Nama Allah “ Al-Quddus”
Mozaik 1
Menguak Arti & Makna Al-Quddus
Dalam kamus munawwir (1997) Al-Quddus berasal dari bahasa Arab قَدُسَ – قُدْساً و قَدَاسَةً yang berarti “suci”.[1] Pada
beberapa kamus bahasa Arab antara lain karya Alfairuzabady mengemukakan bahwa
arti quddus itu suci murni atau yang penuh keberkatan. Disebutkan pada surat
al-Hasyr 59:23 kata Quddus yang mengandung makna kesucian disebut menyusul kata
“malik” untuk menunjukkan kesempurnaan kerajaan-Nya sekaligus menampik adanya
kesalahan, pengrusakan atau kekejaman dari-Nya, karena kekudusan seperti
menurut al-Biqo’iy dalam tafsirnya (Nazem Addurar) adalah kesucian yang tidak
menerima perubahan, tidak disentuh oleh kotoran dan terus menerus terpuji
dengan langgengnya sifat kekudusan itu.
Ada juga yang memahami sifat Allah sebagai Quddus dalam arti bahwa
Allah mengkuduskan hamba-Nya, dalam arti mensucikan hati manusia-manusia
pilihan-Nya, para nabi dan awliya’-Nya. Kekudusan mengandung tiga aspek yakni;
kebenaran, keindahan dan kebaikan, sehingga Allah Maha Quddus itu Dia Yang Maha
indah, Maha baik, Maha benar dlam zat, sifat dan perbuatan-Nya, keindahan,
kebenaran dan kebaikan yang tidak ternodai oleh sesuatu apapun. Dari sini
kemudian datang perintah mensucikan Allah dari segala sifat kekurangan. Jika
demikian, maka mengkuduskan Allah, mengandung makna yang lebih dalam dan luas
dari sekedar bertasbih kepada-Nya, karena pengkudusan mengandung makna menetapkan
sifat kesempurnaan yang disertai dengan pensucian dari segala kekurangan.
Sedangkan mensucikan-Nya dari segala kekurangan baru sampai pada tahap
negasi/penafikan kekurangan.
Imam Ghozali menjelaskan makna salah satu Asmaul Husna ini dengan
menyatakan bahwa Allah yang Quddus itu Maha Suci dari segala sifat yang dapat
dijangkau oleh indra, dikhayalkan oleh imajinasi, diduga oleh yang terlintas
dalam nurani dan pikiran. Al-Quddus menurut Al-Ghozali dalam arti, Maha Suci
dari segala sifat kesempurnaan yang diduga oleh banyak makhluk, karena;
pertama, mereka memandang kepada diri mereka dan mengetahui sifat-sifat mereka
serta menyadari adanya sifat sempurna pada diri mereka seperti pengetahuan, kekuasaan,
pendengaran, penglihatan, kehendak dan kebebasan.
Al-Ghozali tidak mengatakan : bebas dari segala kecacatan dan
ketidaksempurnaan, karena menyebutkan itu saja sudah mendekati menghina;
tidaklah baik kalau mengatakan : raja negeri itu bukan tukang tenun dan bukan
tukang pembuat gelas, karena menafikan eksistensi sesuatu dapat secara tidak
benar menyiratkan kemungkinan eksistensi sesuatu itu, dan dalam implikasi yang
tidak benar itu terdapat ketidaksempurnaan. Namun Al-Ghozali, beliau lebih baik
mengatakan: Maha Suci adalah yang melebihi setiap sifat yang sempurna yang
dianggap oleh kabanyakan makhluk sebagai kesempurnaan. Karena makhluk mula-mula
berpaling ke dirinya, menyadari sifat-sifatnya dan mengetahui bahwa mereka
dibagi menjadi (1) apa yang sempurna pada diri mereka, seperti pengetahuan dan
kemampuan mereka, pendengaran, penglihatan dan bicara mereka, kehendak dan
pilihan mereka sehingga mereka
menggunakan kata-kata ini untuk menyampaikan makna-makna ini, dan mengatakan
bahwa istilah-istilah kesempurnaan. Tetapi sifat-sifat itu juga mengandung (2)
apa yang tidak sempurna berkenaan dengan mereka, seperti kebodohan mereka,
kebutaan mereka, ketulian mereka, kebisuan mereka, kelemahan mereka dan mereka
menggunakan kata-kata ini untuk menyampaikan makna-makna ini.
Jadi yang dapat mereka lakukan, untuk memuji Allah Ta’ala dan
menyifatinya-Nya, adalah (1) melukisnya Dia dengan sifat-sifat yang diambil
dari kesempurnaan mereka dari pengetahuan, kemampuan, pendengaran, penglihatan
dan pembicaraan dan (2) meniadakan Dia dari sifat-sifat yang diambil dari
ketidaksempurnaan mereka.Namun Allah segala puji bagi Dia yang Maha Tinggi
melebihi sifat-sifat yang diambil dari kesempurnaan mereka. Dia juga mengatasi
sifat-sifat yang mencerminkan ketidaksempurnaan mereka. Sungguh, Allah bebas
dari setiap sifat yang dapat dipahami makhluk; Dia mengatasi semua itu dan
apapun yang sama dengan semua itu atau seperti semua itu. Jadi, jika tidak ada
wewenang atau izin yang diberikan untuk menggunakan sifat-sifat itu, tentu
menggunakan kebanyakan dari sifat-sifat itu juga dilarang.
Nasihat dari Al-Ghozali, hamba akan suci kalau dia membebaskan
pengetahuan dan kehendaknya. Dia harus membebaskan pengetahuannya dari khayalan
dan dari segala persepsinya. Persepsi-persepsi ini sebagian juga dimiliki oleh
binatang. Studinya yang terus menerus
dan bidang studinya hendaknya berkenaan dengan hal-hal ilahiyah yang
benar-benar bebas dari keharusan lebih dekat untuk persepsi indra, atau semakin
menjauh sedemikian sehingga tersembunyi darinya. Jadi, dia akan membebaskan
diri dari segala khayalan, dengan mengambil dari ilmu-ilmu apa yang masih dapat
dimanfaatkan seandainya orang kehilangan organ-organ indrawi dan imajinasi
dengan demikian tersegarkan kembali bentuk-bentuk pengetahuan yang mulia,
universal, dan ilahiyah yang berkenaan dengan objek-objek pengetahuan yang
abadi dan bukan dengan individu-individu yang berubah-ubah dan dapat
dibayangkan.
Mozaik 2
Allah Maha Suci dan Hambanya yang Tak Luput Dosa
Al-Quddus artinya (Allah) Maha Suci. Allah Maha Suci dari segala
sifat kekurangan, kesalahan, pelupa dan dari segala sifat yang dipandang cacat.[2]
Allah memberi karunia yang luar biasa pada manusia, yakni akal. Bukan berarti
dengan akal itu kita bisa membayangkan seperti apa bentuk Allah. Khayalan bahwa
Allah seperti ini, seperti itu menurut Ali Hasan (1997) hal demikian harus
dibersihkan dari pikiran dan hati kita.
Jika Allah Maha Suci, lalu bagaimana dengan ciptaannya? Ya, apalagi
kalau bukan manusia yang dalam istilah bahasa Jawa ‘menus-menus isine dosa’.
Sosok makhluk bukan jin bukan pula malaikat namun makhluk yang diciptakan oleh
Allah sebaik-baiknya yang memiliki akal pikiran dan nafsu. Manusia memang
sengaja dirancang sedemikian rupa untuk menjadi kholifah dibumi. Allah Maha
Suci tentu sangat berbeda dengan manusia yang hanya ciptaannya. Manusia sebagai
makhluk sosial tak dapat hidup sebatang kara, sosok manusia membutuhkan orang
lain dalam kehidupannya. Itulah, letak ketidaksempurnaan manusia.
Manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan, terkadang manusia itu
tak sadar akan kekuranganya bahkan tak berusaha menutup kekurangan dengan
kelebihan. Sabda Rosul menerangkan kalau manusia itu tempatnya salah dan lupa.
Faktanya, dalam beberapa kasus manusia kedua kalinya melakukan kesalahan yang sama.
Beruntung bagi muslim dan muslimah yang beriman dan bertaqwa. Ketika salah ia
sadar, dan ketika dia lupa dia ingat. Istighfar dan bertaubat pada Allah atas
segala dosa yang menjadikan manusia itu kotor. Hanya kepadaNya lah kita mohon
ampun dan hanya kepadaNya lah kita meminta pertolongan. Kata Mario teguh,
selagi tidak ada bahu untuk bersandar tapi masih ada sajadah untuk bersujud.
Mozaik 3
Buah Upaya Manusia Meneladani Sifat Allah “al-Quddus”
Saat pemuda lain tidur, maka ia bangun. Saat pemuda yang lain
bermain-main, maka ia bekerja. Saat pemuda yang lain putus asa, maka ia pantang
menyerah. Lebih mulia lagi saat pemuda melakukan sesuatu kebaikan kemudian yang
lain meniru. Subhanallah
Menjadi orang yang menginspirasi mereka. Maksudnya, kita bisa
mempengaruhi mereka membawa kepada kebaikan. Spirit untuk berubah lebih
baik dan menjadi sosok teladan. Sebagaimana Rosul yang menjadi tauladan yang
baik. Apalagi jika manusia itu sendiri meneladani sifat Tuhannya? Lantas, apa
yang bisa kita teladani dari sifat Allah yang Maha Quddus. Kesucian, yang telah
ada tertanam pada diri kita sebagai fitrah. Hal itu Allah karuniakan pada
setiap hambanya.
Kini kita bertanya apakah buah dari upaya manusia meneladani sifat
kekudusan Allah itu? Jika kita memahami kekudusan dalam arti yang dikemukakan
Imam Ghozali, maka menurut Hujjatul Islam (Pengurai kebenaran Islam) ini,
kekudusan seorang hamba adalah dengan mensucikan kehendak dan pengetahuannya.
Hendaknya bebas dari persoalan-persoalan yang bersifat indrawi atau imajinatif,
meraih pengetahuan yang seandainya indra
dan daya imajinasinya dicabut, dia tetap haus akan pengetahuan ilahiah. Baik
yang bersifat kulli maupun yang berkaitan dengan persoalan-persoalan azali (yang
kekal) bukan menyangkut hal-hal duniawiah yang sifatnya berubah-ubah atau
wujudnya mustahil.
Manusia disucikannya dari hal-hal yang bersifat egois, galau,
nikmat makan dan minum,fashions, sentuhan dan pandangan serta semua
nikmat tiada tara yang tidak dapat diraih kecuali melalui indra dan kalbu.
Jikalau pun ditawari namun hatinya
terlena (takut lupa sama Allah), hendaknya tidak menghendaki hal yang demikian,
kecuali Allah untuk mencapai ridho Allah. Tidak memiliki sesuatu kecuali Allah,
senantiasa rindu sama Allah (kerinduan ingin bertemu). Bahkan seandainya
ditawarkan kepadanya surga dan seluruh kenikmatannya – kehendaknya tidak
mengarah kesana. Karena hamba yang baik itu beribadah bukan semata-mata
merindukan surga tetapi untuk menggapai ridhonya. Walhasil menurut Al-Ghozali,
karena pengetahuan yang bersifat hissiyah (indrawi) atau khayaliah (imajinasi)
dimana binatangpun dapat meraihnya, maka manusia hendaknya meningkatkan diri
menuju apa yang bersifat khas manusiawi.
Demikian juga dengan syahwat manusia yang sama dengan syahwat
binatang, hendaknya dihindari oleh manusia yang meneladani sifat kekudusan
Allah. Keagungan seorang manusia ditentukan oleh keagungan kehendaknya. Siapa
yang kehendaknya berkisar pada apa yang masuk ke dalam perut, maka nilai
kemanusiaannya sama dengan apa yang keluar dari perutnya. Siapa yang tidak
mempunyai kehendak kecuali kepada Allah, maka derajad manusianya sesuai dengan
kadar kehendaknya itu. Demikian menurut Al-Ghozali.
Kekudusan gabunga dari tiga hal pokok; benar, indah dan baik. Nah,
buah dari sifat quddus dalam makna yang telah diuraikan tadi saat diteladani
akan dapat mengantarkan manusia menjadi ilmuwan, seniman dan budiman. Karena
mencari yang benar menciptakan ilmu, berbuat baik membuahkan etika dan mengekspreksikan
yang indah melahirkan seni. Meneladani Allah dalam sifat kekususan-Nya bahkan
bukan saja menurut kita untuk menjadi ilmuwan, budiman sekaligus seniman;
tetapi juga menuntut untuk menghadirkan Allah, pada ilmu yang kita pikirkan dan
amalkan, melalui seni yang kita ekspresikan serta dalam setiap budi daya yang
kita lakukan. Ini agaknya tidak sesulit seperti apa yang dikemukakan
Al-Ghozali. Nabi seringkali berdoa:
Maha suci Allah, Maha sempurna zat, sifat dan perbuatan Allah,
Tuhan kami dan para malaikat.[3]
Mozaik 4
Implementasi Sifat Allah “al-Quddus” pada Pendidikan
Maha Suci Allah yang menciptakan manusia laki-laki dan perempuan,
bersuku-suku yang kemudian mereka saling mengenal akan perbedaan yang menjadi rahmat.
Bineka tunggal ika, walaupun berbeda-beda tapi tetap bersatu.
Konsep belajar, belajar sebagai usaha untuk pintar dan menjadi
tabungan masa depan. Belajar adalah
sumber kehidupan, seperti air yang mengalir. Pikiran kita mengalir dan
dialirkan dengan konsep belajar. Jadi air tak akan mengalir tanpa dialirkan
melalui konsep menuju tempat yang membutuhkan air, begitu pula pikiran kita
jika kita tak belajar maka pikiran kita tak terkendali dan bahkan tidak bisa
memikirkan sesuatu kedepan. Pembelajaran berorientasi pada konsep belajar.
Seorang filosof dari Yunani mengatakan, apabila kita memberi ikan pada orang
lain, itu hanya untuk makan sekali saja. Berbeda jika kita mengajari cara
menangkap ikan, tentu orang itu dengan ketrampilam mencari ikan ia dapat
menghidupi dirinya sendiri dan orang lain. Bahkan bisa menghidupi seumur hidup.
Perlu diingat, bahwa konsep belajar menekankan pada perubahan perilaku.
Peran pendidik, jika sinetron didominasi dengan peran utama yang
sering kita dengar dengan istilah protagonis. Maka guru sebagai pahlawan yang
mendidik anak bangsa tentunya tak kalah dengan sinetron. Sebagaimana kompas
petunjuk arah, guru berperan mengarahkan. Sebagaimana pupuk pada tanaman, guru
menumbuh kembangkan dan memelihara potensi peserta didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar