Kamis, 26 Januari 2017

Sejarah Pendidikan Islam: Sejarah Piagam Madinah

THE HISTORICAL CONSTITUTION OF MEDINA
Oleh Dini Fauziyati
Absen: 6 (13410035)

A. HAKIKAT SEJARAH                                                 
            Ketahuilah, bahwa hakikatnya sejarah adalah catatan tentang masyarakat umat manusia. Sejarah itu sendiri identik dengan peradaban dunia; tentang perubahan yang terjadi pada watak perubahan itu, seperti keliaran, keramah-tamahan dan solidaritas golongan (ashabiah); tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan berbagai macam tingkatnya; tentang kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya, maupun dalam ilmu pengetahuan dan pertukangan; dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam perubahan karena watak peradaban itu sendiri.[1]
            Sejarah bukanlah datang dari langit. Ia merupakan pergulatan manusia dengan zamannya. Sejarah akan menjadikan kehidupan masa kini kian bermakna dan menyimpan jejak-jejak perjalanan pribadi dan dakwah yang akan memperkokoh moralitas dan religiusitas.
            Islam sebagai agama yang menyimpan pesan reformasi, baik pada tataran personal maupun kolektif, perlu dilihat dari dimensi sejarah. Bahkan ada yang mengatakan Islam adalah agama yang membawa pesan revolusi. Namun, mengikuti perjalanan hidup Muhammad Saw, sebagaimana tersurat dalam jejak-jejaknya, sepertinya kesan tentang reformasi begitu kentara. Yaitu perubahan yang bersifat evolutif.[2]
“Muhammed, who called himself the Prophet of Allah, thus conceiving himself as God’s messenger, was an Arab of the Quraish tribe. In 610 he proclaimed the Islamic revolution in Mecca, founding a small sect with whom he fled to Medina in 622 (the Hijra, or exodus, which marks the beginning of the Muslim era). In Medina he founded the first Islamic city-state, out of which an empire developed in the same century.”[3]

B. SELAYANG PANDANG KOTA MADINAH
            Kota penting ketiga di Hijaz, yang memainkan peran yang signifikan dalam sejarah Islam adalah Madinah. Kota yang dulu dikenal dengan sebutan Yatsrib (dalam  tulisan orang-orang Saba disebut dengan YTHRB, dan dalam tulisan Ptolomius, Jathrippa) ini terletak sekitar 510 km sebelah utara Mekah dan secara geografis jauh lebih baik dari kota tetangganya di sebelah selatan. Di samping terletak pada “jalur rempah-rempah”, yang menghubungkan Yaman dengan Suriah, kota ini merupakan sebuah oasis dalam arti yang sebenarnya. Tanah di wilayah itu sangat cocok untuk ditanami pohon kurma. Di tangan penduduk Yahudi tepatnya Banu Nadhir dan Banu Quraidzah, kota ini menjadi pusat pertanian yang terkemuka. Dilihat dari namanya dan kosa kata Aramaik yang digunakan dalam aktivitas pertanian mereka, orang-orang Yahudi ini tak pelak lagi kebanyakan merupakan suku Arab keturunan Aramaik yang telah menganut agama Yahudi, meskipun intinya adalah orang-orang Israel yang lari dari Palestina saat ditaklukkan Romawi pada abad pertama Masehi. Sangat mungkin bahwa orang-orang Yahudi penutur bahasa Aramaik, Madinta, yang menjadi asal usul nama Madinah yang berarti “Kota” (Nabi), penamaan yang muncul relatif belakangan. Dua suku utama non Yahudi di kota itu adalah Aws dan Khazraj, yang berasal dari Yaman.[4]

C. HIJRAH RASULLULLAH
            Tahun 622, Rasulullah diundang oleh delegasi Yatsrib untuk hijrah yang kemudian dikenal sebagai “Madinah an-Nabi” (Kota Nabi). Migrasinya Rasulullah ke Madinah ini (hijrah) menandai suatu peristiwa penting dalam sejarah Islam. Kalender Islam dikenal sebagai kalender hijriyah dimulai pada hari tatkala Rosulullah meninggalkan kota aslinya Mekkah ke Madinah.
            Di oasis Arab nan indah ini, beliau menerima sambutan layaknya pahlawan. Para penduduknya berbondong-bondong keluar dan berjanji setia kepadanya dengan memeluk Islam. Sejak saat itu, Madinah menjadi tempat yang sangat istimewa bagi seluruh umat Islam; juga menjadi pusat pengetahuan, budaya dan peradaban Islam sampai saat ini.
            Ketika pemimpin-pemimpin Mekah menerima kabar keberhasilan Rosulullah di Madinah, mereka menjadi sangat terkejut dan cemas. Setelah sebelumnya mencoba melemahkan beliau dan misinya di Mekah malah gagal total. Kini mereka berkomplot untuk membuat kerusuhan di Madinah dengan cara menciptakan pertentangan diantara kalangan orang munafik, suku tandingan yang menyembah berhala, kaum Yahudi dan para pendatang baru (muhajirun) dari Mekah. Akan tetapi, berkat kehalusan diplomasi Rosulullah, strategi mereka tak membuahkan hasil.
            Tidak berkecil hati dengan hal tersebut, para pemimpin Mekah bergerak menuju Madinah dengan kontingen besarnya dengan tujuan melenyapkan komunitas Islam baru itu. Rosulullah dan kelompok kecil pengikutnya bertemu dengan tentara Mekah di daratan Badar, yang berlokasi dipinggiran Madinah.
            Tentara Mekah yang bersenjata sangat lengkap dengan jumlah lebih dari seribu orang berperang melawan sekitar tiga ratus orang Muslim yang kekurangan senjata dan kurang persiapan. Ajaibnya, Rosulullah dan pengikutnya mengalahkan lawannya dari Mekah itu secara telak. Pasukan Muslim kembali ke Madinah dalam keadaan gembira, sementara tentara Mekah pulang dalam keadaan bingung. Demi membalaskan rasa malu mereka, para pemimpin Mekah beberapa kali berusaha menghancurkan Muslim, tetapi mereka gagal menerobos kuatnya pertahanan kaum Muslim.
            Terpukul oleh kegagalan mereka untuk melenyapkan kaum Muslim, pihak Mekah akhirnya terpaksa menyetujui perjanjian damai dengan Rosulullah. Walaupun persyaratan dan ketentuan dalam perjanjian itu lebih memihak pihak Mekah, beliau bersedia menandatanganinya, meskipun diprotes beberapa pengikutnya.
            Ini keputusan cerdas yang diambil Rosulullah, karena periode damai ini memberikan kesempatan kepada masyarakat Mekah dalam melihat Islam beraksi di Madinah untuk pertama kalinya. Selama perjalanan mereka ke Madinah, orang Mekah melihat satu masyarakat yang benar-benar telah berubah. Rasulullah telah mengubah sebuah oasis yang suka berperang dan terpecah-belah menjadi sebuah masyarakat sipil yang tumbuh subur.
            Untuk pertama kalinya dalam sejarah kota Madinah, faksionalisme kesukuan, ketidakadilan  sosial, kesenjangan ekonomi, penindasan politik, penyiksaan dan pelecehan fisik, penganiayaan terhadap perempuan dan kekejaman terhadap budak tidak lagi terjadi di kota ini. Sebaliknya, persaudaraan dan persatuan antara orang-orang mukmin; cinta, pengertian dan kerjasama antara handai taulan dan sanak keluarga; menghormati hak-hak perempuan; membebaskan budak; dan minat tak tertandingi terhadap pengetahuan dan pendidikan, menjadi kunci utama dari masyarakat baru yang diciptakan Rosulullah, yang hanya berjarak beberapa ratus mil dari Mekah. Transformasi tidak tertandingi dari sebuah masyarakat kesukuan, serta hati, pikiran, pola pikir, moral dan adat istiadat masyarakatnya, dilakukan Rosulullah dalam waktu satu dekade saja.
            Rosulullah memimpin penduduk Madinah dengan menjadikan dirinya sebagai teladan. Beliau tidak mengucapkan satu hal dan melakukan hal lain yang berseberangan. Beliau berada di garda depan dalam segala hal, baik dalam keadaan terik panas di medan pertempuran maupun saat shalat di masjid; sepanjang siang hari atau tengah malam; saat menahan lapar dan masa sulit, atau saat bahagia dan merasa gembira.
            Orang-orang Madinah menjadi sangat menyukainya sampai-sampai tindakan, perilaku, gaya berpakaian, makan, minum dan tidur mereka pun ditata dengan penuh ketelitian sesuai norma-norma dan praktik Rosulullah. Bagi mereka, Rosulullah merupakan “al-Insan al-Kamil” (manusia yang sempurna). Bentuk kecintaan dan kesetiaan yang ditunjukkan satu masyarakat kepada pemimpin mereka itu tidak hanya belum pernah terdengar, tetapi juga belum pernah terjadi sepanjang sejarah.[5]




D. PIAGAM MADINAH DARI BERBAGAI SUMBER
            Penduduk Madinah sesudah peristiwa hijrah itu terdiri atas tiga golongan, yaitu : kaum Muslimin, bangsa Yahudi (Banu Nadhir dan Banu Quraizhah) dan bangsa Arab yang belum menganut agama Islam. Rosulullah SAW, hendak menciptakan suasana bantu-membantu, dan sifat toleransi antara golongan-golongan tersebut, karena itu beliau memperbuat perjanjian antara kaum Muslimin dengan bukan Muslimin. Ibnu Hisyam telah menyebut isi-isi perjanjian itu, keringkasannya sebagai berikut :
                               I.            Kelompok ini mempunyai pribadi keagamaan dan politik. Hal tersebut merupakan hak kelompok, menghukum orang yang membuat kerusakan dan memberi keamanan kepada orang yang patuh.
                            II.            Kebebasan beragama terjamin untuk semua.
                         III.            Kewajiban penduduk Madinah, baik kaum Muslimin ataupun bangsa Yahudi, bantu-membantu moril dan materil.
Mereka dengan bahu-membahu harus menangkis semua serangan terhadap kota mereka (kota Madinah).
                         IV.            Rosulullah adalah Ketua Umum bagi penduduk Madinah. Kepada beliaulah dibawa segala perkara dan perselisihan yang besar untuk diselesaikan.[6]
Dalam referensi lain dijelaskan bahwa guna menciptakan suasana tentram dan aman di Madinah, Nabi membuat perjanjian persahabatan dan perdamaian dengan kaum Yahudi Madinah. perjanjian perdamaian dan kerjasama ini merupakan awal pembinaan politik bagi masyarakat Islam yang baru dibentuk di Madinah. Inilah salah satu perjanjian politik yang terfokus pada kebijakan sebagai seorang politikus ulung. Memang kedudukan Nabi Muhammad Saw bukan hanya sebagai Rosul semata, tetapi juga sebagai politikus, diplomat, panglima perang dan lain-lain. Dengan demikian, berarti eksistensi masyarakat Islam di bawah kepemimpinan Nabi telah mendapatkan pengakuan dari masyarakat lain (Yahudi), diantara perjanjian tersebut adalah:
A.    Kaum Yahudi hidup bersama-sama dengan kaum muslimin; kedua belah pihak memiliki beberapa hak untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing;
B.     Kaum Muslimin dan Yahudi wajib menolong untuk melawan siapa saja yang memerangi mereka, dan mengenai kebutuhan keluarga menjadi tanggungan masing-masing;
C.     Kaum Muslimin dan Yahudi wajib nasehat-menasehati dan melaksanakan kebaikan serta keuntungan bersama;
D.    Kota Madinah adalah kota suci yang wajib dihormati oleh mereka yang terikat perjanjian;
E.     Jika terjadi perselisihan antara kaum Muslimin dan Yahudi, sekiranya hal itu akan mengakibatkan hal-hal yang tak diinginkan, maka harus diserahkan pada Allah dan Rasul-Nya;
F.      Siapa saja yang tinggal di dalam kota atau luar kota Madinah, wajib dilindungi keselamatan dirinya, kecuali orang dzalim dan bersalah sebab Allah SWT menjadi pelindung orang-orang yang baik dan berbakti.
Perjanjian tersebut dikenal dengan sebutan “Konstitusi Madinah“, atau menurut A. Hasjmi disebut “Manifesto Politik Pertama” dalam negara Islam yang di dalamnya digariskan dasar-dasar kehidupan politik, sosial dan militer bagi segenap penduduk Madinah, baik Muslim, Yahudi maupun musyrikin. Dengan adanya konstitusi Madinah inilah masyarakat Islam di Madinah berkembang menjadi satu kesatuan politik, dan berdasar pada konstitusi ini pula berkembang sistem politik dan pemerintahan budaya Islam.[7]
Di Madinah, meskipun warga muslim berdampingan dengan para penyembah berhala ataupun Yahudi, namun mereka tetap dapat menjalankan ibadahnya dengan tenang. Para penyembah berhala tidak pernah mempermasalahkan ajaran yang dibawa oleh putra Aminah itu, apalagi mereka juga sadar bahwa dengan tuntunan Nabu itulah kelak diharapkan seluruh lapisan masyarakat akan bersatu. Sehingga golongan yang satu ini tidak pernah mengusik seluruh kegiatan Nabi dan para pengikutnya. Kini setiap hari kaum muslimin berkumpul di masjid untuk menjalankan shalat lima waktu. Sesuatu yang sangat mustahil untuk mereka lakukan di Mekah. Ketika kaum Yahudi sedang menyiapkan Sabat, maka Nabi dan para sahabatnya melakukan shalat jumat secara berjamaah. Semua itu semakin menampakkan kekokohan persaudaraan kaum muslimin.
Diam-diam kaum Yahudi merasa tersaingi posisinya, terutama tiga clan terbesar yaitu Qainuqa’, Quraidzah dan Nadzir. Hati mereka terpukul ketika mendapati ternyata Nabi yang dijanjikan bukanlah keturunan Nabi Ishaq akan tetapi justru keturunan Nabi Ismail As. Harapan mereka untuk dapat mengalahkan orang-orang Arab pupus sudah, karena Nabi yang diharapkan akan membantu justru kini semakin diperparah dengan masuk Islamnya salah seorang Rabi mereka dari bani Qainuqa’ bernama Husein ibn Sallam. Sejak pertama kali mendengar kabar tentang kedatangan Nabi Muhammad Saw, tokoh yang satu ini langsung mengumandangkan takbir. Bibinya yang mendengar hal tersebut berkata: “Alangkah indahnya bila aku mendengar nama Musa ibn Imran juga kamu sebutkan”. “Demi Allah”, sahutnya “Nabi ini juga saudara Musa ibn Imran. Beliau diutus dengan membawa ajaran yang sama dengan ajaran Musa ibn Imran. “Apakah dia diutus hingga kiamat?”, tanya bibinya, “Ya”, jawab Husein. “Kalau begitu dia memang utusan yang ditunggu-tunggu kedatangannya.”
Begitu Rosulullah memasuki Madinah, Husein segera menemui beliau. Setelah satu dua pertanyaan diutarakan dan dijawab, ia lantas mengucapkan dua kalimat syahadat dan namanya kini menjadi Abdullah ibn Sallam. Sebelum keislamannya diketahui oleh kaumnya, Abdullah yang kini telah menjadi mualaf meminta pada Nabi agar beliau menanyai mereka terlebih dahulu tentang kedudukan salah satu Rabi Qainuqa’ itu. Sesuai permintaanya, Nabi berkata di hadapan mereka. “Dia adalah pemimpin kami”, jawab mereka pada Nabi, “sekaligus putra pemimpin kami. Ia adalah Rabi dan pemimpin kami.”
Setelah mendengar jawaban itu, Abdullah disuruh keluar. Ia kemudian berkata pada kaumnya. “Wahai kaum Yahudi. Takutlah kepada Allah dan terimalah apa yang telah diutus-Nya kepadamu karena kalian semua telah tahu bahwa dia adalah utusan Allah.”
Abdullah lantas mengumumkan keislamannya. Kaumnya hampir tak percaya mendapati kenyataan itu. Mulai hari itu mereka mengabaikan semua fatwa-fatwanya dan tidak lagi menghargai kedudukan mulianya. Salah satu Rabi mencoba mendekati Nabi dan mengajak berdialog lintas agama. Nabi menjelaskan bahwa ajaran yang diembannya adalah penyempurna agama sebelumnya, dan dalam al-qur’an sering diungkapkan sebagai agama Ibrahim. Abu ‘Amir (nama rahib itu) mengaku sebagai pengikut agama Ibrahim dan menolak untuk memeluk Islam. Bahkan ia menuduh bahwa Nabi Muhammad Saw telah memalsukan ajaran Nabi Ibrahim As. Rosulullah menegaskan bahwa agama yang beliau bawa tidak menyalahi ajaran Nabi Ibrahim akan tetapi justru memurnikannya. Rabi yang satu ini tetap berkeras kepala dan sedikitpun tidak mau mengakui  ajaran dan kenabian baginda Nabi Muhammad Saw.
Seiring berkembangnya Islam di Madinah, lambat laun mulai menampakkan sifat asli dari orang-orang yang sebetulnya merasa kecewa dengan kehadiran ajaran itu. Diantaranya adalah Abdullah ibn Ubay ibn Salul al-Khazra. Sebelum Rosulullah datang, ia telah mendapatkan pamor yang cukup menjanjikan untuk mengantarkannya sebagai pemimpin tunggal kota Madinah. Tokoh kenamaan suku Khazraj ini kecewa dengan kehadiran baginda Nabi Muhammad Saw. Dia merasa pamornya telah jatuh dan kini sedang menunggu perkembangan seperti apa yang akan dicapai di negerinya itu. Di hadapan Rosul dan para sahabatnya, Abdullah ibn Ubay ibn Salul menyatakan keimanannya dan selalu menampakkan ketaatannya, namun setelah berkumpul dengan orang-orang setianya maka ia tak henti-hentinya merongrong Islam. Begitu pula dengan orang-orang Yahudi, sebagian dari mereka juga menyatakan Islam ketika berpapasan dengan Nabi Muhammad Saw dan para sahabat, akan tetapi tatkala telah kembali ke kelompoknya mereka menertawakan alqur’an dan Rosulullah. Mereka itu kemudian disebut sebagai golongan munafik, orang-orang yang tak mempunyai keteguhan hati.
Keadaan terakhir jika dibiarkan tentu akan mengakibatkan perpecahan yang tak terelakkan. Oleh karenanya, di masa itu Rosulullah segera bertindak dengan mengadakan sebuah perjanjian yang melibatkan semua pihak. Dengan begitu diharapkan nantinya akan terbentuk masyarakat yang adil dan makmur, aman sejahtera dan tidak ada pihak-pihak yang main hakim sendiri. Perjanjian tertulis ini berisi tentang peraturan hak dan kewajiban. Baik warga Muslim maupun Yahudi mempunyai hak yang sama dalam agama, harta dan nyawa mereka. Perbedaan agama yang ada di Madinah semua diwadahi dan ditoleransi dengan baik dalam perjanjian ini. Semua itu terangkum dalam beberapa poin penting berikut :

PIAGAM MADINAH
1)        Kaum muslimin, baik yang berasal dari Qurais, dari Madinah maupun kabilah lain yang bergabung dan berjuang bersama-sama, semua adalah satu umat dan satu golongan.
2)        Semua kaum Mu’min, dari kabilah manapun, harus membayar diyat (denda) orang yang terbunuh diantara mereka dan menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil antar sesama kaum Mu’min.
3)        Kaum Mu’min tidak boleh membiarkan siapa saja diantara mereka yang tidak mampu membayar hutang atau denda, tetapi mereka harus menolongnya untuk membayar hutang atau denda tersebut.
4)        Kaum Mu’min yang bertakwa akan menindak tegas orang yang berbuat kezaliman, kejahatan, permusuhan dan perusakan. Terhadap perbuatan semacam ini semua kaum Mu’min akan mengambil tindakan bersama, sekalipun yang melakukannya adalah anak mereka sendiri.
5)        Seorang Mu’min tidak boleh membunuh Mu’min lainnya lantaran ia membunuh seorang kafir untuk melawan Mu’min lainnya.
6)        Jaminan Allah SWT adalah satu; Dia melindungi orang-orang yang lemah. Warga muslim saling menolong dalam menhadapi segala bentuk gangguan.
7)        Setiap Mu’min yang telah mengakui berlakunya perjanjian, sebagaimana yang termaktub dalam naskah, jika ia benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, niscaya tidak akan memberikan pertolongan perlindungan kepada orang yang berbuat jahat. Apabila ia menolong dan melindungi orang yang melakukan kejahatan maka laknat Allah menantinya di hari kiamat.
8)        Dalam menghadapi peperangan, orang-orang Yahudi turut memikul biaya perang bersama warga muslim.
9)        Orang-orang Yahudi dari bani ‘Auf dipandang sebagai bagian dari kaum mu’min. Begitu pula golongan-golongan Yahudi dari bani-bani lain, serta orang-orang yang bersekutu dengan mereka, yaitu tetap berhak atas agama, harta, nyawa dan keluarga mereka tanpa boleh diganggu sebagaimana warga muslim, kecuali orang yang berbuat kezhaliman dan kejahatan. Maka sesungguhnya dia telah menghancurkan dari dan keluarganya.
10)    Orang-orang Yahudi harus memikul biayanya sendiri,begitu pula warga muslim, dalam melaksanakan kewajiban memberikan pertolongan secara timbal balik dalam melawan pihak lain yang memerangi salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian itu.
11)    Jika diantara orang-orang yang terikat perjanjian ini terjadi pertentangan atau perselisihan, yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka urusannya dikembalikan kepada Allah SWT dan Muhammad Rosulullah SAW.
12)    Setiap orang dijamin keselamatannya untuk meninggalkan atau tetap tinggal di Madinah, kecuali orang yang berbuat kezhaliman dan kejahatan.
13)    Sesungguhnya Allah SWT yang akan melindungi pihak yang berbuat kebajikan dan takwa.
14)    Perlindungan ataupun bantuan yang diberikan warga non muslim terhadap kafir Quraisy tidaklah diakui.
15)    Barang siapa membunuh warga muslim tanpa bukti-bukti kuat atas kejahatan yang dilakukannya maka dia harus dihukum mati, kecuali keluarga korban berkenan menerima ganti rugi. Dan segenap warga muslim mengutuk pembunuhan semacam itu.
16)    Semua golongan yang mempunyai ikatan dengan kaum Yahudi maka akan mendapatkan hak yang sama.
17)    Orang-orang Quraisy yang memusuhi Islam tidak berhak mendapatkan perlindungan.
18)    Pertahanan negara melibatkan semua pihak, baik warga Muslim maupun Yahudi harus bersatu padu untuk mempertahankan serangan yang menyergap Madinah.
19)    Ketika Yahudi diajak untuk ikut melakukan perdamaian dengan kelompok yang berdamai dengan muslimin maka mereka akan mengabulkan. Begitu pula sebaliknya, muslimin harus memenuhi ajakan Yahudi kecuali atas kelompok yang memerangi agama.
Kini Madinah telah memiliki tatanan baru yang mengatur tentang kehidupan beragama, hak kepemilikan dan pertahanan negara baik kehidupan beragama, hak kepemilikan dan pertahanan negara baik dalam maupun luar negeri. Dalam hal toleransi, semua berhak menjalankan ibadahnya masing-masing tanpa takut adanya gangguan dari pihak lain dan tidak ada pemaksaan agama. Warga muslim dibenarkan bertoleransi terhadap tetangga Yahudi, namun harus tetap berpegang teguh dengan ajaran Islam. Tidak masalah kedua belah pihak bekerjasama dalam urusan dunia, seperti berdagang, pertukaran ilmu pengetahuan dan sebagainya. Akan tetapi dalam urusan keyakinan, ibadah dan ritual keagamaan maka semua dikembalikan kepada kepercayaan masing-masing, dan memiliki porsi yang lebih ketat daripada urusan duniawi belaka. Dalam arti, warga muslim tidak diperkenankan mengikuti ritual agama nonmuslim, apalagi sampai mengikuti dan membenarkan keyakinan mereka.
Selama pihak-pihak yang terlibat perjanjian ini tetap memegang teguh isi di dalamnya, maka semua mendapatkan hak dan kewajiban yang sama. Tetapi bila ada pihak yang mencoba menghianatinya, maka mereka akan ditindak tegas sesuai dengan apa yang telah menjadi kesepakatan bersama. Itulah cikal bakal undang-undang dasar negara yang dibentuk oleh Rosulullah dalam upayanya menegakkan perdamaian. Orang-orang yang dulunya hanya memikirkan kepentingan suku dan keluarganya, kini mereka dibimbing untuk hidup dalam sebuah keteraturan yang mencakup kehidupan lebih luas. Dituntun untuk saling memahami terhadap sesama dengan menanggalkan fanatik kesukuan, menitikberatkan terhadap kebersamaan dengan tetap menjunjung tinggi hak dan kewajiban bersama.[8]

E. KONSTITUSI MADINAH SEBAGAI SEJARAH LAHIRNYA KOSTITUSI PERTAMA DI DUNIA
Konstitusi Madinah berisikan tentang hak bebas keyakinan, kebebasan berpendapat, kewajiban dalam hidup kemasyarakatan, dan mengatur kepentingan umum dalam kehidupan sosial majemuk. Konstitusi Madinah merupakan satu bentuk konstitusi pertama di dunia yang telah memuat materi sebagaimana layaknya konstitusi modern dan telah mendahului konsitusi-kostitusi lainnya di dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Secara keseluruhan Piagam Madinah mengandung 47 pasal. Nuansa persatuan sebagai sebuah komunitas majemuk berbeda dari kelompok lain begitu kental pada Piagam Madinah ini. Pasal pertama, misalnya, berbunyi tentang prinsip persatuan dengan pernyataan “innahum ummatan wahidatan min duuni al-naas” (sesungguhnya mereka adah umat yang satu, lain dari (komunitas) manusia yang lain). Maka umat dalam pernyataan awal ini menunjukkan arti luas, tidak sebatas kelompok pengikut Nabi Muhammad yang berada di Madinah. Pada saat yang sama, pengertian umat pada piagam ini juga membedakan sifat solidaritas yang dibangun oleh Nabi Muhammad dari yang pernah ada sebelumnya, yaitu solidaritas yang berdasarkan kelompok yang sempit yang dikenal dengan sebutan Kabilah atau perkauman.
Menurut catatan Ahmad Sukardja, sebagaimana disarikan oleh Jimly Asshidiqie, terdapat 13 kelompok masyarakat secara eksplisit terikat dalam Piagam Madinah. Pada Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam) saling bahu-membahu dalam menghadapi penyerang atas kota mereka yakni Yatsrib (Madinah).” Semangat saling membantu sebagai sebuah komunitas umat yang plural tampak terlihat pada bunyi Pasal 24 yang menjelaskan bahwa “kaum Yahudi memikul biaya bersama kaum mukminin selama dalam peperangan.” Ikatan persatuan ini semakin diperjelas dalam Pasal 25 yang menegaskan bahwa “kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin.” Bagi kaum yahudi agama mereka, dan bagi kaum mukminin agama mereka. Kebebasan beragama ini juga berlaku bagi sekutu-sekutu mereka dan diri mereka sendiri.
Hal yang menarik untuk dicermati dalam konteks toleransi beragama diatas adalah perkataan “mereka” yang digunakan secara seragam baik bagi kelompok Yahudi maupun pengikut Nabi Muhammad SAW di Madinah. Prinsip kebersamaan dalam perbedaan keyakinan ini dinyatakan lebih tegas dari rumusan al-Qur’an yang terkenal tentang toleransi berkeyakinan yaitu “lakum diinukum walya diin” (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku) yang menggunakan subjek ‘aku’ atau ‘kami’ versus ‘kamu’. Dalam Piagam Madinah digunakan kata ‘mereka’ baik untuk orang Yahudi maupun orang Mukmin dalam jarak yang sama. Sebuah semangat dan praktik toleransi yang sangat tinggi yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad, selain menginklusifkan makna ‘ummat’ yang tidak sebatas pengikutnya semata. Semangat menjunjung hidup bersama dalam kemajukan yang tercermin dalam Piagam Madinah inilah yang menjadi penilaian ahli agama-agama Robert N. Bellah sebagai contoh pertama bentuk “negara bangsa modern” (modern nation state) di masa Nabi Muhammad SAW.[9]



REFERENSI

Abdul Rozak & A. Ubaedillah, PENDIDIKAN KEWARGA[NEGARA]AN Civic Education Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media Groub, 2015.

Hitti, Philip K. History of the Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014.

Khaldun, Ibnu. MUQADDIMAH, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014.

Madrasah Hidayatul Mubtadien Ponpes Lirboyo, Tim FKI Sejarah ATSAR. Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad SAW LENTERA KEGELAPAN untuk Mengenal Pendidik Sejati Manusia, Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2014.

Misrawi, Zuhairi. MEKKAH (Kota Suci, Kekuasaan dan Teladan Ibrahim), Jakarta: Kompas, 2009.

Mojlum Khan, Muhammad. 100 MUSLIM PALING BERPENGARUH SEPANJANG SEJARAH, Jakarta: Noura Book Mizan Publika, 2012.

S.J, Fadil. Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008.

Syalabi, A. Sejarah Kebudayaan Islam 1, Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2003.

Tibi, Bassam. ISLAM AND CULTURAL ACCOMODATION OF SOCIAL CHANGE, Oxford: Westview Press, 1991.




[1] Ibnu Khaldun, MUQADDIMAH, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), hal. 57.
[2] Zuhairi Misrawi, MEKKAH (Kota Suci, Kekuasaan dan Teladan Ibrahim), (Jakarta: Kompas, 2009), hal. 273.
[3] Bassam Tibi, ISLAM AND CULTURAL ACCOMODATION OF SOCIAL CHANGE, (Oxford: Westview Press, 1991), hal. 18.
[4] Philip K. Hitti, History of the Arabs. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014), hal. 131.
[5] Muhammad Mojlum Khan, 100 MUSLIM PALING BERPENGARUH SEPANJANG SEJARAH (Jakarta: Noura Book Mizan Publika, 2012), hal. 4-6.
[6] A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 1 (Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2003), hal. 104.
[7] Fadil S.J, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang: UIN MALANG PRESS, 2008), hal. 106-108.
[8] Tim FKI Sejarah ATSAR Madrasah Hidayatul Mubtadien Ponpes Lirboyo, Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad SAW LENTERA KEGELAPAN untuk Mengenal Pendidik Sejati Manusia, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2014), hal. 305-310.
[9] A. Ubaedillah & Abdul Rozak, PENDIDIKAN KEWARGA[NEGARA]AN Civic Education Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media Groub, 2015), hal. 96-97.

1 komentar:

  1. Casino Games with Slots Provider - JM Hub
    Casino Games 정읍 출장마사지 with Slots Provider. The games 제주도 출장샵 that comprise the world-famous Casino Games and Slots Provider has been 경주 출장샵 a Feb 26, 문경 출장안마 2019 · Uploaded by 보령 출장샵 Casino Game

    BalasHapus

Makalah: TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN

TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: PROSES DAN PERUMUSAN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah   “Kebijakan dan Kepemimpinan ...