Selasa, 24 Juli 2018

Makalah: TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN


TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
 “Kebijakan dan Kepemimpinan Pendidikan Islam”
http://fairuzelsaid.files.wordpress.com/2010/08/logo-uin-suka-baru-warna.jpg
Dosen Pengampu : Dr. Sabarudin, M.Si 
Disusun oleh:
Wahyu Lenggono       ( 17204010149 )
Dini Fauziyati             ( 17204010156 )
Musabbihin                 ( 17204010157 )
Kelas: I A


PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan anugerah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN dengan baik. Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai teori-teori kebijakan publik membahas teori proses kebijakan dan teori perumusan kebijakan.
Diharapkan makalah  ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat kepada kita tentang teori-teori kebijakan publik. Penulis menyadari bahwa makalah atau karya tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan karya tulis ini.
Wassalaamualaikum wr.wb

Yogyakarta, 13 Maret 2018

Tim Penulis                                                                     






                          

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                 
Kebijakan publik memiliki peran penting, menjadi tombak masa depan dalam pengambilan keputusan. Tentu perlu proses dan perumusan yang baik dalam penentuan kebijakan publik. Ada banyak teori mengenai dua hal tersebut, karena perkembangan zaman sehingga memungkinkan teori-teori baru bermunculan. Perlunya memilah teori-teori yang berkaitan dengan proses dan perumusan  kebijakan publik yang relevan dengan sekarang era milenial.
Sehingga dalam makalah ini akan dikemukakan teori-teori baik itu teori proses maupun perumusan kebijakan publik. Mahasiswa magister ataupun calon dosen pendidikan agama Islam patut untuk memahami kebijakan publik sebagai penerus bangsa yang memegang tombak masa depan sehingga suatu hari nanti jika memang diamanahi sebuah jabatan tinggi yang menentukan kebijakan publik setidaknya pernah mengenyam mata kuliah Kebijakan dan Kepemimpinan Pendidikan Islam khususnya mengenai teori-teori kebijakan publik baik proses maupun perumusan. Karena belajar itu tidak hanya belajar, tentu kemudian dipraktekkan. Praktek tanpa teori kurang lengkap apalagi diposisi sebagai akademisi.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana teori proses kebijakan publik?
2.      Bagaimana teori perumusan kebijakan publik?

C.    Tujuan

1.      Mengetahui dan memahami teori proses kebijakan publik..
2.    Mengetahui dan memahami teori perumusan kebijakan publik.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori-Teori Proses Kebijakan
Stella Theooulou (2005) sebagaimana dikutip Rian Nugroho (2015) mengemukakan “ Linear Approach on Policy Procces (pendekatan linear pada proses kebijakan)” yang memecahnya menjadi enam tahap yang berubah-ubah:
1.      Pengenalan masalah – masalah yang berpotensi dikenali
2.      Penetapan agenda – masalah yang dianggap berharga untuk diperhatikan dan ditetapkan dalam agenda
3.      Perumusan kebijakan – berbagai kebijakan yang dibuat untuk menghadapi masalah yang telah ditetapkan dalam agenda
4.      Adopsi kebijakan – kebijakan resmi disetujui
5.      Implementasi kebijakan – kebijakan public yang secara resmi telah disetujui untuk dilakukan tindakan
6.      Analisis dan evaluasi kebijakan – kebijakan yang diimplementasikan dievaluasi efektivitasnya.[1]
Proses kebijakan publik dapat dipahami sebagai serangkaian tahap atau fase kegiatan untuk membuat kebijakan publik. Walaupun rangkaian tahap ini tampak bersifat linear, dalam kenyataanya, tahap-tahap tersebut umumnya justru sebaliknya, yakni non-linear atau iteratif. Para ahli kebijakan publik berbeda-beda dalam menamai atau mengelompokan tahap-tahap tersebut. Namun demikian, umumnya proses pembuatan kebijakan publik dapat dibedakan kedalam lima tahap berikut: penentuan agenda (agenda setting), perumusan alternative kebijakan (policy formulation), penetapan kebijakan (policy legitimation), pelaksanaan atau implementasi kebijakan (policy implementation), dan penilaian atau evaluasi kebijakan (policy evaluation)[2].

1.      Penentuan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda politik. sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa maslah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.[3]
Istilah agenda dalam kebijakan publik, antara lain diartikan sebagai daftar perihal atau masalah untuk mana pejabat pemerintahan, dan orang-orang diluar pemerintahan yang terkait erat dengan para pejabat tersebut, memberikan perhatian serius pada saat tertentu (kingdom, 1995). Dengan makna agenda tersebut, penentuan agenda merupakan proses untuk menjadikan suatu masalah agar mendapat perhatian dari pemerintah Kraft & Furlong (2007: 71) mendefinisikan penentuan agenda sebagai how problems are perceived and defined, command attention, and get onto the political agenda (bagaimana masalah-masalah dipandang dan dirumuskan, mengarahkan perhatian, dan masuk menjadi agenda politik). Proses tersebut dimulai dari kegiatan mendefinisikan masalah, yakni kegiatan yang berkaitan dengan pengenalan dan perumusan isu-isu yang perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah. Isu-isu tersebut senyatanya merupakan keadaan yang berkembang di dalam masyarakat. Keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat atau sebagaian besar masyarakat sebagai suatu ketidaknyamanan, yang kemudian memunculkan kesadaran dan kebutuhan masyarakat untuk mengubah keadaan tersebut melalui tindakan-tindakan pemerintah.[4]
Dalam praktik, masyarakat adalah suatu sistem kepentingan yang terbentuk karena keanekaragaman keadaan, kemampuan, kebutuhan, harapan, dan nilai dari warga masyarakat. Keanekaragaman tersebut menjadikan keadaan yang dapat dinilai sebagai suatu ketidaknyamanan juga berbeda-beda antar warga, baik perorangan maupun kelompok. Implikasinya, perumusan mengenai suatu keadaan yang dapat disebut sebagai masalah kebijakan merupakan peristiwa penting dalam proses kebijakan. Tarik menarik argumentasi, persuasi, dan bahkan koreksi antar kelompok masyarakat mengenai definisi masalah dapat disebut sebagai politik perumusan masalah. Dengan pemahaman tersebut, Durant (1998: 215) menjelaskan pelbagai definisi masalah menghadirkan ruang lingkup konflik, hadirin yang menentukan hasil perkelahian (flight), dan akhirnya, siapa yang memenangkan pertempuran (battle). Penjelasan Durant tersebut paling tidak dapat menegaskan dua hal. Pertama, politik mendefinisikan masalah adalah gambaran dari proses penyelenggaraan pemerintahan. Kelompok kepentingan dan partai politik, untuk menyebut sebagian actor kebijakan, berjuang untuk memenangkan masalah. Kedua, politik pendefinisian masalah juga mencerminkan strategi yang digunakan oleh actor kebijakan untuk membangun argument mereka tentang masalah kebijakan dan menjadikan argument tersebut sebagai opini publik yang luas.[5]
Para ahli kebijakan publik telah banyak mengemukakan pendapat atau model tentang bagaimana berlangsungnya proses penentuan agenda. Tujuannya adalah untuk menjelaskan mekanisme dan dinamika dari transformasi suatu kondisi dalam masyarakat menjadi suatu masalah kebijakan yang harus dicarikan jalan keluarnya melalui penggunaan kekuasaan pemerintahan untuk membuat kebijakan. Berikut ini adalah contoh dari model penetapan agenda.[6]
a.       Model Kingdom
Kesadaran dan kebutuhan masyarakat untuk mengubah kondisi yang mereka alami melalui tindakan-tindakan pemerintah dapat disebabkan oleh berbagai factor. Kingdom( 1984), menunjukan bahwa masalah kebijakan dapat diidentifikasi melalui penggunaan suatu indicator, munculnya peristiwa-peristiwa tertentu, atau umpan balik suatu program. Tahap ini dapat melibatkan sejumlah besar partisipan, baik individu maupun kelompok dan institusi. Pendefinisian masalah ini, yang selanjutnya diikuti dengan penentuan agenda, biasanya berkenaan dengan penentuan masalah-masalah yang diprioritaskan. Pada tahap ini, pertanyaannya adalah masalah apakah yang akan memperoleh prioritas dari para pembuat kebijakan.



b.      Model Cobb dan Elder
Upaya untuk menjelaskan mengapa beberapa isu mendapat perhatian pemerintah, sementara beberapa isu lain diabaikan juga dilakukan oleh Cobb dan Elder (1972). Mereka mencoba menjawab pertanyaan ini dengan membuat perbedaan antara agenda sistemik berisi semua masalah yang muncul dan mendapat perhatian masyarakat secara luas. Namun demikian, hanya beberapa dari masalah tersebut yang akan memperoleh perhatian dari para pembuat kebijakan. Apabila suatu maslah telah memperoleh perhatian serius para pembuat kebijakan, makai a berstatus sebagai agenda institusional.
Proses perluasan dan control agenda tersebut mencakup lima aspek, yakni kreasi isu, penekanan oleh media masa, perluasan pada public yang lebih luas, pola akses, dan agenda pengambil keputusan. Cobb dan Elder (dalam Parsons, 1995: 128) juga menjelaskan bahwa untuk dapat memperoleh perhatian public yang meluas, suatu isu perlu memiliki karakteristik tertentu. Berbagai karakteristik isu tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Semakin kabur pendefinisian suatu isu, semakin besar kecenderungan isu tersebut mencapai ublik yang meluas (derajat kekhususan).
b.      Semakin signifikan perumusan suatu isu bagi masyarakat, semakin besar kecenderungan isu tersebut dapat diperluas pada public yang lebih besar (ruang lingkup signifikan masyarakat).
c.       Semakin didefinisikan sebagai memiliki relevansi jangka Panjang, semakin besar peluang  suatu isu untuk disampaikan pada masyarakat yang lebih besar (relevansi waktu)
d.      Semakin tidak teknis pendefinisian suatu isu, semakin besar kecenderungan isu tersebut diperluas pada public yang lebih besar (derajat kompleksitas)
e.       Semakin suatu isu didefinisikan sebagai memiliki ketiadaan contoh di masa lalu yang jelas, semakin besar peluang isu tersebut diperluas pada masyarakat yang lebih besar (kategosisasi presiden).




2.      Formulasi Kebijakan
Masalah yangtelah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan maslah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternative atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalh untuk masuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternative bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing actor akan bermain untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.[7]
Formulasi kebijakan menunjuk pada proses perumusan pilihan-pilihan atau alternative kebijakan yang dilakukan dalam pemerintahan. Schattschneider (dalam Rochefort & Cobb, 1993: 57) sangat menggaris bawahi signifikansi tahap ini dengan menyatakan bahwa definisi alternative kebijakan adalah instrument kekuasaan yang sangat hebat. Pandangan Schattschneider tersebut sangat mudah dipahami, terutama karena proses selanjutnya dalam pembuatan kebijakan akan bertolak dari definisi alternative tersebut. Kraft & Furlong (2007: 71) menyatakan pengertian formulasi kebijakn sebagai desain dan penyusunan rancangan tujuan kebijakan serta strategi untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Dari pengertian itu terlihat bahwa paling tidak terdapat dua aktifitas utama dari formulasi kebijakan, yakni pertama, perancangan tujuan kebijakan. Aktivitas tersebut tentu saja sangat berkaitan dengan rumusan maslah kebijakan, namuna, perancangan tujuan Pendidikan akan dapat berbeda dari rumusan maslah kebijakan, sejalan dengan dinamika yang berlangsung didalam dan diluar komunitas kebijakan yang umumnya terdiri atas pejabat-pejabat pemerintah, kemompok kepentingan, akademisi, professional, bdan-badan penelitan, kelompok pemikir, dan wirausaha kebijakan. Kedua, formulasi kebijakan sekaligus juga menyangkut strategi  pencapaian tujuan kebijakan. Dengan aktivitas tersebut, termuat penegasan bahwa dalam setiap alternative kebijakan, sejak awal perlu dirumuskan langkah-langkah yang semestinya dilakukan apabila alternative tersebut dipilih menjadi kebijakan.[8] 



3.      Penetapan Kebijakan
Penetapan kebijakan pada adasaranya adalah pengambilan keputusan terhadap alternative kebijakan yang tersedia. Penetapan kebijakan menurut Kraft & Furlong (2007: 71) merupakan mobilisasi dari dukungan politik dan penegasan kebijakan secara formal termasuk justifikasi untuk tindakan kebijakan. Pertama, penetapan kebijakan merupakan proses yang dilakukan pemerintah untuk melaksanakan suatu pola tindakan tertentu atau sebaliknya, untuk tidak melakukan tindakan tertentu. Kedua, penetapan kebijakan berkaitan dengan pencapaian consensus dalam pemilihan alternative-alternatif yang tersedia. Tahap ini juga berkenaan dengan legitimasi dari alternative yang dipilih, yakni berupa suatu rancangan dengan tindakan-tindakan yang ditetapkan menjadi peraturan perundang-undangan.[9]
Berbagai model telah banyak dirumuskan oleh para sarjana dalam menunjukan ketepatan penetapan kebijakan. Diantara pelbagai model tersebut adalah model rasional-komprehensif, model incremental, model campuran, model keranjang sampah, dan model politik birokrasi.[10]
4.      Pelaksanaan Kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatanelit, jika program tersebut tidak di implementasikan. Oleh karena itu , keputusan-keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternative pemecahan masalah harus diimlementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.[11]
Pelaksanaan atau implementasi kebijakan bersangakut paut dengan ikhtiar-ikhtiar untuk mencapai tujuan dari ditetapkannya suatu kebijakan tertentu. Tahap ini pada dasarnya berkaitan dengan bagaimana pemerintah bekerja atau proses yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjadikan kebijakan menghasilkan keadaan yang direncanakan. Matland (1995: 145) mencatat bahwa literature mengenai implementasi kebijakan secara umum terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok dengan pendeketan dari atas dan kelompok dengan pendekekatan dari bawah. Kelompok dengan pendekatan dari atas (top down) melihat perancang kebijakan sebagai actor sentral dalam implementasi kebijakan. Selain itu, kelompok top-down juga memusatkan perhatiannya factor-faktor yang dapat dimanipulasi pada tingkat sentral atau pada variable yang bersifat makro. Pada sisi lain, kelompok dari bawah (buttom-up) menekankan pada dua hal, yakni kelompok-kelompok sasaran dan para penyedia layanan. Pemberian tekanan kepada dua hal tersebut menurut kelompok buttom-up didasarkan pada pemikiran bahwa kebijakan senyatanya dibuat pada tingkat local. Dengan pemikiran tersebut, kelompok buttom up berfokus pada variable yang bersifat mikro. Kemudian muncul kelompok yang ketiga, yang mencoba menyerasikan kedua kelompok tersebut dengan fokus pada aspek ambiguitas dan konflik dari implementasi kebijakan.[12]
5.      Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan public pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteia-kriteia yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan public telah meraih dampak yang diinginkan.[13]
Secara umum, Rossi & Freeman (1985: 13) menyatakan lima alasan mengapa evaluasi dilakukan. Evaluations are undertaken for a variety of reason: to judge the worth of ongoing programs and to estimate the usefulness of attempts to improve them; to assess the utility of innovative program and intiatives; to increase of program management and administration; and to meet various accountability requirements. Evaluation may also contribute to substantive and methodological social science knowledge.


Dari kutipan tersebut, Rossi & Freeman menunjukan bahwa terdapat empat alasan yang bersifat empiric atau praktis dan satu alasan yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Keempat alasan praktis tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Evaluasi dilakukan untuk menilai kelayakan program yang sedang berlangsung dan untuk mengestimasi kemanfaatan upaya-upaya untuk memperbaikinya.
2.      Evaluasi dilakukan untuk menaksir kemanfaatan dari inisiatif dan program yang bersifat inovatif.
3.      Evaluasi dilakukan untuk meningakatkan efektivitas dari administrasi dan manajemen program.
4.      Evaluasi dilakukan untuk memenuhi berbagai persyaratan akuntabilitas.
Selain itu, dalam perspektif pengembangan ilmu pengetahuan, evaluasi dilakukan untuk memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan sosial, baik yang bersifat substantif maupun yang bersifat metodologis.[14]













B.     Teori-Teori Perumusan Kebijakan
Perumusan kebijakan adalah pijakan awal dalam kebijakan publik. Dalam khazanah teori perumusan kebijakan, dikenal tiga belas jenis perumusan kebijakan yaitu[15]:
1.      Teori Kelembagaan
Formulasi kebijakan teori kelembagaan secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Jadi, apa pun yang dibuat pemerintah dengan cara apa pun adalah kebijakan publik. Ini adalah teori yang paling sempit dan sederhana dalam formulasi kebijakan publik. Teori ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat, dalam formulasi kebijakan. Disebutkan Dye (19), ada tiga hal yang membenarkan pendekatan ini, yaitu bahwa pemerintah memang sah membuat kebijakan publik, fungsi tersebut bersifat universal, memang pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan dalam kehidupan bersama.
Teori kelembagaan sebenarnya merupakan derivasi dari ilmu politik tradisional yang lebih menekankan struktur daripada proses atau perilaku politik. Prosesnya mengandaikan bahwa tugas formulasi kebijakan adalah tugas lembaga-lembaga pemerintahyang dilakukan secara otonom tanpa berinteraksi dengan lingkungannya. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terabaikannya masalah-masalah lingkungan tempat kebijakan itu diterapkan.[16]
2.      Teori Proses
Dalam teori ini para pengikutnya menerima asumsibahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Untuk itu, kebijakan public merupakan juga proses politik yang menyertakan rangkaian kegiatan.[17]
No.
Kebijakan Publik sebagai Proses
1.
Identifikasi permasalahan
Mengemukakan tuntutan agar Pemerintah mengambil tindakan.
2.
Menata agenda formulasi kebijakan
Memutuskan isu apa yang dipilih dan permasalahan apa yang hendak dikemukakan.
3.
Perumusan proposal kebijakan
Mengembangkan proposal kebijakan untuk menangani masalah tersebut.
4.
Legitimasi kebijakan
Memilih satu buah proposal yang dinilai terbaik untuk kemudian mncari dukungan politik agar dapat diterima sebagai sebuah hukum.
5.
Implementasi kebijakan
Mengorganisasikan birokrasi, menyediakan pelayanan, pembayaran dan pengumpulan pajak.
6.
Evaluasi Kebijakan
Melakukan studi program, melaporkan outputnya, mengevaluasi pengaruh (impact) dan kelompok sasaran dan non sasaran dan memberikan rekomendasi penyempurnaan kebijakan.

3.      Teori Kelompok
Teori pengambilan kebijakan teori kelompok mengendalikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Ini gagasannya adalah interaksi dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan,hal itu merupakan yang terbaik. Disini individu dalam kelompok akan menghasilkan kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara langsung atau melalui media masa menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan public yang diperlukan. Disini peran dari sistem politik adalah untuk memenejemen konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan, melalui[18]:
a)      Merumuskan aturan main antar kelompok kepentingan.
b)      Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan.
c)      Memungkinkan terbentuknya kompromi dalam kebijakan publik (yang akan dibuat).
d)     Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.
Teori kelompok merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan yang di dalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif.
4.      Teori Elit
Teori elit berkembang dari teori politikelit-massa yang melandaskan diri pada asumsi bahwa dalam setap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elit dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori ini mengembangkan diri kepada kenyataan bahwa sedemokratis apapun, selalu ada bias dalam formulasi kebijakan,karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elit, tidak lebih.[19]
Ada dua penilaian dalam pendekatan ini, negative dan positive. Pada pandangan negative dikemukakan bahwa pada akhirnya dalam system politik, pemegang kekuasaan politiklah yang akan menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selera dan keinginannya. Dalam konteks ini, rakyat dianggap sebagai kelompok yang sengaja dimanipulasi sedemikian rupa agar tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Pemilihan umum pun bukan bermakna pastisipasi melainkan mobilisasi.
            Pandangan positif melihat bahwa seseorang elit menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan gagasan bahwa negara-negara ke kondisi yang lebih baik dbandingkan dengan pesaingnya. Pemimpin (atau elit) pasti mempunyai visi tentang kepemimpinannya, dan kebijakan publik adalah bagian dari karyanya untuk mewujudkan visi tersebut menjadi kenyataan. Soekarno memilih politik sebagai panglima sementara Soeharto memilih ekonomi sebagai panglima. Tidak ada yang secara mutlak keliru, ini hanya masalah preferensi dari visi setiap elit serta tentang bagaimana tujuan atau cita-cita bangsa yang sudah disepakati akan dijalani melalui jalur yang diyakininya.
              Prosesnya, elit secara top down membuat kebijakan public untuk diimplementasikan oleh administrator publik kepada rakyat banyak atau massa. Pendekatan ini apat dikaitkan dengan paradigma pemisahan antara politik dengan administrasi publik yang diikonkan dalam konstanta Woodrow Wilson, where politics end, administrations begin.
              Jadi teori elit merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan yang kebijakan publiknya merupakan perspektif elit politik. Prinsip dasarnya adalah karena elit politik ingin mempertahankan status quo maka kebijakannya menjadi bersifat konservatif. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elit politik tidaklah berarti selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat. Ini adalah kelemahan-kelemahan dari teori elit.[20]
5.      Teori Rasionalisme
              Teori ini mengedepakan gagasan bahwa kebijakan public sebagai maximum social gain, yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Teori ini dikembangkan dari teori cost-benefit analysis, sebuah teori yang diawali di US Corps and Engines (semacam Departemen Pekerjaan Umum) tahun 1930-an dalma rangka membangun hubungan dan jembatan. Tidak dipungkiri, teori ini adalah teori yang paling banyak diikuti dalam praktik formulasi kebijakan publik di seluruh dunia.[21]
              Teori ini mengatakan bahwa proses formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Dengan kata lain, teori ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan:
a.       Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya.
b.      Menemukan pilihan-pilihan.
c.       Menilai konsekuensi masing-masing pilihan.
d.      Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan.
e.       Menilai alternatif kebijakan yang paling efisien.[22]
              Apabila dirunut, kebijakan ini merupakan teori ideal dalam formulasi kebijakan, dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Studi-studi kebijakan biasanya memberikan fokus pada tingkat efesiensi dan kefektipan kebijakan. Namun demikian, kebijkakan ini mempunyai beberapa kelemahan pokok, yakni konsep maximum  social gain bebrbeda-beda diantara kelompok kepentingan.
              Kedua, sangat sulit dicapai kebijakan yang maximum social gain mengingat patologi birokrasi yang cenderung melayani diri sendiri daripada melayani publik. Kenyataan ini sulit diingkari mengingat pegawai negeri adalah institusi yang kurang memberikan insentif yang memadai, sehingga menciptakan kecendrungan korupsi, termasuk mengorupsi kebijakan publik.
              Namun demikian, idealisme dari teori rasional ini perlu diperkuat dan ditingkatkan, karena disepanjang sejarah kenegaraan, selalu ada negarawan-negarawan dan birokrat-birokrat profesional yang mengabdiakn diri secara tulus kepada kemajuan bangsanya daripada sekedar mencari keuntungan pribadi. Oleh karena itu, teori rasional ini perlu menjadi kajian dalam proses formulasi kebijakan.
              Teori rasional ini juga dikenal dengan teori “rasional komprehensif (PK)”. Ada beberapa penulis yang memilih menggunakan konsep rasional komprehensif  dengan memasukkan faktor “kekomprehensifan“ di dalamnya. Unsur-unsur dalam teori PK ini tidak jauh berbeda dengan rasional, yaitu:
a.       Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalh lain, atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain.
b.      Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang menedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat diterpkan rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.
c.       Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara bersama.
d.      Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan oleh setiap alternatif yang dipilih diteliti.
e.       Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan dengan alternatif lainnya.
f.       Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-akibatnya yang dapat memaksimalkan tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang digariskan.
Pada akhirnya, teori ini berhadapan dengan kritikan bahwa para pengambil keputusan tidak mampu merumuskan “masalah” itu sendiri, sehingga kebijakannya justru tidak rasional.
Herbert Simon menemukan bahwa dalam keputusan administrasi, rasionalitas sebenarnya tidaklah ada;yang ada adalah bounded rationality karena rasionalitas tergantung kepada manusianya dan rasionalitas manusia ditentukan oleh irasionalitas yang ada di belakang rasionalitasnya. Pada prakteknya, pengambil keputusan acap kali tidak mempunyai cukup cakapan untuk melakukan syarat-syarat dari teori ini, mulai dari analisis, penyajian alternatif, hingga penggunaan teknik-teknik analisis komputer yang paling maju untuk menghitung rasio untung-rugi. Rasionalisme menjadi irasionalisme yang dijustifikasi, baik secara ilmiah maupun secara kekuasaan, sebagai rasionalisme.[23]
6.      Teori Inkrementalis
            Teori inkrementalis pada dasarnya merupakan kritik terhadap teori rasional. Dikatakannya, para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang disyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki cukup waktu, intelektual, maupun biaya, ada kekhawatiran akan munculnya dampak yang tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan dan menghindari konflik.[24]
Teori ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan dari kebijakan masa lalu. Teori ini dapat dikatakan sebagai teori pragmatis/praktis. Pendekatan ini diambil ketika pengambil kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul di sekelilingnya. Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan beberapa modifikasi seperlunya. Pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerintah yang berada di lingkungan masyarakat yang pluralistik yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh warga. Inti kebijakan inkrementalis adalah berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahankan kinerja yang telah dicapai.
7.      Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning)
Teori ini merupakan upaya menggabungkan antara teori rasional dengan teori inkremental. Inisiatornya adalah pakar sosiologi organisasi, Amita Etzioni tahun 1967. Ia memperkenalkan teori ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan pokok dan incremental, menetapkan proses-proses fomulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok, dan menjalankanya setelah keputusan ini tercapai. Teori ini ibaratnya pendekatan dengan dua kamera: kamera dengan wide angle untuk melihat keseluruhannya, dan kamera dengan zoom untuk melihat detailnya.[25]
            Pada dasarnya, teori ini adalah teori yang amat menyederhanakan masalah. Etzioni pun hanya memperkenalkan dalam sebuah papernya dalam Public Administration review Desember 1967 dengan judul “Mixed Scanning: A Third  Approach to Decission Making”. Namun harus diakui, di Indonesia teori ini disukai karena merupakan “teori kompromi”, meski tidak efektif.
8.      Teori Demokratis
Beberapa pengajar di Indonesia belakangan ini sering mengelaborasi sebuah teori yang berintikan bahwa penngambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari Stakeholder. Teori ini dapat dikatakan sebagai “Teori Demokratis” karena menghendaki agar setiap “pemilik hak demokrasi” diikut-sertakan sebanyak-banyaknya.[26]
       Teori ini berkembang khususnya di negara-negara yang baru saja mengalami transisi ke demokrasi, seperti Indonesia. Gambaran sederhana dapat diandaikan dalam sebuah proses pengambilan keputusan demokratis dalam teori politik. Teori ini biasanya dikaitkan dengan implmentasi good governance bagi pemerintah yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituten dan pemamfaat (benificiaries) diakomodasi keberadaanya.
Teori yang dekat dengan dengan teori “pilihan public” ini baik, namun kurang efektif dalam mengatasi masalah-masalah yang kritis, darurat, dan dalam kelangkaan sumber daya. Namun, jika dapat dilaksanakan teori ini sangat efektif dalam implementasinya, karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan, karena setiap pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan.[27]
9.      Teori Strategis
Meskipun disebut “strategis” pendekatan ini tidak mengatakan bahwa pendekatan lain “tidak strategis”. Initinya adalah bahwa pendekatan ini menggunakanan rumusan runtutan perumusan strategi sebagai basis perumusan kebjakan. Salah satu yang banyak dirujuk adalah John D. Bryson, seorang pakar perumusan strategi bagi organisasi non-bisnis.[28]
            Bryson mengutip Olsen dan Eadie untuk merumuskan makna perencanaan strategis, yaitu upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau entitas lainnya), apa yang dikerjakan organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya) mengerjakan hal lain seperti itu. Perencanaan strategis masyarakat pengumpulan imformasi secara luas eksplorasi alternative, dan menekankan implikasi masa depan dengan keputusan sekarang.
Perencanaan strategis lebih memfokuskan kepada pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan  kepada penilaian terhadap lingkungan di luar dan di dalam organisasi, dan berorientasi pada tindakan. Perencanaan strategis dapat membantu organisasi untuk :
a.       Berpikir secara strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif.
b.      Memperjelas arah masa depan.
c.       Menciptakan prioritas.
d.      Membuat keputusan sekarang dengan mengingat konsekuensi masa depan.
e.       Mengembangkan landasan yang koheren dan kokoh bagi formulasi keputusan.
f.       Menggunakan keleluasaan yang maksimum dalam bidang-bidang yang berada di bawah.
g.      Control organisasi.
h.      Membuat keputusan yang melintasi tingkat dan fungsi.
i.        Memecahkan masalah organisasi.
j.        Mengenai keadaan yang berubah dengan cepat secara efektif.
k.      Membangun kerja kelompok dan keahlian.
Proses perumusan strategis sendiri disusun dalam langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Memprakarsai dan menyepakati proses perencanaan strategis, yang meliputi kegiatan.
b.      Memahami mamfaat proses perencanaan strategis, mengembangkan kesepakatan awal.
c.       Merumuskan panduan proses.
d.      Memperjelas mandat dan misi organisasi, yang meliputi kegiatan perumusan misi dan mandat organisasi.
e.       Menilai kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman. Proses ini melibatkan kegiatan perumusan hasil kebijakan yang diinginkan, manfaat-manfaat kebijakan, analisis SWOT (penilaian lingkungan ekstenal dan internal), proses penilaian, dan panduan proses penilaian itu sendiri.
f.       Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi oleh organisasi. Proses ini melibatkan kegiatan-kegiatan merumuskan hasil dan manfaat yang dinginkan dari kebijakan, merumuskan contoh-contoh isu strategis mendiskripsikan isu-isu strategis.
g.      Merumuskan strategi untuk mengelola isu.
Teori ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai salah satu derivate manajemen dari teori rasional karena mengandaikan bahwa proses prumusan kebijakan adalah proses rasional, dengan perbedaan bahwa teori ini lebih focus pada rincian-rincian langkah manajemen. [29]
10.  Teori Permainan
Teori seperti ini biasanya di cap sebagai teori konspiratif. Teori permainan sudah mengemuka setelah berbagai pendekatan secara rasional tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul yang sulit diterangkan dengan fakta-fakta yang tersedia,  karena sebagian besar dari kepingan fakta tersebut tersembunyi erat.
Gagasan pokok dari kebijakan dalam teori permainan adalah pertama, formulasi kebijakan berada dalam situasi kompetisi yang intensif, dan kedua, [para actor berada dalam situasi pilihan yang tidak independen ke dependen melainkan situasi pilihan yang sama-sama bebas atau independen. Sama seperti sebuah  catur, setiap langkah akan bertemu dengan  kombinasi langkah lanjut dan langkah balasan yang masing-masing relatif bebas.[30]
Teori permainan adalah teori yang sangat abstrak dan deduktif dalam formulasi kebijakan. Teori ini mendasarkan pada formulasi kebijkan yang rasional, namun dalam kondisi kompetisi yang tingkat keberhasilan kebijakannya tidak lagi hanya ditentukan oleh actor pembuat kebijakan, namun juga aktor-aktor lain.
Secara sederhana konsep formulasi kebijakan dalam teori permainan dapat dilihat pada matriks berikut ini.

                                                       Permain A
                                                       Alternatif Aı                                        Alternatif A2
Pemain B           Alternatif Bı            efek                                                      efek
                           Alternatif B2                efek                                                      efek
Catatan : yang dimaksud sebagai efek adalah outcome, sementara output dipahami sebagai hasil
             Konsep kunci dari teori permainan adalah strategi, yang konsep kuncinya bukanlah yang paling optimum namun yang paling aman dari serangan lawan. Jadi, didasarnya konsep ini mempunyai tingkat konservasitifitas yang tinggi, karena pada intinya adalah strategi defensive. Pendekatan teori permainan ini dapat dikembangkan sebagai strategi ofensif terlebih apabila yang bersangkutan berada dalam posisi superior.
          Inti dari permainan yang terpenting adalah bahwa ia mengakomodasi kenyataan paling riil, bahwa setiap Negara, setiap pemerintah, setiap masyarakat tidak hidup dalam fakum. Ketika kita mengambil keputusan maka lingkungan tidak pasif, melainkan membuat keputusan yang bisa menurunkan keefektivan keputusan kita. Di sini teori permainan memberikan kontribusi yang paling optimal.
11.  Teori Pilihan Publik
          Teori kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah prosesformulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Akar kebijaksanaan ini sendiri berakar dari teori ekonomi pilihan public (economic of public choise) yang mengandaikan bahwa manusia adalah homo ecnomicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dipuaskan. Prinsipnya adalah buyer meet seller; supply meet demand.
            Pada intinya, setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan  pilihan dari publik yang menjadi panggung (beneficiaries atau consumer dalam konsep ekonomi). Proses formulasi kebijakan public dengan demikian melibatkan public melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum, ia adalah konsep formulasi kebijakan publik yang paling demokratis karena yang memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Sebuah pemikiran yang dilandasi gagasan John Locke bahwa pemerintah adalah sebuah lembaga yang muncul dari kontrak social di antara individu-individu warga masyarakat.[31]
Teori ini membantu untuk menjelaskan, kenapa para pemenang pemilu acap kali gagal memberikan yang terbaik kepada masyarakat karena mereka lebih berkepentingan kepada publik nya yaitu para pemberi suara atau pendukungnya . teori ini juga membantu kita memahami kenapa kebijakan-kebijakan publik tempatnya selalu di tengah-tengah dari kebijakan yang liberal maupun konservatif.


            Teori kebijakan publik, meski ideal dalam konteks demokrasi dan kontrak social, namun memiliki kelemahan pokok dalam realitas intraksi itu sendiri, karena intraksi akan terbatas pada publik yang mempunyai akses, dan disisi lain terdapat kecendrungan dari pemerintah untuk memuaskan pemilihannya daripada masyarakat luas. Tidak jarang kita melihat kebijakan publik yang seakan-akan adil namun apabila dikaji, ia hanya menguntungkan sejumlah kecil warga atau kelompok saja. Misalnya, konsep perdagangan bebas adalah konsep yang adil , namun keadilan itu akan lenyap apabila diterapkan dalam keadaan dimana terjadi kesenjangan antara sebagian kecil masyarakat yang sudah kompeten dan yang jauh dari kompeten. Seperti membuat jalan tol, yang memiliki mobil hanya 10% dari populasi, dan 90% sisanya bersepeda motor, bersepeda angi, dan berjalan kaki. Teori ini sesuai, namun ada ceteris paribusnya, yaitu apabila sudah tercapai kondisi kesetaraan di antara masyarakat.
12.  Teori Sistem
              Pendekatan ini pertama kali oleh David Easton yang melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya system biologi merupakan proses intraksi antara mahuk hidup dengan lingkungannya, yang akhirnya menciptakan keberlansungan perubahan hidup yang relative stabil. Dalam Terminologi ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan system politik. Dalam pendekatan ini dikenal tiga komponen: input, proses, dan output. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusanya perhatian pada tindakan-tindakan yang diakukan pemerintah, dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah.[32]
              Jadi, formulasi kebijakan publik dengan teori sistem mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari system (politik). Seperti dipelajari dalam ilmu politik, sistem politik terdiri dari input, throughput, dan output,
Text Box: I
N
P
U
T
Oval: A
POLITICAL
SYSTEM
Text Box: O
U
T
P
U
T

              Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa proses formulasi kebijakan publik berada dalam sistem politik dengan mengandalkan kepada masukan (input) yang terdiri dari dua hal yaitu tuntunan dan dukungan.
              Teori ini merupakan teori yang paling sederhana namun cukup komprehensif meski tidak memadai lagi untuk dipergunakan sebagai landasan pengambilan keputusan atau formulasi kebijakan publik.
13.  Teori Deliberatif
                 Teori deliberatif atau “musyawarah” pada perumusan kebijakan dapat juga dilihat pada bagian analisis kebijakan dengan teori deliberative policy analysis di depan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, teori ini dikembangkan oleh Maarten Hajer dan Henderik Wagenaar (2003) dengan mengembangkan konsep ini dari Frank Fischer dan John Forester yang menulis The Argumentative Turn in Policy Analysis and Planning (1993). Istilah lain yang digunakan adalah collaborative policy making. Proses analisis kebijakan teori publik “musyawarah”cini jauh berbeda dengan teori teknokratik, karena peran dari analisis kebijakan “hanya” sebagai fasilitator agar masyarakat menemukan sendiri keputusan kebijakan atas diri sendiri. Prosesnya dapat disederhanakan sebagai berikut.[33]
                 Peran pemerintah di sini sebagai legalisator dari “kehendak publik”. Sementara peran analisis kebijakan analisis sebagai prosesor proses dialog publik agar menghasilkan keputusan publik untuk dijadikan sebagai kebijakan publik.
    
 






    

                 Mengapa publik perlu dilibatkan? Tampa publik, proses kebijakan akan kering dan sangat berbau teknokratis. Sebagaimana pernyataan klasik, kepada siapa pada akhirnya kaum teknokrat bertanggung jawab?kepada rakyat atau kepada elit politik dan pemerintahan yang menyewa atau menggunakan jasanya? Perntanyaan ini berpulang pada fakta bahwa para jenius seperti Einstein juga menghasilkan bom atom yang tidak pernah mampu ia kendalikan pemanfaatannya. Ketika temuan itu dijadikan senjata pemusnah massal, yang terjadi hanyalah penyesalan. Analisis kebijakan adalah teknokrat social, yang seharusnya belajar dari rekannya, teknokrat ilmu alam, yang menjadi “korban” keserakahan kekuasaan politik.[34]
14.  Teori Lain?
                   Di luar teori ini terdapat sejumlah teori yang menurut penulis tidak cikup relevan untuk dimasukan dalam kategori “teori”, di antaranya adalah teori “garbage cans” atau kantong sampah, dengan metode garbage in, garbage out,[35] yang pada intinya mengandaikan bahwa teori kebijakan seperti memasukan tangan ke kantong sampah. Karena yang masuk adalah sampah, yang keluar adalah sampah. Teori ini juga dapat diapahami sebagai sebuah pemahaman bahwa pengambil kebijakan mengamil secara acak (baca:asal(-aasalan) atau sembarangan) kebijakan dari “sekeranjang” alternative kebijakan yang ada atau pernah ada atau yang disajikan kepadanya. Unsur “kesembarangan” ini dinilai dekat dengan unsur “kesembronoan”, dan pada akhirnya berujung kepada rendahnya kualitas “akuntabilitas publik” dari kebijakan itu sendiri.
                   Teori lain yang tidak dibahas disini adalah teori yang disebut Kingdom (2003) sebagai policy window yang dipahami sebagai sebuah kondisi di aman terdapat ruang di mana mereka yang “berada di luar rumah” melakukan intervensi “melalui jendela”, yang bias jadi mewakili kepentingan mereka sendiri. Di dalam praktik politik, hal ini sring terjadi, dan dalam pemahaman teori pertukaran, mereka dapat disebut sebagai The Free Riders.[36]















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Proses kebijakan publik dapat dipahami sebagai serangkaian tahap atau fase kegiatan untuk membuat kebijakan publik. Dalam studi kebijakan publik, melalui penggunaan pendekatan politik akan dihasilkan proses kebijakan.[37] Pada umumnya  teori-teori proses kebijakan ada lima yaitu;1. Penentuan Agenda, 2. Formulasi Kebijakan, 3. Penetapan Kebijakan, 4. Pelaksanaan Kebijakan, 5. Evaluasi Kebijakan.
                  Sedangkan perumusan kebijakan adalah pijakan awal dalam kebijakan publik. Dalam khazanah teori perumusan kebijakan, dikenal tiga belas jenis perumusan kebijakan yaitu: 1. Teori Kelembagaan, 2. Teori Proses, 3. Teori Kelompok, 4. Teori Elit, 5. Teori Rasionalisme, 6. Teori Inkrementalis, 7. Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning), 8. Teori Strategis, 9. Teori Demokratis, 10. Teori Permainan, 11. Teori Pilihan, 12. Teori Sistem, 13. Teori Deliberatif.

B.     Kata Penutup
Puji syukur kepada Allah atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari tentunya masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat berkontribusi bagi pembaca.





DAFTAR PUSTAKA


H.A.R Tilaar, H.A.R. dan Nugroho, Riant.  Kebijakan Pendidikan (Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Hamdi, Muchlis. Kebijakan Publik Proses, Analisis, dan Partisipasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014.
Kusumanegara, Solahuddin. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gava Media, 2010.

Nugroho, Riant. Kebijakan Publik Negara-Negara Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Winarno, Budi. Kebijakan Publik teori & Proses, Jakarta: PT Buku Kita, 2007.







Rian Nugroho, Kebijakan Publik Negara-Negara Berkembang, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2015),
hal. 114.
[2] Muchlis Hamdi, Kebijakan Publik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014), hal. 62.
[3] Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori & Proses, (Jakarta: PT Buku Kita, 2007), hal. 33.
[4] Muchlis Hamdi, Kebijakan Publik ..., hal. 80.
[5] Muchlis Hamdi, Kebijakan Publik, ..., hal. 80-81.
[6] Ibid…, hal. 81
[7] Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori & Proses, ..., hal. 33.
[8]  Muchlis Hamdi, Kebijakan Publik, ..., hal. 88.
[9]  Muchlis Hamdi, Kebijakan Publik ..., hal. 94.
[10] Ibid…, hal. 94
[11] Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori & Proses..., hal. 34.
[12] Muchlis Hamdi, Kebijakan Publik..., hal. 97-98.
[13] Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori & Proses..., hal. 34.
[14] Muchlis Hamdi, kebijakan publik ..., hal. 107-108.
[15] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 190.
[16] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 191.
[17] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 192.
[18] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 192.
[19] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 193.
[20] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 195.
[21] Ibid., hal 195.
[22] Ibid., hal 195.
[23] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 195.
[24] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 198.
                [25] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 200.
                [26] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 201.

[27] Ibid…, hal. 201
                [28] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 202.

[29] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 204.
                [30] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 204.

[31] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 206.
[32] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 208.
[33] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 209.
[34] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 210.

[36] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 210.

[37] Solahuddin Kusumanegara, Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gava Media, 2010), hal. 19. 



Makalah: TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN

TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah   “Kebijakan dan Kepemimpinan ...