Kamis, 26 Januari 2017

Makalah Akhlak: Nama Allah “ Al-Quddus”

Nama Allah “ Al-Quddus”
Mozaik 1
Menguak Arti & Makna Al-Quddus
Dalam kamus munawwir (1997) Al-Quddus  berasal dari bahasa Arab قَدُسَ – قُدْساً و قَدَاسَةً    yang berarti “suci”.[1] Pada beberapa kamus bahasa Arab antara lain karya Alfairuzabady mengemukakan bahwa arti quddus itu suci murni atau yang penuh keberkatan. Disebutkan pada surat al-Hasyr 59:23 kata Quddus yang mengandung makna kesucian disebut menyusul kata “malik” untuk menunjukkan kesempurnaan kerajaan-Nya sekaligus menampik adanya kesalahan, pengrusakan atau kekejaman dari-Nya, karena kekudusan seperti menurut al-Biqo’iy dalam tafsirnya (Nazem Addurar) adalah kesucian yang tidak menerima perubahan, tidak disentuh oleh kotoran dan terus menerus terpuji dengan langgengnya sifat kekudusan itu.
Ada juga yang memahami sifat Allah sebagai Quddus dalam arti bahwa Allah mengkuduskan hamba-Nya, dalam arti mensucikan hati manusia-manusia pilihan-Nya, para nabi dan awliya’-Nya. Kekudusan mengandung tiga aspek yakni; kebenaran, keindahan dan kebaikan, sehingga Allah Maha Quddus itu Dia Yang Maha indah, Maha baik, Maha benar dlam zat, sifat dan perbuatan-Nya, keindahan, kebenaran dan kebaikan yang tidak ternodai oleh sesuatu apapun. Dari sini kemudian datang perintah mensucikan Allah dari segala sifat kekurangan. Jika demikian, maka mengkuduskan Allah, mengandung makna yang lebih dalam dan luas dari sekedar bertasbih kepada-Nya, karena pengkudusan mengandung makna menetapkan sifat kesempurnaan yang disertai dengan pensucian dari segala kekurangan. Sedangkan mensucikan-Nya dari segala kekurangan baru sampai pada tahap negasi/penafikan kekurangan.
Imam Ghozali menjelaskan makna salah satu Asmaul Husna ini dengan menyatakan bahwa Allah yang Quddus itu Maha Suci dari segala sifat yang dapat dijangkau oleh indra, dikhayalkan oleh imajinasi, diduga oleh yang terlintas dalam nurani dan pikiran. Al-Quddus menurut Al-Ghozali dalam arti, Maha Suci dari segala sifat kesempurnaan yang diduga oleh banyak makhluk, karena; pertama, mereka memandang kepada diri mereka dan mengetahui sifat-sifat mereka serta menyadari adanya sifat sempurna pada diri mereka seperti pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, kehendak dan kebebasan.
Al-Ghozali tidak mengatakan : bebas dari segala kecacatan dan ketidaksempurnaan, karena menyebutkan itu saja sudah mendekati menghina; tidaklah baik kalau mengatakan : raja negeri itu bukan tukang tenun dan bukan tukang pembuat gelas, karena menafikan eksistensi sesuatu dapat secara tidak benar menyiratkan kemungkinan eksistensi sesuatu itu, dan dalam implikasi yang tidak benar itu terdapat ketidaksempurnaan. Namun Al-Ghozali, beliau lebih baik mengatakan: Maha Suci adalah yang melebihi setiap sifat yang sempurna yang dianggap oleh kabanyakan makhluk sebagai kesempurnaan. Karena makhluk mula-mula berpaling ke dirinya, menyadari sifat-sifatnya dan mengetahui bahwa mereka dibagi menjadi (1) apa yang sempurna pada diri mereka, seperti pengetahuan dan kemampuan mereka, pendengaran, penglihatan dan bicara mereka, kehendak dan pilihan mereka  sehingga mereka menggunakan kata-kata ini untuk menyampaikan makna-makna ini, dan mengatakan bahwa istilah-istilah kesempurnaan. Tetapi sifat-sifat itu juga mengandung (2) apa yang tidak sempurna berkenaan dengan mereka, seperti kebodohan mereka, kebutaan mereka, ketulian mereka, kebisuan mereka, kelemahan mereka dan mereka menggunakan kata-kata ini untuk menyampaikan makna-makna ini.
Jadi yang dapat mereka lakukan, untuk memuji Allah Ta’ala dan menyifatinya-Nya, adalah (1) melukisnya Dia dengan sifat-sifat yang diambil dari kesempurnaan mereka dari pengetahuan, kemampuan, pendengaran, penglihatan dan pembicaraan dan (2) meniadakan Dia dari sifat-sifat yang diambil dari ketidaksempurnaan mereka.Namun Allah segala puji bagi Dia yang Maha Tinggi melebihi sifat-sifat yang diambil dari kesempurnaan mereka. Dia juga mengatasi sifat-sifat yang mencerminkan ketidaksempurnaan mereka. Sungguh, Allah bebas dari setiap sifat yang dapat dipahami makhluk; Dia mengatasi semua itu dan apapun yang sama dengan semua itu atau seperti semua itu. Jadi, jika tidak ada wewenang atau izin yang diberikan untuk menggunakan sifat-sifat itu, tentu menggunakan kebanyakan dari sifat-sifat itu juga dilarang.
Nasihat dari Al-Ghozali,  hamba akan suci kalau dia membebaskan pengetahuan dan kehendaknya. Dia harus membebaskan pengetahuannya dari khayalan dan dari segala persepsinya. Persepsi-persepsi ini sebagian juga dimiliki oleh binatang.  Studinya yang terus menerus dan bidang studinya hendaknya berkenaan dengan hal-hal ilahiyah yang benar-benar bebas dari keharusan lebih dekat untuk persepsi indra, atau semakin menjauh sedemikian sehingga tersembunyi darinya. Jadi, dia akan membebaskan diri dari segala khayalan, dengan mengambil dari ilmu-ilmu apa yang masih dapat dimanfaatkan seandainya orang kehilangan organ-organ indrawi dan imajinasi dengan demikian tersegarkan kembali bentuk-bentuk pengetahuan yang mulia, universal, dan ilahiyah yang berkenaan dengan objek-objek pengetahuan yang abadi dan bukan dengan individu-individu yang berubah-ubah dan dapat dibayangkan.
Mozaik 2
Allah Maha Suci dan Hambanya yang Tak Luput Dosa
Al-Quddus artinya (Allah) Maha Suci. Allah Maha Suci dari segala sifat kekurangan, kesalahan, pelupa dan dari segala sifat yang dipandang cacat.[2] Allah memberi karunia yang luar biasa pada manusia, yakni akal. Bukan berarti dengan akal itu kita bisa membayangkan seperti apa bentuk Allah. Khayalan bahwa Allah seperti ini, seperti itu menurut Ali Hasan (1997) hal demikian harus dibersihkan dari pikiran dan hati kita.
Jika Allah Maha Suci, lalu bagaimana dengan ciptaannya? Ya, apalagi kalau bukan manusia yang dalam istilah bahasa Jawa ‘menus-menus isine dosa’. Sosok makhluk bukan jin bukan pula malaikat namun makhluk yang diciptakan oleh Allah sebaik-baiknya yang memiliki akal pikiran dan nafsu. Manusia memang sengaja dirancang sedemikian rupa untuk menjadi kholifah dibumi. Allah Maha Suci tentu sangat berbeda dengan manusia yang hanya ciptaannya. Manusia sebagai makhluk sosial tak dapat hidup sebatang kara, sosok manusia membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Itulah, letak ketidaksempurnaan manusia.
Manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan, terkadang manusia itu tak sadar akan kekuranganya bahkan tak berusaha menutup kekurangan dengan kelebihan. Sabda Rosul menerangkan kalau manusia itu tempatnya salah dan lupa. Faktanya, dalam beberapa kasus manusia kedua kalinya melakukan kesalahan yang sama. Beruntung bagi muslim dan muslimah yang beriman dan bertaqwa. Ketika salah ia sadar, dan ketika dia lupa dia ingat. Istighfar dan bertaubat pada Allah atas segala dosa yang menjadikan manusia itu kotor. Hanya kepadaNya lah kita mohon ampun dan hanya kepadaNya lah kita meminta pertolongan. Kata Mario teguh, selagi tidak ada bahu untuk bersandar tapi masih ada sajadah untuk bersujud.
Mozaik 3
Buah Upaya Manusia Meneladani Sifat Allah “al-Quddus”
Saat pemuda lain tidur, maka ia bangun. Saat pemuda yang lain bermain-main, maka ia bekerja. Saat pemuda yang lain putus asa, maka ia pantang menyerah. Lebih mulia lagi saat pemuda melakukan sesuatu kebaikan kemudian yang lain meniru. Subhanallah
Menjadi orang yang menginspirasi mereka. Maksudnya, kita bisa mempengaruhi mereka membawa kepada kebaikan. Spirit untuk berubah lebih baik dan menjadi sosok teladan. Sebagaimana Rosul yang menjadi tauladan yang baik. Apalagi jika manusia itu sendiri meneladani sifat Tuhannya? Lantas, apa yang bisa kita teladani dari sifat Allah yang Maha Quddus. Kesucian, yang telah ada tertanam pada diri kita sebagai fitrah. Hal itu Allah karuniakan pada setiap hambanya. 
Kini kita bertanya apakah buah dari upaya manusia meneladani sifat kekudusan Allah itu? Jika kita memahami kekudusan dalam arti yang dikemukakan Imam Ghozali, maka menurut Hujjatul Islam (Pengurai kebenaran Islam) ini, kekudusan seorang hamba adalah dengan mensucikan kehendak dan pengetahuannya. Hendaknya bebas dari persoalan-persoalan yang bersifat indrawi atau imajinatif, meraih pengetahuan  yang seandainya indra dan daya imajinasinya dicabut, dia tetap haus akan pengetahuan ilahiah. Baik yang bersifat kulli maupun yang berkaitan dengan persoalan-persoalan azali (yang kekal) bukan menyangkut hal-hal duniawiah yang sifatnya berubah-ubah atau wujudnya mustahil.
Manusia disucikannya dari hal-hal yang bersifat egois, galau, nikmat makan dan minum,fashions, sentuhan dan pandangan serta semua nikmat tiada tara yang tidak dapat diraih kecuali melalui indra dan kalbu. Jikalau pun ditawari namun  hatinya terlena (takut lupa sama Allah), hendaknya tidak menghendaki hal yang demikian, kecuali Allah untuk mencapai ridho Allah. Tidak memiliki sesuatu kecuali Allah, senantiasa rindu sama Allah (kerinduan ingin bertemu). Bahkan seandainya ditawarkan kepadanya surga dan seluruh kenikmatannya – kehendaknya tidak mengarah kesana. Karena hamba yang baik itu beribadah bukan semata-mata merindukan surga tetapi untuk menggapai ridhonya. Walhasil menurut Al-Ghozali, karena pengetahuan yang bersifat hissiyah (indrawi) atau khayaliah (imajinasi) dimana binatangpun dapat meraihnya, maka manusia hendaknya meningkatkan diri menuju apa yang bersifat khas manusiawi.
Demikian juga dengan syahwat manusia yang sama dengan syahwat binatang, hendaknya dihindari oleh manusia yang meneladani sifat kekudusan Allah. Keagungan seorang manusia ditentukan oleh keagungan kehendaknya. Siapa yang kehendaknya berkisar pada apa yang masuk ke dalam perut, maka nilai kemanusiaannya sama dengan apa yang keluar dari perutnya. Siapa yang tidak mempunyai kehendak kecuali kepada Allah, maka derajad manusianya sesuai dengan kadar kehendaknya itu. Demikian menurut Al-Ghozali.
Kekudusan gabunga dari tiga hal pokok; benar, indah dan baik. Nah, buah dari sifat quddus dalam makna yang telah diuraikan tadi saat diteladani akan dapat mengantarkan manusia menjadi ilmuwan, seniman dan budiman. Karena mencari yang benar menciptakan ilmu, berbuat baik membuahkan etika dan mengekspreksikan yang indah melahirkan seni. Meneladani Allah dalam sifat kekususan-Nya bahkan bukan saja menurut kita untuk menjadi ilmuwan, budiman sekaligus seniman; tetapi juga menuntut untuk menghadirkan Allah, pada ilmu yang kita pikirkan dan amalkan, melalui seni yang kita ekspresikan serta dalam setiap budi daya yang kita lakukan. Ini agaknya tidak sesulit seperti apa yang dikemukakan Al-Ghozali. Nabi seringkali berdoa:
Maha suci Allah, Maha sempurna zat, sifat dan perbuatan Allah, Tuhan kami dan para malaikat.[3]
Mozaik 4
Implementasi Sifat Allah “al-Quddus” pada Pendidikan
Maha Suci Allah yang menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, bersuku-suku yang kemudian mereka saling mengenal akan perbedaan yang menjadi rahmat. Bineka tunggal ika, walaupun berbeda-beda tapi tetap bersatu.
Konsep belajar, belajar sebagai usaha untuk pintar dan menjadi tabungan masa depan.   Belajar adalah sumber kehidupan, seperti air yang mengalir. Pikiran kita mengalir dan dialirkan dengan konsep belajar. Jadi air tak akan mengalir tanpa dialirkan melalui konsep menuju tempat yang membutuhkan air, begitu pula pikiran kita jika kita tak belajar maka pikiran kita tak terkendali dan bahkan tidak bisa memikirkan sesuatu kedepan. Pembelajaran berorientasi pada konsep belajar. Seorang filosof dari Yunani mengatakan, apabila kita memberi ikan pada orang lain, itu hanya untuk makan sekali saja. Berbeda jika kita mengajari cara menangkap ikan, tentu orang itu dengan ketrampilam mencari ikan ia dapat menghidupi dirinya sendiri dan orang lain. Bahkan bisa menghidupi seumur hidup. Perlu diingat, bahwa konsep belajar menekankan pada perubahan perilaku.
Peran pendidik, jika sinetron didominasi dengan peran utama yang sering kita dengar dengan istilah protagonis. Maka guru sebagai pahlawan yang mendidik anak bangsa tentunya tak kalah dengan sinetron. Sebagaimana kompas petunjuk arah, guru berperan mengarahkan. Sebagaimana pupuk pada tanaman, guru menumbuh kembangkan dan memelihara potensi peserta didik. 





[1] Warson  Munawwir. AL-MUNAWWIR Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya : Pustaka Progressif,1997).hlm.1096.
[2] M. Ali Hasan, Memahami dan Meneladani ASMAUL HUSNA. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997).hlm.63.
[3] Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi.( Jakarta: Lentera hati, 2005).hlm 41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah: TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN

TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah   “Kebijakan dan Kepemimpinan ...