan oleh gurunya.
Karenanya tidak mengherankan apabila sosok individu guru yang alim dan terkenal
lebih dominan daripada lembaga pendidikan yang formal. Tokoh-tokoh istimewa
tertentu, yang telah mempelajari hadis dan membangun sistem teologi serta hukum
yang berlaku di kalangan mereka, senantiasa menarik perhatian murid-murid dari
daerah yang jauh dan dekat untuk menuntut ilmu pengetahuan dari mereka. Maka
ciri utama pada masa ini adalah pentingnya peranan individu guru.[56]
Sang guru atau pendidik, setelah memberikan pelajaran
kepada muridnya agar menyampaikan ilmunya kepada siapa yang membutuhkannya
terutama kaum Muslimin. Baru kemudian tradisi memberikan ijazah sebagai bukti
atas selesainya pelajaran yang telah diikuti oleh para murid pada masa Syaikh
‘Allamah Agha Buzurk, salah seorang ulama di al-Najaf telah mencurahkan
tenaganya guna mengumpulkan, mencatat dan menyusun sejumlah syahadah-syahadah
yang pernah dikeluarkan oleh atau untuk ulama-ulama terkenal. Dokumen ijazah
yang terkenal paling tua dalam sejarah pendidikan Islam adalah ijazah yang
dikeluarkan pada bulan Shafar tahun 304 Hijriah, diberikan oleh Muhammad Ibnu
Abdullah Ibnu Ja’far Al-Himyari kepada Abu Amir Said Ibnu ‘Amr, karena telah
menyelesaikan kitab Qurhul Isnad.[57]
Sudah menjadi tradisi pendidikan Islam pada masa klasik,
bahwa guru tidak pernah membatasi kapan murid harus selesai belajar kepadanya,
kecuali ia telah menyelesaikan (khatam) kitab yang dikajinya. Murid
diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja dan bahkan guru
tidak pernah menawarkan pelajaran secara khusus yang harus diselesaikan oleh
murid pada waktu tertentu.[58]
Walaupun demikian, tidak berarti guru bebas melepaskan
muridnya kemanapun ia pergi dan mencari ilmu. Guru tetap mempunyai tanggung
jawab atas keberhasilan murid yang pernah belajar kepadanya. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Al-Jarnuzi dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim bahwa
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan membutuhkan arahan guru.
Karena guru dianggap telah mengetahui bakat yang dimiliki oleh murid, sehingga
guru bertanggung jawab atas keberhasilan muridnya.[59]
Kemudian secara sosiologis guru mempunyai tanggung jawab
terhadap masyarakat yang berada di sekitar madrasah. Karena keberadaan madrasah
akan mempunyai dampak yang positif bagi masyarakat manakala madrasah dapat
membantu memainkan peranan dalam pembangunan masyarakat. Selain itu, guru juga
mempunyai tanggung jawab dalam memantau perkembangan anak didik yang berada di
lingkungan masyarakat sekitar madrasah. Bagaimana pergaulan anak dan peranan
apa yang dapat dimainkan anak. Guru mempunyai tugas mengontrolnya sekalipun
guru sendiri secara sosiologis punya kewajiban untuk menjadi dinamisator dalam
kehidupan masyarakat.[60]
Guru pada masa klasik memegang peranan yang penting dalam
proses pendidikan anak, mulai dari menentukan perancanaan sampai
melaksanakannya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa ini
disebut dengan teacher oriented. Selain itu, guru pada masa ini teratur sudah
melaksanakan tugas dan memberikan secara sungguh-sungguh dan memperlakukan
murid secara adil tanpa ada diskriminasi.[61]
Menurut Hasan Hafidz dikutip dalam bukunya Abuddin Nata,
Sejarah Pendidikan Islam menjelaskan secara umum peran guru dapat dibedakan
menjadi dua yakni sebagai murabbi dan penggerak masyarakat. Sebagai murabbi
dan penggerak masyarakat. Sebagai murabbi ia mempunyai tanggung
jawab menjaga kepribadian anak dan mengembangkan segala potensi yang
dimilikinya. Sedangkan sebagai penggerak masyarakat, ia mempunyai kewajiban
untuk memberikan layanan pada masyarakat dengan baik, membangkitkan dan
mengangkatnya ke peradaban yang lebih maju.
Dalam Al-Ghozali, guru sebagai murabbi hendaknya
dapat memberikan pendidikan dan pengajaran terhadap anak melalui konsep dan
latihan budi pekerti dan dihubungkan dengan lahirnya kebaikan dan kualitas
moral. Menurutnya, anak mempunyai hati yang bening dan lembut bagai permata dan
lilin yang suatu saat dapat dibentuk dan dikembangkan. Apabila diberi contoh
budi pekerti yang baik dan dibiasakan untuk mengerjakannya, niscaya ia akan
berkembang secara perlahan dan pasti mengarah kepada kebaikan.[62]
Sedangkan guru sebagai penggerak masyarakat, ia
diharapkan tidak membatasi diri sibuk dalam kegiatan kelas yang dibatasi oleh
dinding yang memisahkan dirinya dengan kehidupan masyarakat. Namun ia dapat
menyatu dengan masyarakat dimana ia hidup dan sambil mengontrol perkembangan
anak didiknya dalam kehidupan bermasyarakat.[63]
Para mū’addib, mū’allim dan ustaż pada masa klasik, mereka
mampu memainkan peran dalam kehidupan masyarakat dengan cara bergabung dalam
institusi-institusi keilmuan dan perkumpulan-perkumpulan pribadi yang mereka
bangun. Mereka melakukan transformasi keilmuan secara ekstensif melalui dialog
dan praktik-praktik secara terbuka guna mendidik tenaga profesional dalam
bidangnya, seperti Zakaria AL-Razi, yang mendidik sambil melakukan praktik
kedokteran dan menangani pasien di rumah sakit. Hal ini ia lakukan untuk
melatih tenaga muda yang profesional agar dapat mengabdikan dirinya dalam
kehidupan bemasyarakat.[64]
c.
Organisasi Guru pada Masa
Klasik
Keberadaan guru mempunyai
pengaruh yang penting dalam suatu pemerintahan, bahkan kekuasaannya mempunyai
andil yang besar dalam kekuasaan khalifah. Hal ini tampaknya tidak terlalu
berlebihan, karena guru terhimpun dalam suatu organisasi yang mempunyai power
yang dapat mengendalikan kepentingan khalifah, khususnya dalam hal pengangkatan
dan pemberian izin untuk menjadi pengajar di suatu masjid. Abu Syamah
mengatakan “Syarikat gurulah yang berhak untuk menentukan dan memberikan izin
kepada seornag guru untuk menjadi pengajar di sebuah masjid walaupun khalifah
mempunyai kekuasaan. Namun, dalam hal pemberian izin khelifah meminta
pertimbangan dan persetujuan kepada syarikat guru.”[65]
Sekalipun organisasi guru
pada saat itu belum tertata rapi sedemikain rupa sebagaimana lazimnya sebuah
organisasi, tapi keberadaannya mempunyai andil yang besar dalam sebuah
pemerintahan dan bahkan organisasi guru dijadikan corong untuk menyebarkan
ajaran atau aliran yang dianut oleh penguasa. Hal ini sebagaimana yang terjadi
mampu memainkan peran membantu pemerintah dalam menyebarkan aliran atau ajaran
yang diyakini oleh penguasa pada saat itu.[66]
2.
Jaman Now
Guru adalah
kunci kualitas sebuah sekolah. Dalam bukunya Munif Chatib, Sekolahnya Manusia terdapat
kutipan pidato Miriam Kronish, Kepala Sekolah SD John Eliot, Needham,
Massachusetts yang merupakan sekolah terbaik di Amerika, mengatakan dalam
sebuah pidato :
“ Masa depan pendidikan Amerika ditentukan oleh sebuah
kekuatan. Jika saja kami memiliki kekuatan, kekuatan tersebut adalah program
utama di sekolah kami, yaitu pelatihan guru. Guru tidak hanya cukup membaca
metode-metode pembelajaran terbaru. Guru harus dilatih di dalamnya, seperti
halnya aktor atau penyair perlu dilatih. Setelah, guru baru bisa mengajarkan
kepada orang lain. Guru profesional adalah gelombang masa depan Amerika. “[67]
Guru di masa jaman now,
diharuskan memiliki ilmu yang nyegoro, maksudnya yaitu memiliki banyak
ilmu seluas dan sedalam samudra. Perkembangan zaman, peserta didik sekarang
lemah sedikit kebingungan bertanya pada google , sehingga dari sini
perlunya terus menggali semangat belajar seumur hidup baik untuk pendidik
maupun calon pendidik supaya bisa menumbuhkembangkan potensi, merawat dan
melindungi peserta didik.
D.
Kompetensi
Pendidik (Profesional, Pedagogik, Kepribadian/Personal, Sosial Dan Kepemimpinan)
1.
Kompetensi Mengajar Guru
pada masa Klasik
Menurut al-Qosqosamdi
dikutip dalam buku Sejarah Pendidikan Islam (Abuddin Nata), menjelaskan bahwa
syarat untuk bisa menjadi seorang guru pada masa Khalifah Fatimiyah di Mesir
secara umum dapat digolongkan ke dalam dua syarat:[68]
1)
Syarat Fisik:
a)
Bentuk badannya bagus
b)
Manis muka (selalu
berseri-seri)
c)
Lebar dahinya
d)
Bermuka bersih
2)
Syarat Psikis:
a)
Berakal sehat
b)
Hatinya beradab
c)
Tajam pehamannya
d)
Adil terhadap siswa
e)
Bersifat perwira
f)
Sabar dan tidak mudah
marah
g)
Bila berbicara
menggambarkan keluasan ilmunya
h)
Perkataanya jelas dan
mudah dipahami
i)
Dapat memilih perkataan
yang baik dan mulia
j)
Menjauhi perbuatan yang
tidak terpuji
Menurut Abdurrahman
an-Nahlawi dikutip dalam buku Sejarah Pendidikan Islam (Abuddin Nata),
menyarankan agar guru dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, ia harus
memiliki sifat-sifat sebagai berikut:[69]
1)
Tingkah laku dan pola
pikir guru bersifat Rabbani, hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam
surat Ali Imran ayat 79: Akan tetapi hendaklah kalian menjadi orang-orang
rabbani. Yakni, hendaknya dapat menaati, mengabdi dan mengikuti syariat
Allah. Jika guru telah memiliki sifat rabbani, maka tujuan mendidik
menjadi optimal karena guru dapat mengantarkan anak didiknya mencapai ketaatan
yang lahir dari proses pembentukan kesadaran.
2)
Guru harus ikhlas.
Sebagai seorang guru hendaknya profesi guru dijadikan sebagai wahana untuk
semata-mata mengharapkan ridha Allah. Jika guru telah dikuasai oleh hawa
nafsunya, yang terjadi adalah guru menjadikan profesi mengajar sebagai
pekerjaan sampingan karena pada umumnya pendapatan seornag guru rendah dan hal
inilah yang menyebabkan mereka akhirnya tidak serius dalam mengajar.
3)
Guru sabar dalam
mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada anak-anak. Hal ini memerlukan
latihan yang berulang kali serta variasi metode yang tidak mudah membosankan.
4)
Guru jujur dalam
menyampaikan apa yang diserukannya. Tanda kejujuran itu ialah menerapkan
anjurannya pertama-tama pada dirinya sendiri.
5)
Guru senantiasa membekali
dirinya dengan ilmu pengetahuan dan bersedia untuk meningkatkan kualitas
pribadinya.
6)
Guru mampu menggunakan
berbagai metode yang bervariasi dan mempu memilih metode sesuai dengan
kebutuhan anak.
7)
Guru mampu mengelola
siswa, tegas bertindak serta meletakkan berbagai permasalahan secara
profesional.
8)
Guru mempelajari
kehidupan psikis anak selaras dengan tingkat usia perkembangannya, sehingga ia
dapat memperlakukan siswa sesuai dengan kemampuan akal dna kesiapan psikis
mereka.
9)
Guru tanggap terhadap
berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi jiwa anak, sehingga
ia dapat memahami dan mampu bertindak pada saat menghadapi berbagai problem
akibat dari modernitas.
10)
Guru bersikap adil kepada
semua anak didiknya, tidak membedakan antara satu dengan lainnya.[70]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam istilah bahasa Arab
kata pendidik berasal dari tarbiyah diartikan sebagai pendidikan, dan murobbi
sebagai pendidik. Asal kata robba , yurobbi, tarbiyatan. Robbun
memiliki tiga makna paling tidak yang perlu dipahami; (1) menumbuhkan atau
mengembangkan potensi peserta didik (menggali), (2) merawat atau dalam Islam
dikenal dengan makna merawat dari yang fitri sehingga tidak menyimpang
(merawat sesuatu yang suci sehingga tidak kotor), (3) melindungi peserta didik
sehingga terhindar dari sesuatu yang membahayakan. Dalam Islam hakikat pendidik
itu ada 4 pengertian yaitu; Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Orangtua dan
Pendidik/pengajar.
Peserta didik menurut
Maragustam, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anggota masyarakat yang
berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan menjadi manusia yang
mempunyai ilmu, iman-takwa serta berakhlak mulia sehingga mampu menjalankan fungsinya
sebagai pengabdi/beribadah kepada Allah dan sebagai khalifah. Terdapat pendidik dan peserta didik di masa klasik dan
masa sekarang (jaman now).
B.
Kata Penutup
Puji syukur kepada Allah atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari tentunya masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Penulis
berharap makalah ini dapat berkontribusi bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Agama RI., Al-Qur’an Al-Jamil, Bekasi:
Cipta Bagus Segara, 2012.
Maragustam,
Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global,
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997.
, Sejarah Pendidikan Islam Pada
Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: Raja Grafindo, 2010.
Putra
Daulay, Haidar, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, Jakarta:
Kencana, 2014.
Shihab, Quraish, Menyingkap
Tabir Ilahi, Jakarta: Lentera, 2005.
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Semarang: Widya Karya,
2015.
Sukring, Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Tobroni,
Pendidikan Islam Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas, Malang:
UMM Press, 2008.
[1] Maragustam, Filsafat
Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global,
(Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016), hal. 203.
[2]Tobroni, Pendidikan Islam Paradigma Teologis,
Filosofis dan Spiritualitas, (Malang: UMM Press, 2008), hal. 107.
[3] Sukring, Pendidik dan Peserta
Didik dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hal. 77.
[5] Maragustam, Filsafat
Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global..., hal.
203-204.
[15] Haidar Putra Daulay, Pendidikan
Islam dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 103.
[21] Suharso dan Ana
Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya Karya,
2015), hal. 158.
[29] Maragustam, Filsafat
Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global...,
hal. 215.
[30] Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2010), hal. 130.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar